Menuju konten utama

Meredam Jerat Paylater Lewat Batas Usia 18 Tahun & Gaji Rp3 Juta

Aturan baru paylater diharapkan dapat menangkal jebakan utang (debt trap). Bagaimana menurut anda?

Meredam Jerat Paylater Lewat Batas Usia 18 Tahun & Gaji Rp3 Juta
Nasabah mengakses aplikasi penunda pembayaran (paylater) di Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/7/2023). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/tom.

tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat Edaran (SE) Nomor 19/SEOJK.05/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi mengumumkan bakal mengatur batas usia penerima dana (borrower) Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau pinjaman daring (pindar) dan Buy Now Pay Later (BNPL) atau Beli Sekarang Bayar Nanti adalah minimal 18 tahun atau sudah menikah. Kemudian, dalam SEOJK tersebut regulator juga mengatur penghasilan minimum pengguna paylater adalah Rp3 juta per bulan.

“Kewajiban pemenuhan atas persyaratan/kriteria pemberi dana dan penerima dana dimaksud efektif berlaku terhadap akuisisi pemberi dana dan penerima dana baru, dan/atau perpanjangan, paling lambat tanggal 1 Januari 2027,” kata Pelaksana Tugas Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, Ismail Riyadi, dalam keterangannya, dikutip Jumat (3/1/2025).

Dia melanjutkan, pengaturan skema paylater ini disusun dengan harapan dapat menguatkan perlindungan konsumen dan masyarakat terhadap potensi terjadinya jebakan utang (debt trap) bagi pengguna skema BNPL. Apalagi, sampai saat ini masih ada pengguna paylater yang belum mendapat edukasi dan literasi yang cukup mengenai produk dan layanan keuangan ini.

Pada saat yang sama, aturan batas usia dan penghasilan pengguna paylater ini juga diharapkan bisa mengembangkan dan memperkuat industri Perusahaan Pembiayaan (PP) BNPL.

“Selanjutnya, Perusahaan Pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan BNPL harus menyampaikan notifikasi kepada nasabah/debitur mengenai perlunya kehati-hatian dalam penggunaan BNPL, termasuk pencatatan transaksi debitur di dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK),” tegas Ismail.

Meski ditetapkan bakal mulai berlaku per 1 Januari 2027, namun OJK masih dapat melakukan peninjauan kembali terhadap aturan-aturan ini. Dengan pertimbangan antara lain, kondisi perekonomian, stabilitas sistem keuangan dan perkembangan industri PP BNPL nasional.

“Dalam rangka meningkatkan kualitas pendanaan, menciptakan ekosistem industri yang tumbuh sehat, efisien dan berkelanjutan, perlindungan konsumen/masyarakat, serta meminimalisir potensi risiko hukum dan reputasi bagi pelaku industri LPBBTI, maka dipandang perlu untuk melakukan penguatan pengaturan mengenai LPBBTI,” sambung Ismail.

Menanggapi hal ini, Head of Corporate Affairs GoTo Financial, Audrey Petriny, mengatakan, pihaknya akan mendukung penuh kebijakan yang dirilis OJK ini. Dia pun optimistis, kebijakan ini dirilis untuk mewujudkan ekosistem industri BNPL yang sehat dan berkelanjutan.

“Sejak awal, kami berkomitmen untuk selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian dan transparansi dalam layanan yang kami berikan. Dalam hal layanan GoPay Later, kami mengedepankan komunikasi yang transparan dengan konsumen. Seluruh persyaratan ditampilkan dengan jelas, dan tidak ada biaya tersembunyi,” katanya, kepada Tirto, Jumat (3/1/2025).

Pertumbuhan kredit paylater Indonesia

Nasabah mengakses layanan aplikasi penunda pembayaran (paylater) di Kota Serang, Banten, Kamis (12/9/2024). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kredit pembiayaan Buy Now Pay Later (BNPL) atau pay later pada perbankan periode Juli 2024 tumbuh sebesar 36,66 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp 18,01 triliun dengan jumlah rekening mencapai 17,90 juta. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/Spt.

Selain itu, selama ini GoTo Financial juga telah memberikan pinjaman berdasarkan kemampuan pengguna dan selalu mengajak pengguna untuk menggunakan fitur GoPay Later sesuai kebutuhan. Pun, secara rutin Audrey mengaku, pihaknya juga menyelenggarakan program edukasi untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat, sehingga diharapkan tak terjadi jebakan hutang di kalangan pengguna GoPay Later.

“Kami akan terus berdialog dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta pelaku industri lainnya untuk memberikan masukan dalam menciptakan industri yang sehat,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno, menilai, di tengah tingginya pertumbuhan paylater, tak heran jika OJK memberikan batasan ketat untuk melindungi konsumen dan industri.

Berdasar catatan OJK per Oktober 2024, piutang pembiayaan oleh PP BNPL mencapai Rp8,41 triliun atau tumbuh 63,89 persen secara tahunan (year on year/yoy), dengan rasio kredit bermasalah (Non Performing Financing/NPF) gross sebesar 2,76 persen, naik dari periode September 2024 yang masih sebesar 2,60 persen. Sementara baki debet kredit pay later perbankan per Oktober 2024 tercatat sebesar Rp21,25 triliun atau tumbuh 47,92 persen yoy, dengan total jumlah rekening mencapai 23,27 juta.

“Selama ini kan dilaporkan oleh pelaku usaha (NPF meningkat), tapi masih controllable, masih oke, masih batasnya, masih toleransi. Tapi ya tentu sebagai regulator, walaupun sih dia (OJK) mungkin melihat, ada nggak ini tren kenaikan?” kata Suwandi, saat dihubungi Tirto, Jumat (3/1/2025).

NPF gross paylater untuk perusahaan pembiayaan tersebut, meski mengalami kenaikan juga masih jauh lebih rendah dari ambang batas NPF yang ditetapkan OJK, yakni secara netto di level 5 persen. Sama halnya pelaku usaha lainnya, para pemilik perusahaan pembiayaan tidak ingin usaha yang didirikannya jatuh karena tingkat gagal bayar pengguna paylater.

Karenanya, selama ini PP yang memiliki layanan BNPL telah meramu syarat terbaik yang dapat diberikan kepada masyarakat sebelum menjadi pengguna layanan mereka. Sebagai contoh, untuk menjadi pengguna GoPay Later, masyarakat harus berusia 18-65 tahun yang ditunjukkan dengan foto e-KTP atau KTP elektronik. Selain itu, meskipun tidak tercantum batas minimum, namun GoTo Financial mensyaratkan para penggunanya untuk memiliki penghasilan tiap bulan untuk dapat menjadi pengguna GoPay Later.

Sementara Tokopedia, pengguna hanya dapat mengakses Tokopedia Paylater jika telah berusia 21-50 tahun dan telah bekerja selama minimal 3 bulan. Sedangkan untuk mengakses paylater yang disediakan oleh perbankan seperti Bank Mandiri (Persero) melalui Livin’ Paylater by Mandiri juga diharuskan telah memenuhi batas usia 18-65 tahun.

“Maka itu pasti kedua-duanya ini dari baik pelaku usaha (maupun OJK) juga sangat hati-hati. Karena tujuan mereka mendirikan usaha itu tujuannya untuk mengejar (keuntungan), tidak berakhir dengan banyaknya gagal bayar,” tambah Suwandi.

Aturan Baru Bikin Peminjam Lebih Bijak

Berlaku efektif pada 1 Januari 2027 dan masih berpeluang untuk ditinjau kembali oleh OJK, namun aturan minimum usia dan penghasilan pengguna paylater diperkirakan bakal membuat kualitas pinjaman paylater ke depannya menjadi lebih berkualitas. Sebab, nantinya tak akan lagi anak-anak atau orang di bawah batas umur yang membuka akun paylater dan menggunakan layanan keuangan tersebut dengan tidak bertanggung jawab.

Pun, batas minimal penghasilan Rp3 juta per bulan juga dinilai akan membuat calon pengguna paylater lebih bijak dalam menggunakan layanan tersebut.

“Adanya aturan ini tentu akan membuat peminjam yang mungkin nanti eligible untuk masuk ke platform BNPL ini adalah orang-orang yang harus punya certain income. Bukan pinjam terus nanti nggak jelas, nggak punya pendapatan. Terus bagaimana cara membayar?” tegas Suwandi.

Sebelumnya, OJK melaporkan, mayoritas pengguna paylater berasal dari kalangan generasi Z (Gen Z) dengan rentang usia 26-35 tahun. Rinciannya, 26,5 persen pengguna berusia 18-25 tahun dan 43,9 persen pengguna berusia 26-35 tahun. Berikutnya, 21,3 persen berusia 36-45 tahun, 7,3 persen pengguna berusia 46-55 tahun, serta hanya 1,1 persen pengguna paylater berusia di atas 55 tahun.

Dari sisi penggunaan, paylater banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan fesyen anak-anak muda, yakni mencapai 66,4 persen. Kemudian disusul oleh perlengkapan rumah tangga dengan 52,2 persen, elektronik 41 persen, laptop atau ponsel 34,5 persen, hingga perawatan tubuh sebesar 32,9 persen.

Kata Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, penggunaan paylater kini bak budaya di kalangan pemuda. Parahnya, budaya berutang di layanan BNPL membuat anak-anak muda kebanyakan utang.

Paylater itu kemudian membuat anak-anak muda ini nama kerennya itu over-indebtedness alias kebanyakan utang," kata Friderica atau yang akrab disapa Kiki, dalam Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (LIKE IT) 2024, dilansir dari YouTube OJK, Jumat (3/1/2025).

