tirto.id - Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Friderica Widyasari Dewi, mengungkapkan bahwa paylater atau fitur beli sekarang bayar nanti telah menjadi budaya di kalangan anak muda. Dari data yang dicatat OJK, mayoritas pengguna paylater berasal dari genersi Z (Gen Z) dengan rentang usia 26-35 tahun.
Rinciannya, 26,5 persen pengguna berusia 18-25 tahun dan 43,9 persen pengguna berusia 26-35 tahun. Berikutnya, 21,3 persen berusia 36-45 tahun, 7,3 persen pengguna berusia 46-55 tahun, serta hanya 1,1 persen pengguna paylater berusia di atas 55 tahun.
"Paylater itu kemudian membuat anak-anak muda ini nama kerennya itu over-indebtedness alias kebanyakan utang," kata Friderica atau yang akrab disapa Kiki, dalam Literasi Keuangan Indonesia Terdepan (LIKE IT) 2024, dilansir dari YouTube OJK, Senin (7/10/2024).
Dari sisi penggunaan, paylater banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan fesyen anak-anak muda, yakni mencapai 66,4 persen. Kemudian disusul oleh perlengkapan rumah tangga dengan 52,2 persen, elektronik 41 persen, laptop atau ponsel 34,5 persen, hingga perawatan tubuh sebesar 32,9 persen.
Menurut Kiki, maraknya penggunaan paylater di kalangan pemuda tak hanya menjadi kekhawatiran OJK saja, melainkan seluruh regulator industri keuangan di dunia. Bahkan fenomena fear of missing out (Fomo), You only live once (Yolo) hingga doom spending yang memicu perilaku berutang pada anak muda telah menjadi bahasan forum International Network on Financial Education oleh OECD.
"Anak muda ini Fomo, kalau nggak ikut khawatir dibilang ketinggalan zaman, terus Yolo. Katanya sekarang tren baru doom spending, belanja serasa mau kiamat. Jadi, anak muda ini kemudian membelanjakan yang dimiliki seolah tidak ada hari besok. Paling gawat belanjanya bukan dari uang yang dimiliki, tapi dari uang yang utangan tadi," jelas dia.
Padahal, di balik kenikmatan sesaat yang ditawarkannya, utang paylater memiliki risiko besar jika tidak dikelola dengan baik atau dalam hal ini dibayar secara teratur dan tidak melebihi tanggal jatuh tempo. Salah satunya adalah membuat Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) jeblok sehingga membuat anak muda kesulitan untuk mengajukan pembiayaan Kredit kepemilikan rumah (KPR).
"Banyak sekali anak-anak muda yang saya dapat informasi dari bank yang menyalurkan KPR menyatakan bahwa mereka ini tidak bisa mendapatkan KPR rumah karena SLIK-nya sudah buruk," sambung Kiki.
Kiki seringkali menemukan fakta bahwa ada anak muda yang sengaja mengajukan utang paylater melalui aplikasi pinjaman online kemudian enggan membayar dan membuang nomornya. Hal ini lah yang kemudian membuat riwayat SLIK jeblok.
Skor kredit yang buruk pada SLIK ini lah yang kemudian juga dapat membuat anak-anak muda, utamanya lulusan baru (fresh graduate) kesulitan mendapat pekerjaan.
"Karena semua akan ada catatan masing-masing. Adik-adik harus bertanggung jawab karena akan melekat kemana pun kalian pergi," pesan Kiki.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang