tirto.id - “Saya garis bawahi, tidak ada visi lain selain visi Bapak Presiden Prabowo. Tidak ada program lain selain program Bapak Presiden Prabowo”.
Pernyataan itu ditekankan oleh Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, di depan ribuan kepala daerah yang hadir saat menutup Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tahun 2024 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (7/11/2024) lalu.
Dalam sambutannya, Gibran menekankan pentingnya menyatukan visi serta memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Putra sulung Joko Widodo (Jokowi) itu bahkan meminta seluruh kepala daerah untuk mengesampingkan ego sektoral demi tercapainya cita-cita Indonesia Emas 2045.
“Penting ini bapak-ibu, biar semuanya sinergi, satu visi, satu misi untuk Indonesia Emas. Kita harus kompak, tidak ada lagi ego sektoral,” tegas Wapres.
Pernyataan Gibran yang menyebut tak ada visi dan program lain selain milik Presiden Prabowo itu terbilang bias. Karena ini bisa saja dibaca kepala daerah tidak boleh punya visi serta program sendiri, karena semua harus sesuai program dan visi pusat. Ini sama dengan menggambarkan sebuah upaya untuk membatasi otonomi daerah yang seharusnya diberikan kepada setiap kepala daerah.
“Jika kita asumsikan ia menyiratkan bahwa kepala daerah tidak boleh memiliki visi dan misi sendiri, hal ini memang bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” ujar Manager Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, kepada reporter Tirto, Rabu (13/11/2024).
Baidul mengatakan, UU 23/2024 sejatinya memberikan ruang bagi daerah untuk mengatur urusannya sendiri, dengan pengecualian pada lima kewenangan yang memang menjadi wewenang pemerintah pusat. Kelimanya adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, dan moneter/fiskal nasional.
Dalam konteks ini, pernyataan bahwa 'tidak ada visi dan misi selain milik Presiden Prabowo', kata Baidul, seakan mengabaikan bahwa kepala daerah semestinya tetap memiliki visi dan wewenang yang relevan dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Apalagi, dengan sistem Pilkada langsung dan harapan bahwa paslon terpilih adalah mereka yang paham konteks dan aspirasi daerah.
Maka, inovasi dan ruang bagi kepala daerah juga tidak berarti bertentangan dengan kebijakan pusat. Seharusnya, Gibran mendorong kepala daerah misalnya bisa berkontribusi ide sesuai konteks di daerahnya untuk mendukung kebijakan nasional, termasuk dalam kaitannya dengan Asta Cita.
"Lebih jauh, keterikatan pada visi presiden seharusnya tidak menghilangkan keharusan bagi kepala daerah untuk mengembangkan program-program spesifik yang merespons permasalahan unik di wilayah mereka," ujar dia.
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, melihat setidaknya ada dua hal yang bisa disoroti dalam pernyataan Gibran. Pertama, bisa saja ia tidak memahami perbedaan kerja daerah dan pusat. Karena yang semestinya tidak boleh memiliki visi misi berbeda dengan presiden adalah kabinet, sementara untuk daerah justru mengembangkan visi misi pusat.
"Tentu tidak akan bisa sama karena secara politik ada otonomi daerah, juga secara kultur dan geografis miliki kebutuhan berbeda dalam pembangunan, baik manusia maupun infrastruktur. Jika harus sama dengan Prabowo seperti statement Gibran, maka sistem pembangunan tidak akan merata," jelas Dedi kepada reporter Tirto, Rabu (13/11/2024).
Kedua, Gibran sepertinya merasa berkuasa penuh sebagai Wakil Presiden. Padahal ia tidak punya kewenangan, jika pun ia bertujuan menyampaikan gagasan Prabowo, ia cukup menyampaikan visi misi Prabowo beserta penjelasannya. Bukan justru memaksa daerah untuk sama.
"Terlebih, kewenangan otonomi daerah sudah cukup jelas, mana wilayah pusat dan daerah, justru saat ini UU Otonomi perlu direvisi atau diperbaiki, karena daerah masih belum benar-benar otonom, salah satunya soal pengelolaan sumber daya," imbuh dia.
Harus Berlatih Komunikasi Publik
Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menilai pernyataan Gibran perlu dikaji lebih lanjut untuk melihat apakah merujuk ke kebijakan formal tertentu atau hanya interpretasi pribadinya saja. Mengingat statusnya sebagai pejabat publik, ada baiknya memastikan bahwa pernyataan seperti ini memiliki dasar kebijakan yang kuat dan jelas, terutama ketika menyangkut aspek otonomi daerah yang secara hukum dan praktik memerlukan kejelasan dalam konteks NKRI.
"Pernyataan seperti ini, jika tidak diberi konteks yang jelas, bisa ditangkap berbeda," ujar Felia kepada reporter Tirto, Rabu (13/11/2024).
Dalam konteks penyampaian oleh Gibran tersebut, juga muncul perhatian mengenai pentingnya kemampuan komunikasi publik yang mumpuni bagi pejabat publik. Komunikasi publik yang tepat dan jelas sangat krusial karena ide-ide dan kebijakan yang disampaikan kepada masyarakat harus disampaikan dan dipahami dengan benar dan jelas, tanpa menimbulkan spekulasi atau kesalahpahaman.
"Skill komunikasi publik ini sangat diperlukan agar pesan yang disampaikan tidak hanya sampai, tetapi juga mampu memperkuat legitimasi pejabat di mata masyarakat," katanya.
Jika ada kejelasan dalam penyampaian konteks dan tujuan pernyataannya, masyarakat atau pejabat yang menjadi audiens dalam forum itu, akan lebih mudah memahami maksudnya. Sehingga tidak langsung menimbulkan spekulasi tentang otonomi daerah yang mungkin terabaikan atau kembalinya sentralisasi seperti Orde Baru.
"Pejabat publik yang mampu berkomunikasi dengan efektif juga lebih berhasil dalam membangun kepercayaan dan dukungan publik, serta mengurangi kemungkinan munculnya kontroversi yang sebenarnya bisa dihindari," jelas dia.
Felia sendiri memahami bahwa kepala daerah memang wajib menyelaraskan programnya dengan kebijakan nasional, tetapi ruang otonomi tetap diperlukan untuk memberikan solusi yang lebih sesuai bagi kebutuhan dan aspirasi daerah. Tanpa ruang tersebut, kepala daerah bisa kehilangan fleksibilitas dalam merespons dinamika lokal yang tidak selalu terjangkau oleh kebijakan pusat.
"Hal ini justru bertentangan dengan semangat UU terkait otonomi daerah," imbuhnya.
Pendekatan yang seragam untuk semua daerah, kata dia, justru bisa kontraproduktif terhadap upaya pembangunan yang responsif dan berbasis kebutuhan masyarakat setempat. Imbauan semacam ini malah nantinya bisa menjadi hambatan untuk mendorong kinerja dan terciptanya pemerintah daerah yang adaptif, responsif, relevan, dan inovatif, serta unggul.
Sebaliknya, Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, justru melihat pernyataan Gibran tidak bisa ditafsirkan sebagai kontradiksi terhadap UU Otonomi Daerah. Karena yang dimaksud Gibran mengenai tidak ada visi misi selain presiden adalah visi misi nasional yang bersifat makro, misalnya proyek strategis nasional atau PSN.
"PSN ditentukan oleh pusat, kemudian dieksekusi secara bersama dengan Pemda dan BUMN," kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (13/11/2024).
Di luar visi misi makro, pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk menentukan arah pembangunan atau kebijakannya. Misalnya di Nusa Tenggara Barat (NTB), ketika Zulkieflimansyah menjadi Gubernur NTB 2018-2023, ada misi untuk mengirim mahasiswa NTB untuk kuliah di Eropa, khususnya ke negara Skandinavia.
"Di sana kan pusat tidak mengintervensi dengan menolak program Bang Zul, karena itu memang bentuk otonomi daerah," ujarnya.
Maka menurut Musfi, pernyataan Gibran hanya bentuk penegasan agar para kepala daerah gotong-royong untuk menyukseskan program strategis nasional. Misalnya program makan bergizi gratis. Para kepala daerah diharapkan membangun sinergi yang solid agar program makan bergizi gratis dapat diterapkan di sekolah-sekolah daerah.
Kemudian ada juga soal hilirisasi nikel. Untuk mewujudkan hilirisasi, kepala daerah tidak boleh main mata dan main kaki yang membuat hilirisasi sulit terlaksana. Sering sekali pembangunan terkendala di daerah karena ada konflik kepentingan pemda dengan pengusaha.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fahreza Rizky