Maraknya penggunaan paylater di kalangan pemuda tak hanya menjadi kekhawatiran OJK saja, melainkan seluruh regulator industri keuangan di dunia. Bahkan fenomena fear of missing out (Fomo), You only live once (Yolo) hingga doom spending yang memicu perilaku berutang pada anak muda telah menjadi bahasan forum International Network on Financial Education oleh OECD.

"Anak muda ini Fomo, kalau nggak ikut khawatir dibilang ketinggalan zaman, terus Yolo. Katanya sekarang tren baru doom spending, belanja serasa mau kiamat. Jadi, anak muda ini kemudian membelanjakan yang dimiliki seolah tidak ada hari besok. Paling gawat belanjanya bukan dari uang yang dimiliki, tapi dari uang yang utangan tadi," jelas dia.

Padahal, di balik kenikmatan sesaat yang ditawarkannya, utang paylater memiliki risiko besar jika tidak dikelola dengan baik atau dalam hal ini dibayar secara teratur dan tidak melebihi tanggal jatuh tempo. Salah satunya adalah membuat Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) jeblok sehingga membuat anak muda kesulitan untuk mengajukan pembiayaan Kredit kepemilikan rumah (KPR).

"Banyak sekali anak-anak muda yang saya dapat informasi dari bank yang menyalurkan KPR menyatakan bahwa mereka ini tidak bisa mendapatkan KPR rumah karena SLIK-nya sudah buruk," sambung Kiki.

Ilustrasi perempuan belanja online

Ilustrasi perempuan belanja online. iStockphoto/Getty Images

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan, aturan batas usia dan minimal penghasilan pengguna BNPL memang dapat mengurangi risiko gagal bayar di kalangan peminjam muda yang berpendapatan rendah. Pada saat yang sama, aturan ini juga akan mengurangi kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan penyedia layanan BNPL.

“Memasukkan variabel pendapatan sebagai proses penyaringan peminjam, khususnya peminjam muda akan sangat efektif menekan risiko gagal bayar. Mengingat sebagian kalangan peminjam tersebut yang kebanyakan adalah mahasiswa belum memiliki penghasilan sendiri,” kata dia, saat dihubungi Tirto, Jumat (3/1/2025).

Terpisah, Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menilai, selama ini memang proses seleksi calon pengguna masih menjadi persoalan untuk industri BNPL. Karena itu, meski akan ada aturan soal batas minimum usia, namun regulator dan PP BNPL harus kembali menyeleksi, apakah calon pengguna benar-benar sudah memiliki pendapatan sendiri.

Pasalnya, jika hanya berdasar pada batas usia minimum 18 tahun, mahasiswa yang masih mengandalkan sokongan dari orang tua sebagai biaya hidup tetap akan berisiko mengalami gagal bayar.

“Jadi, kalau bagi saya tetap harus ada proses filtering yang tentunya ketika dia meminjam, melakukan paylater, dia juga harus punya kemampuan untuk membayar. Kalau nggak gitu, kasihan juga masyarakat,” ujar Heru, saat dihubungi Tirto, Jumat (3/1/2025).

Saat tak ada batasan ketat terhadap pengguna paylater, yang akan lebih diuntungkan adalah penyedia jasa BNPL, baik itu PP maupun perbankan. Apalagi, sudah banyak kasus mahasiswa yang kemudian masuk ke dalam daftar hitam saat mencari pekerjaan karena memiliki riwayat SLIK buruk.

Kemudian, penting pula untuk melihat apakah penghasilan pengguna dapat menutup pinjaman yang diajukannya di layanan BNPL. Heru menilai, seharusnya PP maupun perbankan penyedia paylater dapat menyaring calon pengguna dengan pendapatan tertentu yang akan membeli di luar batas kemampuannya untuk memitigasi terjadinya gagal bayar.

“Katakanlah misalnya penghasilannya UMR, kemudian dia paylater-nya mungkin motor. Penghasilannya kan nggak sesuai ini. Gagal bayar itu tadi karena memang pertama masyarakat tidak ada seleksi siapa yang boleh paylater, mana yang tidak,” imbuh Heru.

Dari sisi masyarakat, pengguna paylater juga sudah seharusnya dapat membuat daftar prioritas barang yang akan dibelinya menggunakan layanan paylater. Jangan hanya barang yang akan dibeli hanya didasarkan pada nafsu belaka atau sekadar lapar mata.

“Nah, ini yang menjadi problem kita juga. Karena ya diakui atau tidak, budaya kita gitu. Misalnya, sudah beli barang gitu dan cicil, ya sudah. Dianggap itu barang sudah miliknya. Cicilan kadang-kadang diabaikan,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PAYLATER atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang