tirto.id - Sektor pertanian dan kehidupan para petani di Indonesia masih diselimuti awan gelap. Sektor pertanian yang digadang-gadang cukup perkasa dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan, seperti sergapan Pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu, ternyata tengah menghadapi tantangan serius.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, mengungkapkan bahwa sektor pertanian saat ini tengah menghadapi beberapa masalah besar. Masalah pertama adalah penyusutan lahan baku pertanian. Ia berkurang antara 50.000 hingga 70.000 hektar setiap tahunnya.
Penyusutan lahan tersebut tentu saja mengkhawatirkan karena dapat berdampak signifikan terhadap ketahanan pangan nasional. Kondisi ini pun membuat produktivitas pertanian Tanah Air ikut mengalami penurunan dari waktu ke waktu.
"Ini sebuah urgensi yang harus kita sikapi dengan sungguh-sungguh," ujar Moeldokodi gedung Kantor Staf Presiden (KSP) Jakarta, Rabu (2/10/2024), dikutip Antara.
Masalah lain yang juga mengkhawatirkan adalah jumlah petani di Tanah Air belakangan semakin menyusut. Hal ini diperparah oleh rendahnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian.
Berdasarkan hasilSensus Pertanian Tahap I Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, mayoritas petani di Indonesia kini usianya berada di atas 55 tahun. Kemudian, petani berusia 43-58 tahun persentasenya sebesar 42,39 persen dan petani usia 59-77 tahun sebanyak 27,61 persen.
Sementara itu, petani muda berusia 27-42 tahun persentasenya hanya sebesar 25,6 persen.
Jika dikelompokkan berdasarkan generasinya, jumlah anak muda yang bekerja di sektor pertanian juga tergolong sedikit. Misalnya, persentase Generasi Z yang lahir antara 1997-2012 yang masuk ke sektor pertanian hanya 2,14 persen, sementara Generasi Milenial yang lahir antara 1981-1996 mencapai 25,61 persen. Artinya, anak muda di Indonesia tak banyak yang tertarik bekerja di sektor pertanian.
"Data statistik terakhir bahwa mayoritas petani Indonesia saat ini usianya 55 tahun. Yang anomalinya Generasi Z itu populasinya hanya 2,14 persen yang ada dalam sektor pertanian," kata Moeldoko.
Data-data itu juga sejalan denganhasil survei Jakpat pada 2022 yang menunjukkan hanya enam dari 100 Gen Z yang berminat bekerja di bidang pertanian. Hal ini amat ironis, mengingat Indonesia dikenal sebagai negara agraris.
Dari survei terhadap 135 orang responden berusia antara 15-26 tahun tersebut, Jakpat mendapati beberapa alasan kenapa Gen Z enggan menggeluti bidang pertanian.
Responden menjawab bahwa bidang pertanian dianggap tidak memiliki perkembangan karier (36,3 persen), penuh risiko (33,3 persen), pendapatannya kecil (20 persen), tidak dihargai (14,8 persen), dan tidak menjanjikan (12,6 persen).
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa Gen Z umumnya lebih tertarik terjun ke sektor pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, pertambangan, dan seni kreatif.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat, Entang Sastraatmadja, menyadari bahwa minat seseorang menjadi petani belakangan ini mengalami penurunan. Menurutnya, profesi petani, khususnya petani padi, memang sudah tidak menjanjikan lagi. Selain itu, banyak petani senior yang malah melarang anak-anaknya jadi petani.
“Yang saya pahami minat untuk jadi petani memang turun,” ujar Entang kepada Tirto, Jumat (4/10/2024).
Minimnya Kesejahteraan Petani
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menilai bahwa fenomena penyusutan jumlah petani di Tanah Air itu terjadi karenasektor pertanian dianggap tidak menjanjikan kesejahteraan. Pasalnya,memang banyak pekerja sektor pertanian yang masuk kategori penduduk miskin.
Menurut data BPS, persentase penduduk miskin ekstrem yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 47,94 persen dari total penduduk pada Maret 2024. Dari total persentase tersebut, 24,49 persen di antaranya merupakan pekerja keluarga atau tidak dibayar. Lalu, 22,53 persen lainnya bertani dengan dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar.
“Artinya, banyak petani yang hidup di bawah garis kemiskinan,” jelas Eliza kepada Tirto, Jumat (4/10/2024).
Sejalan dengan Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI) BPS, lanjut Eliza, petani di Indonesia saat ini dinilai belum mencapai kesejahteraan lantaran rata-rata pendapatannyahanya sebesar US$1 per hari atau US$341 per tahun. Jika dikonversikan ke rupiah, pendapatan petani di Indonesia hanya mencapai Rp5,16 juta per tahunnya (dengan kurs Rp15.160 per dolar AS).
“Ini kan tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup,” imbuh Eliza.
Eliza menyebut bahwa rendahnya pendapatan petani tersebut karena luas lahan yang digarap juga semakin sempit. Pun mayoritas petani kita adalah petani gurem. Petani gurem ini didefinisikan sebagai individu atau beserta keluarga yang melakukan usaha pertanian dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar.
Ironisnya, sambung Entang Sastraatmadja, selama 10 tahun terakhir (2013-2023), jumlah petani gurem di Indonesia keadaanya justru meningkat signifikan. Data BPS mencatat bahwa jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) gurem sebanyak 16,89 juta jiwa.
Dengan kata lain, terjadi kenaikan sebesar 18,49 persen dari catatan jumlah RTUP gurem pada 2013 yang berjumlah “hanya” 14,25 juta.
Hal itu mengindikasikan bahwa lahan pertanian untuk bercocok tanam semakin sempit di berbagai wilayah Indonesia. Atau bisa juga dikatakan bahwa telah terjadi penggerusan lahan pertanian dengan angka yang cukup terukur.
“Meningkatnya jumlah rumah tangga petani gurem sebesar 2,64 juta rumah tangga bukanlah prestasi yang patut dibanggakan,” kata Entang.
Kenaikan tersebut, menurut HKTI, bukan target yang ingin dicapai. Sebab, petani gurem adalah potret petani di Tanah Merdeka yang kehidupannya memprihatinkan lantaran terjebak dalam kemiskinan.
Dilihat dari kualitas hidupnya, lanjut Entang, petani gurem dan petani buruh tergolong dalam kelompok yang rentan terhadap kemiskinan. Sebagian besar dari mereka malah merupakan kelompok masyarakat yang terjebak dalam kondisi kemiskinan ekstrem.
Menurut Entang, kehidupan mereka betul-betul memilukan dan pemerintah perlu untuk segera merubahnya.
“Dalam suasana semacam ini, mereka hidup hanya sekadar menyambung nyawa dari hari ke hari,” jelas dia.
Oleh karenanya, kata Entang, membengkaknya jumlah petani gurem dengan angka yang signifikan ini harus dicermati dengan seksama. Pemangku kepentingan mesti mencari tahu penyebab utama dari meningkatnya jumlah petani gurem tersebut.
Salah satu kemungkinan penyebab yang bisa diajukan adalah laju alih fungsi lahan pertanian yang semakin membabi buta dalam tahun-tahun belakangan ini.
Bambang Hermanto dalam studi berjudul “Dampak Pembangunan Bandara Internasional Kertajati Dalam Kajian Green Political Theory” (2021, PDF) menyebutkan bahwa alih fungsi lahan pertanian menjadi Bandara Internasional Kertajati berpengaruh terhadap berkurangnya kesempatan kerja pertanian.
Konversi lahan sawah bisa mengakibatkan hilangnya kapasitas produksi padi sebesar 4,5 hingga 12,5 ton/ha/tahun. Ia juga menghilangkan kesempatan petani untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp2,3 juta/musim dan kelompok buruh tani sebesar Rp900.000/musim.
Selain itu, alih fungsi lahan pertanian menyebabkan terjadinya perubahan luas lahan garapan usaha tani masyarakat. Hal tersebut berdampak pada hilangnya pendapatan usaha tani padi yang biasa didapatkan setiap tahunnya. Nilai rata-rata hilangnya pendapatan rumah tangga petani padi sebesar Rp38.598.962/ha/tahun.
Kegagalan & Kekeliruan Pemerintah
Beberapa permasalahan di sektor pertanian Tanah Air tentu tidak lepas dari kegagalan dan kekeliruan pemerintah dalam membuat kebijakan. Menurut Eliza Mardian, pemerintah saat ini terlalu berorientasi hanya kepada peningkatan produksi pertanian dan belum fokus pada kesejahteraan petani.
Obsesi terhadap produksi itu tampak dari kebijakan mercusuar macamfood estate. Proyek food estateitu sudahlah mengorbankan hutan, juga hampir tak membawa hasil apa-apa bagi petani. Mereka yang jadi buruh tani tetap menjadi buruh tani. Pasalnya, pengelolaanfood estateselama ini dipegang oleh korporasi, bukan petani.
“Jika anggaran food estate digunakan untuk membenahi irigasi, ini setidaknya akan meningkatkan indeks pertanaman (IP) kita yang rata-rata belum mencapai angka,” jelas Eliza.
Eliza juga menyoroti mandeknya progres reforma agraria dalam hal distribusi lahan. Menurutnya, reforma agraria yang kini digenjot pemerintah Jokowi pada dasarnya masih berkutat disoal legalisasi aset yang memang sudah dimiliki. Jika pun ada pendistribusian lahan ke petani, letaknya tidak strategis dan posisinya sulit dijangkau.
“Karena minimnya infrastruktur jalan dan irigasi dan belum terbangunnya akses pasar, petani pun sulit mengoptimalkan lahan yang sudah mereka dapatkan. Malah justru banyak petani yang ingin menjual lahannya kembali setelah didapatkan,” ujarnya.
Sementara itu, lahan-lahan strategis yang dekat irigasi dan jalan biasanya justru dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar atau tuan tanah yang berasal dari kota-kota besar. Oleh karena itu, banyak petani yang sulit memiliki lahan yang harganya setiap tahun naik.
“Sedangkan dari sisi pendapatan petani, untuk biaya hidup satu tahun saja tidak cukup pendapatannya hanya dari sektor pertanian. Bagaimana mau bisa beli lahan,” pungkas Eliza.
Lantas, bagaimana solusinya? Moeldoko sendiri menyarankan perlunya ekstensifikasi lahan, termasuk membuka lahan baru di berbagai wilayah Indonesia yang memiliki potensi untuk dikelola menjadi lahan pertanian.
Ide pembukaan lahan baru ini pun didukung oleh Food and Agriculture Organization (FAO). Dari segi pendanaan, FAO menyediakan dana untuk program regenerasi petani di Indonesia.
Moeldoko menyatakan bahwa Indonesia siap mengimplementasikan konsep tersebut melalui kurikulum bagi lulusan SMA dan sekolah tinggi. FAO pun berkomitmen memberikan bantuan dana Rp7,5 hingga Rp8 miliar per proyek.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi