Menuju konten utama

Shortfall Pajak 2024 Jadi Alarm Capai Target Penerimaan 2025

Shortfall pajak 2024 menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah agar target penerimaan tinggi di 2025 dapat tercapai.

Shortfall Pajak 2024 Jadi Alarm Capai Target Penerimaan 2025
Konsep perencanaan pengurangan pajak. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Kementerian Keuangan mencatat, realisasi sementara penerimaan pajak 2024 sebesar Rp1.932,4 triliun. Realisasi tersebut lebih rendah 97,2 persen dari target asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2024 yang senilai Rp1.988,9 triliun. Artinya, terdapat kekurangan setoran pajak sebesar Rp56,5 triliun dari target yang tercantum dalam Undang-Undang APBN 2024.

“Penerimaan negara masih tetap di Rp2.802 triliun, tapi penerimaan pajak kita terkoreksi ke bawah Rp1.932,4 triliun, di bawah target APBN awal yang Rp1.988 triliun,” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam Konferensi Pers APBN 2024, di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2025).

Kendati, capaian penerimaan pajak 2024 masih lebih baik dari atau mencapai 100,5 persen dari outlook Laporan Semester (Lapsem) I 2024 yang sebesar Rp1.921,9 triliun. Pun, jika dibandingkan dengan penerimaan pajak di sepanjang 2023, capaian penerimaan pajak 2024 juga masih tercatat tumbuh 3,5 persen dari yang sebelumnya Rp1.867,9 triliun.

“Kalau dibandingkan penerimaan pajak 2023, penerimaan pajak 2024 masih tumbuh 3,5 persen meski ada (koreksi) harga komoditas dan tekanan bertubi-tubi,” lanjut Ani, sapaan Sri Mulyani.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menjelaskan, penerimaan pajak mulai mengalami pelambatan ketika memasuki kuartal III-2024, sehingga pada paruh pertama 2024 penerimaan pajak mengalami pelemahan dengan tren koreksi 8,8 persen mencapai Rp393,9 triliun pada kuartal I-2024 dan 7,2 persen pada kuartal II-2024 mencapai Rp499,9 triliun.

Adapun, pelemahan ini disebabkan oleh melambatnya realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan terutama dari perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan batu bara, nikel, kelapa sawit. Hal ini tak lain terjadi karena penurunan harga mayoritas komoditas yang terjadi di sepanjang 2023 dan berlanjut di awal 2024.

“Kondisi yang terjadi di sisi komoditi kita pada umumnya merah, di zona merah. Harga nikel turun, harga gas alam turun, harga batu bara juga turun, harga minyak mentah turun, harga CPO meningkat year on year. Meskipun kalau lihat kuartal demi kuartal berbeda. Khususnya kuartal I, II dan III masih kontraktif dan kuartal IV yang menunjukkan sisi positif,” jelas Anggito.

Karena hal tersebut, realisasi PPh Badan di sepanjang 2024 mencapai Rp335,8 triliun, secara tahunan (year on year/yoy) turun 18,1 persen dari realisasi tahun 2023 yang sebesar Rp409,8 triliun. Selain itu, PPh Migas turut mengalami penurunan 5,3 persen dari di sepanjang 2023 mencapai Rp68,8 triliun menjadi hanya sebesar Rp65,1 triliun. Sementara PPh Non Migas masih mengalami pertumbuhan 0,5 persen dari Rp992,3 triliun di sepanjang 2023 menjadi Rp997,6 triliun sampai akhir 2024.

“Baik itu PPh Non Migas, di-break down menjadi PPh (Pasal) 21 dan PPh Badan. Kalau kita lihat PPh (Pasal) 21 performance-nya positif sejak kuartal I karena khususnya (didorong) sektor keuangan. Sementara PPh Badan sampai dengan kuartal IV masih mengalami kontraksi dibandingkan dengan kondisi 2023,” lanjut Anggito.

Jika menilik kinerja perpajakan nasional, realisasi penerimaan pajak terpukul di awal 2024. Dengan realisasi penerimaan pajak pada April 2024 terkontraksi sampai 9,29 persen secara tahunan menjadi hanya sebesar Rp624,19 triliun.

