tirto.id - "Mau untung jadi buntung,” begitu rangkuman Rendra setelah kehilangan aset Rp500 ribu dalam bentuk koin kripto. Pria 31 tahun ini terjebak skema phising di salah satu situs dompet penyimpanan koin kripto akibat ceroboh dan tidak teliti saat transaksi.
"Waktu itu gue terburu-buru juga sih, karena gue tau lagi naik juga (nilai mata uang kripto yang dimiliki), waktu itu naik 40x lipat setelah ditinggal setahun. Nah, waktu itu mau cairin, tulis nama dompet kripto-nya di Google, muncul banyak. Gue klik yang paling atas aja kan, ternyata itu tulisannya (nama web-nya dimanipulasi)," cerita dia mengenang kejadian pada sekitar 2021 itu.
Dalam kasusnya, Rendra sedang mengakses Sollet Wallet dengan domain https://web-sollet.io. Namun, hasil pencarian Google teratas kala itu mengarahkan ke halaman "soilet.io". "Tampilan situsnya juga meyakinkan, karena mirip (dengan situs aslinya), tapi memang waktu itu sempat merasa agak aneh,” kata dia.
Terbawa nafsu dan kecemasan nilainya akan turun, Rendra tetap memasukan id dan password di situs dompet kripto itu. Tidak lama kemudian, ketika dia hendak memeriksa keuntungan yang didapat, malah aset dalam bentuk koinnya tersebut raib sepenuhnya.
“Ya setelah itu gue merasa, ya mungkin memang luck gue bukan di situ. Jadi malas juga sih, setelah bubble-nya sempat pecah, jatuh parah (nilai koin kripto), gue juga jadi gak terlalu aktif sih," ceritanya lagi.
Dia pun sekarang meninggalkan sisa-sisa asetnya di koin kripto saja, tanpa melakukan pemantauan nilainya. Rendar kini lebih tertarik dengan aset lainnya yang lebih nyata terlihat dan pergerakannya tidak se-fluktuatif koin kripto.
Kasus Penipuan terkait Kripto Meningkat
Musibah yang dialami Rendra nyatanya hanya satu dari puluhan ribu kasus penipuan terkait kasus kripto dalam beberapa tahun terakhir di seluruh dunia.
Perusahaan keamanan Web3, Scam Sniffer, dalam laporannya mengatakan kerugian yang ditimbulkan oleh serangan phishing kripto meningkat pesat. Pada 2024, serangan semacam itu menyebabkan kerugian sekitar 494 juta dolar AS, meningkat 67 persen dari tahun sebelumnya. Berdasar catatan mereka ada lebih dari 332 ribu korban penipuan phising kripto pada 2024.
Sementara itu, data Biro Investigasi Federal (FBI), mencatat pada 2023, ada lebih dari 69 ribu aduan masyarakat Amerika Serikat (AS) terkait kejahatan siber dan penipuan keuangan yang melibatkan penggunaan mata uang kripto.
Total kerugian terkait penipuan terkait kripto di sana mencapai 5,6 miliar dolar AS. Laporan tersebut juga menjabarkan berbagai skema yang digunakan untuk menipu trader kripto. Phising, metode yang menjebak Rendra, menjadi salah satu kasus aduan yang masuk 10 besar. Paling banyak kasus penipuan dengan modus investasi terkait kripto yang mencapai 32 ribu aduan.
Laporan Penipuan Mata Uang Kripto 2023 dari FBI itu menjadi laporan khusus terkait penipuan kripto pertama yang rilis ke publik. Dalam laporan tersebut, FBI juga memaparkan tren kenaikan kasus penipuan berbasis kripto sejak 2017. Dalam laporannya FBI menyebut terjadi kenaikan 45 persen nilai kerugian antara 2022 ke 2023.
"Penipuan yang menargetkan investor yang menggunakan mata uang kripto meningkat tajam dan kompleks," kata Direktur FBI Christopher Wray, 9 September 2024, saat perilisan laporan tersebut.
Penggunaan beragam modus dan teknologi menjadi tantangan tersendiri dalam upaya memantau dan mencegah masyarakat menjadi korban penipuan kripto.
Di Indonesia, data mengenai kasus penipuan terkait kripto sendiri belum ada laporan khusus secara resminya. Informasi tersebut dihimpun Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), sebagai lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab kepada Menteri Perdagangan.
Bappebti bertujuan untuk melakukan pembinaan, pengaturan, pengembangan, dan pengawasan terkait produk perdagangan berjangka, termasuk aset kripto di Indonesia.
Namun, menurut Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti, Tirta Karma Senjaya, pihaknya memiliki unit pengaduan, lewat tautan pengaduan.bappebti.go.id. Unit tersebut juga yang menghimpun data aduan kasus penipuan terkait kripto.
Lebih lanjut dia menyampaikan terdapat perbedaan regulasi juga antara AS dan Indonesia yang mungkin membuat kasus di dalam negeri seharusnya tidak banyak.
"Di AS, belum meregulasi transaksi kripto oleh exchange baru, hanya mengawasi. Di sini, sudah meregulasi exchange atau Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK)," terangnya kepada Tirto, Senin (6/1/2025).
Dia menjelaskan para perusahaan kripto yang terdaftar secara resmi di bursa kripto Indonesia telah memenuhi regulasi yang berlaku dan menjamin verifikasi identitas para trader-nya.
Tirta menambahkan, berkat regulasi dan verifikasi yang dilakukan perusahaan kripto tersebut, semua kegiatan transaksi kripto termonitor oleh penyedia jasa, Bappebti, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Definisi scam ini kan identik dengan bodong, uang hilang. Jadi saya jawab tidak ada exchange kripto PFAK yang sudah licensed yang scam," ujar dia.
Meski dia menambahkan, untuk kasus seperti kebangkrutan perusahaan kripto seperti FTX yang terindikasi adanya penipuan dan mungkin merugikan penggunanya di Indonesia, tidak bisa mereka pantau karena tidak punya izin resmi di Indonesia.
Regulasi dan perlindungan konsumen memang menjadi kian penting terkait transaksi kripto di Indonesia. Berdasar data Bapppebti, sampai dengan November 2024, ada 22,11 juta pelanggan aset kripto yang terdaftar. Dari jumlah tersebut sekitar 1,3 juta di antaranya masuk kategori aktif bertransaksi pada November 2024.
Tidak hanya besar secara jumlah, nilai transaksi aset kripto di Indonesia juga menunjukkan kenaikan signifikan pada 2024. Pasar Kripto dalam negeri sempat mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir, sampai mencapai titik Rp149,3 triliun. Namun, antara Januari-November 2024, nilai transaksi aset kripto di Indonesia mencapai Rp556,53 triliun.
Hal ini menunjukkan mulai kembali tumbuhnya kepercayaan masyarakat untuk investasi di aset kripto. Sehingga menjadi penting untuk mencegah terjadinya penipuan terkait aset kripto bagi masyarakat dalam negeri.
Penipuan Kripto Menggunakan Modus Kecanggihan Teknologi dan Psikologi
Terkait bahaya modus penipuan di ranah mata uang kripto, Associate Professor dalam Strategi Digital dan Ilmu Data, Universitas Monash, Arif Perdana, sempat membuat studi untuk memahami mekanisme penipuan ini bekerja.
Dalam penelitiannya bersama dosen dari Singapore Institute of Technology, Hee Jhee Jiow, mereka menyusun kerangka Model Eksploitasi Kognitif-Kripto. Model ini menjabarkan bagaimana para penipu mengeksploitasi kelemahan psikologis manusia lewat rekayasa sosial dan memanfaatkan aspek unik dari pertukaran mata uang kripto.
Dalam penelitiannya, Arif menyimpulkan, kompleksitas modus penipuan mata uang kripto, memiliki tiga lapis penipuan. Pertama dari kerentanan kognitif, lapisan ini berkaitan dengan cara orang berpikir dan mengambil keputusan yang membuat mereka mudah tertipu dalam investasi mata uang kripto.
Contohnya dalam kasus penipuan kripto, memanfaatkan fenomena fear of missing out atau FOMO. Orang dibuat tergesa-gesa ikut berinvestasi karena melihat orang lain sukses atau kaya mendadak, tanpa melakukan penelusuran informasi dengan menyeluruh atau ilmunya masih belum cukup.
Lapisan kedua terkait dengan rekayasa sosial. Trik ini bekerja dengan penipu berpura-pura menjadi ahli keuangan atau pakar teknologi untuk mendapat kepercayaan korban. Kemudian hal ini dikombinasikan dengan serangkaian bukti palsu terkait kesuksesan dalam mengelola aset kripto untuk meyakinkan korban.
Sementara lapisan ketiga terkait pemanfaat teknologi kripto. “Lapisan ketiga ini menjadi ciri khas dalam penipuan cryptocurrency," begitu tulis Arif dalam laporannya.
Arif menyebut teknologi kripto yang rumit sering kali membuat korban kebingungan dan menjadi rentan terhadap penipuan. Penggunaan istilah teknis seperti cloud mining atau liquidity mining kerap digunakan sebagai kedok penipuan.
Selain itu, dalam transaksi mata uang kripto, terdapat juga unsur anonimitas semu yang terselubung dalam konsep blockchain.
"Jadi begini, meskipun blockchain itu transparan dan semua transaksi tercatat, orang bisa tetap 'ngumpet' identitasnya karena blockchain cuma mencatat alamat dompet, bukan nama orangnya," terang Arif lewat pesan singkat kepada Tirto, Senin (6/1/2025).
Penipu bisa kemudian membuat beberapa akun dompet kripto untuk memutar transaksi uangnnya. Uang tersebut kemudian berpindah ke beberapa tangan sebelum sampai ke rekening penipu.
"Karena uangnya ‘dilempar-lempar’ ke banyak orang (dompet), bakal susah untuk melacak asalnya dari mana. Teknik ini sering disebut pakai layanan chain hopping atau mixer/tumbler services yang membuat jejak transaksi makin ribet diikuti (sama seperti money laundering), meskipun semuanya tetap ada catatan di blockchain. Jadi transparan, tapi juga ribet untuk dilacak,” terang Arif.
Riset yang Arif lakukan bersama koleganya ini menggunakan data laporan dari Departemen Perlindungan dan Inovasi Keuangan (DFPI) AS. Sekumpulan data teks kualitatif tersebut dikuantifikasi dan dilakukan analisis pola dari teks yang ada.
Dia juga menyebut belum menemukan laporan terkhusus untuk Indonesia sehingga menggunakan kumpulan data dari kasus di AS. Namun menurut dia, berdasar data yang tersedia, tingkat literasi digital AS dan Indonesia punya kemiripan.
“Yang menarik, keamanan digital jadi masalah di kedua negara. Di AS, anak muda lebih paham soal autentikasi dua faktor atau kata sandi aman, tapi di Indonesia skor keamanan digital justru menurun. Selain itu, kesadaran soal aturan seperti privasi data juga masih rendah di kedua negara," terangnya.
Dalam laporannya, Arif juga menjabarkan modus penipuan dengan mengajak investasi di aset kripto yang ternyata bodong, menjadi yang paling banyak ditemukan.
Kasus seperti ini juga pernah terjadi di Indonesia saat kasus EDCCash pada tahun 2021. Kasus EDCCash memanfaatkan sekema piramida untuk merekrut orang baru, sementara mereka memproduksi dan mempejualbelikan koin di antara anggotanya sendiri.
“(Penipuan berbasis) kripto memang masih tinggi karena janji keuntungan instan dan memanfaatkan volatilitas serta fluktuasi yang tinggi. Tapi, tanpa ilmu yang cukup ini bisa berisiko dan bahaya," ujar Arif lagi.
Dari model yang dia dapatkan dari studinya Arif berharap Indonesia dapat belajar agar terhindar dari penipuan. Peningkatan literasi digital dan finansial menjadi salah satu kuncinya.
“Masyarakat perlu dilatih untuk mengenali tanda-tanda penipuan dan mengelola FOMO. Edukasi publik harus fokus tidak hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada aspek psikologis yang mempengaruhi keputusan investasi,” sebut Arif.
Selain itu, perlu juga adanya pengawasan promosi oleh tokoh publik seperti selebritas, serta tokoh di media sosial di Indonesia. Perlu adanya pemantauan terhadap promosi produk kripto oleh influencer, apalagi terkait testimoni palsu yang dapat menjerat korban.
Kemudian dari segi regulasi dan pelaporan, pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mempertimbangkan karakter masyarakat. "seperti tingginya penggunaan media sosial dan budaya gotong-royong yang bisa dimanfaatkan penipu dalam skema penipuan berantai," sebut Arif memberi contoh.
Terkait pelaporan penipuan, pemerintah juga disebut perlu membangun sistem yang lebih efektif. Kolaborasi antara otoritas keuangan, kepolisian, dan penyedia platform dianggap akan membantu pencegahan dan penanganan kasus penipuan terkait kripto.
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Abdul Aziz