Realisasi tersebut didorong oleh penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPh Badan, yang memang merupakan kontributor utama penerimaan pajak nasional. Namun, pada April tahun lalu penerimaan PPN Dalam Negeri (DN) justru anjlok hingga 13,9 persen karena ada lonjakan restitusi di awal tahun.

“Sedangkan untuk PPh Badan, secara umum menggambarkan kinerja korporasi 1-2 tahun yang lalu. Kita tahu, ada penurunan profitabilitas korporasi terutama yang mengelola komoditas ataupun olahan komoditas. Ini kemudian yang menjadi penyebab kinerja PPh badan tumbuh negatif,” kata Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, kepada Tirto, Selasa (7/1/2025).

Karena itu, anjloknya kinerja PPh Badan dan seretnya penerimaan PPN menjadi penyebab tak tercapainya penerimaan pajak di sepanjang 2024. Meski begitu, Fajry menilai, kinerja pajak tahun ini masih pantas menerima apresiasi karena dalam kondisi berat, ada beberapa capaian positif yang dicatatkan beberapa komponen penerimaan, salah satunya adalah dengan masih adanya perbaikan kinerja pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 yang mampu tumbuh 21,1 persen.

“Kedua, kinerja PPN dan PPnBM mampu mencapai target meski sempat terkontraksi sangat dalam di awal tahun. Di Maret 2024, penerimaan PPN dan PPnBM masih kontraksi double-digit namun di akhir tahun masih bisa tumbuh positif. Ketiga, terlihat ada extra effort dari institusi,” kata dia.

Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan penerimaan pajak pada paruh kedua 2024, di mana pada Agustus, penerimaan pajak masih tumbuh -4,04 persen namun melonjak dan tumbuh positif 1,05 persen di November 2024 serta melanjutkan pertumbuhan 3,38 persen di Desember 2024.

“Pola yang sama dapat dilihat pada 2021 dan 2023 lalu,” ucap Fajry.

Sementara itu, dengan kurangnya penerimaan 2024, target penerimaan pajak yang cukup tinggi di 2025 membuat pemerintah harus bekerja ekstra keras. Perlu diketahui, pada UU APBN 2025, penerimaan pajak ditarget tumbuh 13,9 persen dari outlook 2024, menjadi Rp2.189,3 triliun. Artinya, dengan realisasi penerimaan saat ini Indonesia membutuhkan tambahan penerimaan pajak sekitar Rp256,9 triliun.

Dengan kondisi perekonomian nasional yang tak begitu menggembirakan di 2024, jelas saja realisasi penerimaan pajak lebih kendor dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini pun membuat tantangan untuk mencapai target penerimaan pajak 2025 semakin besar.

“Beberapa isu utama terutama yang berkaitan dengan pelemahan daya beli, memang terlihat dari beberapa indikator. Indikator seperti deflasi yang sempat terjadi beberapa bulan berturut-turut, kemudian juga permasalahan PHK yang terjadi, dan juga permasalahan seperti kelas menengah yang turun. Itu juga sebenarnya menggambarkan kondisi ekonomi yang turun,” kata Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, saat dihubungi Tirto, Selasa (7/1/2025).

Adapun, pemerintah percaya dengan implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) alias Core Tax System, pemerintah yakin dapat mendongkrak penerimaan pajak. Dengan sistem perpajakan yang kuat, dapat meningkatkan rasio penerimaan pajak dan mengerek kepatuhan yang pada akhirnya mendongkrak penerimaan pajak Indonesia.

Meski begitu, sepekan setelah Core Tax resmi diterapkan sejak 1 Januari 2025, masih banyak kendala yang harus dihadapi masyarakat. Namun, Yusuf menilai hal ini perlu dimaklumi, karena bagaimanapun ini masih sangat awal untuk implementasi sistem administrasi perpajakan yang canggih tersebut. Tapi, kendala ini tak bisa dibiarkan berlarut dan pemerintah harus segera berbenah agar fungsi Core Tax berjalan optimal.

“Terkait dengan kualitas layanan di awal tahun ya memang kita juga tidak bisa pungkiri. Kalau menurut kami sebenarnya itu juga bisa menjadi salah satu alasan yang pemerintah harus segera melakukan evaluasi terutama untuk Core Tax-nya. Karena kita tahu Core Tax ini kan juga berkaitan dengan nanti pelaporan pajak dan ini juga berkaitan dengan penerimaan,” sambung dia.

Justru, yang lebih penting adalah pemerintah harus segera mencari cara untuk mendorong penerimaan pajak pada 2025. Apalagi, tarif PPN anyar yang menjadi salah satu tulang panggung penerimaan pajak hanya dikenakan kepada barang mewah. Sedangkan untuk barang non mewah masih tetap menggunakan tarif lama, dengan hitungan baru (dengan penambahan nilai lain 11/12 x 12 persen x harga jual/nilai impor barang).

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, memperkirakan potensi penerimaan yang dapat diraup atas pemberlakuan PPN 12 persen untuk barang mewah hanya sebesar Rp3,5 triliun. Nilai ini sangat jauh dari potensi penerimaan negara yang bisa didapat apabila tarif PPN 12 persen ditetapkan untuk seluruh barang dan jasa yang mencapai Rp75 triliun. Dengan potensi mini, sudah barang tentu pemerintah harus mencari basis penerimaan pajak lain.

“Jadi saya kira sebenarnya pemerintah harus membuka opsi pada sumber (penerimaan) alternatif yang lain dibandingkan dari sumber yang sudah existing gitu ya. Salah satunya adalah pajak karbon,” jelas Yusuf.

Pajak karbon, menjadi salah satu instrumen pajak yang mudah diterapkan karena telah memiliki dasar hukum yang mengaturnya, yakni melalui Pasal 13 Ayat (8) dan (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kemudian, jika pemerintah memang berniat menerapkan pajak karbon, sudah ada pula negara yang dapat menjadi contoh.

“Kemudian juga selaras dengan upaya pemerintah untuk mendorong penurunan emisi karbon. Sebenernya sambil menyelam minum air. Jadi kita mendorong penerimaan dan kita juga bisa menurunkan tingkat emisi,” kata Yusuf.

Selain itu, ada pula windfall tax, pajak yang ditarik dari perusahaan-perusahaan yang tengah mendapatkan keuntungan tak terduga dari lonjakan harga komoditas. Sebagaimana yang telah diketahui, harga berbagai komoditas Indonesia masih mengacu pada harga-harga komoditas internasional. Dus, saat harga komoditas melambung, perusahaan yang berbasis komoditas juga akan mendapat keuntungan berlipat dari produksinya.

“Kalau kita perhatikan kan memang selama ini komoditas Indonesia mendapat semacam keuntungan ke komoditas global, di mana harga komoditasnya kemudian tiba-tiba memungkinkan (naik). Saya kira dalam konteks tertentu itu bisa dijadikan sebagai salah satu sumber penerimaan,” tambah Yusuf.

Namun, lebih penting lagi, pemerintah harus segera membenahi indikator-indikator ekonomi makro nasional. Sebab, meski penerimaan PPN yang dikantongi pemerintah cukup kecil dan pajak karbon maupun windfall tak juga diterapkan, pemerintah masih dapat mendorong penerimaan negara dari konsumsi masyarakat dan juga pajak penghasilan.

“Artinya selama pertumbuhan ekonominya itu bisa didorong lebih tinggi, seharusnya penerimaan pajak itu juga bisa di apa didorong. Meskipun tadi dikatakan PPN 12 persen hanya berlaku pada barang mewah, tetapi misalnya aktivitas perekonomiannya justru lebih bergeliat dibandingkan tahun lalu, sebenarnya perubahan potensi PPN itu bisa dikompensasi,” terang Yusuf.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, mengatakan, pihaknya akan mengoptimalkan sumber penerimaan lain melalui strategi ekstensifikasi dan intensifikasi untuk menambal penerimaan dari PPN yang hilang. Tidak hanya itu, ekstensifikasi pajak juga akan menjadi fokus utama pada 2025 untuk menggali potensi penerimaan pajak.

“Karena otomatis ada sesuatu yang hilang yang kita tidak dapatkan, ya kita optimalisasi di sisi yang lain. Di antaranya ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi bagi saya merupakan sesuatu yang harus saya jalankan di 2025,” ujar Suryo dalam Konferensi Pers di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Selatan, Kamis (2/1/2025).

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz