tirto.id - Kementerian Pertanian (Kementan) tengah menggalakan program Petani Milenial sebagai program prioritas pada 2025 mendatang. Selain bertujuan untuk menarik minat generasi muda, program Petani Milenial ini juga diharapkan dapat membantu mewujudkan swasembada pangan yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, menjamin generasi muda akan memiliki penghasilan Rp10 juta per bulan jika mau bergabung dalam program Petani Milenial. Pendapatan tersebut merupakan proyeksi hasil panen yang didapat para petani milenial dan bukan dibayarkan oleh pemerintah.
"Pendapatan tinggi di atas daripada gaji kalau kita jadi pegawai," ujar Amran dikutip Antara.
Amran mengeklaim, saat ini masyarakat yang berminat untuk mendaftar menjadi Petani Milenial sudah mencapai 20 ribu orang dari total target pendaftar mencapai 50 ribu peserta. Pendaftaran program tersebut, dilakukan di laman resmi Kementan dengan melengkapi data diri dan menunggu hasil seleksi.
Keinginan Amran untuk menggaet petani milenial sebenarnya bukan tanpa alasan. Saat ini, sektor pertanian kita dihadapkan dengan kendala makin menurunnya jumlah petani dan rendahnya minat generasi muda untuk berprofesi sebagai petani.
Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I, selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani Indonesia mengalami penurunan sebanyak 7,42 persen, dari 31,70 juta orang pada 2013 menjadi 29,34 juta orang pada 2023.
Fakta lain menyebutkan bahwa profil petani didominasi oleh petani yang berusia tua. Sebanyak 42 persen petani Indonesia merupakan generasi X, yang berusia 43–58 tahun. Jumlah petani berusia 55– 64 tahun mengalami peningkatan 3,29 persen dan petani berusia di atas 65 tahun meningkat 3,4 persen dalam sepuluh tahun terakhir.
Bertolak belakang dengan fakta di atas, jumlah petani milenial (usia 27–42 tahun) justru cenderung mengalami penurunan. Dalam sepuluh tahun terakhir, proporsi petani berusia 25–34 tahun turun sebanyak 1,73 persen menjadi 10,24 persen, dan proporsi petani berusia 35–44 tahun turun sebanyak 4,34 persen menjadi 22,0 persen.
“Minat menjadi petani di Indonesia saat ini mengalami penurunan, khususnya di kalangan generasi muda,” ujar Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Sri Mulyani, kepada Tirto, Selasa (12/11/2024).
Kondisi ini, kata Sri Mulyani merupakan cerminan dari tantangan struktural yang dihadapi petani kecil, yang berada dalam lingkaran persoalan kesejahteraan yang rendah. Banyak petani merasa bahwa profesi ini tidak memberikan jaminan kehidupan yang layak, bahkan cenderung lebih merugikan daripada menguntungkan.
“Faktor-faktor seperti biaya produksi yang terus meningkat, terutama untuk benih, pupuk, dan peralatan, tidak seimbang dengan harga jual hasil panen yang sering kali tidak stabil,” ujarnya.
Dalam kondisi di atas, petani terjebak pada situasi di mana modal yang mereka keluarkan jauh lebih besar daripada pendapatan yang diterima. Hal ini menciptakan tekanan finansial yang berat. Situasi tersebut lantas memicu rasa 'frustasi' dan membuat generasi muda berpikir ulang untuk melanjutkan profesi sebagai petani.
“Karena mereka tidak melihat ada prospek yang menjanjikan di dalamnya,” ujarnya.
Gaji Besar Bisa Menarik Minat Petani Muda?
Sekalipun saat ini pemerintah memberikan iming-iming dan jaminan gaji besar untuk menarik minat generasi muda, khususnya kaum milenial untuk bertani, bagi sebagian mungkin terdengar menggoda. Akan tetapi, pendekatan ini justru dinilai memiliki kelemahan mendasar.
“Kebijakan semacam ini tidak menyentuh akar persoalan yang dihadapi petani saat ini,” ujar Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, pendekatan instan tanpa upaya substansial untuk memperbaiki sistem pertanian bisa saja menarik minat sesaat, tetapi berisiko menyebabkan ketergantungan pada insentif yang tidak berkelanjutan.
Sri Mulyani malah menyebut kebijakan iming-iming gaji besar di sektor pertanian bisa memicu praktik penyalahgunaan sebagaimana yang pernah terjadi pada program lain, seperti Kartu Prakerja. Dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja banyak ditemukan sejumlah penyalahgunaan yang berfokus pada insentif dana daripada tujuan utama program itu sendiri, yaitu peningkatan keterampilan kerja.
“Beberapa peserta mendaftar hanya untuk mendapatkan insentif finansial tanpa memanfaatkan fasilitas pelatihan secara maksimal,” ujar dia.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, mengatakan, para pemuda bisa saja kembali ke sektor pertanian tanpa iming-iming gaji besar. Akan tetapi, pemerintah perlu memenuhi sejumlah faktor penting di sektor pertanian, mulai dari akses terhadap alat produksi, pendidikan pertanian, hingga kebijakan yang melindungi hasil pertanian.
“Tetapi kalau saya katakan apakah pemuda-pemuda kita mau menjadi petani? Mau. Tetapi dia harus menguasai alat produksi. Punya tanah minimal 2 hektar. Kemudian dia dibekali pendidikan-pendidikan pertanian. Kemudian dibekali juga dia dengan modal,” ujar Henry saat dihubungi Tirto, Selasa (12/11/2024).
Henry melanjutkan, tanpa iming-iming gaji Rp10 juta per bulan para petani sebenarnya bisa mendapatkan lebih dari yang dijaminkan pemerintah. Ia mencontohkan, para petani di Sumatera bisa meraih pendapatan tinggi dari perkebunan kelapa sawit.
“Mereka memiliki kebun minimal 3 hektar, bahkan ada yang memiliki 5 hektar. Dengan lahan sebesar itu, mereka bisa memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp25 juta rupiah per bulan," jelasnya.
Tidak hanya kelapa sawit, hasil pertanian seperti padi juga memiliki potensi pendapatan yang sangat menjanjikan. Misalnya, dengan 2 hektare lahan sawah, seorang petani bisa menghasilkan Rp240 juta rupiah per tahun, atau sekitar 20 juta rupiah per bulan.
Pendapatan itu bisa didapat, dengan catatan selama petani tersebut memiliki lahan sendiri. Namun, jangan harap petani dapat gaji besar jika hanya menggarap atau mengelola lahan pertanian orang lain.
Sementara itu, Peneliti Next Policy, Dwi Raihan, menilai kebijakan program Petani Milenial ini tidak tepat. Ia beralasan masih banyak petani yang belum sejahtera. Alih-alih menjanjikan gaji 10 juta per bulan, lebih utama digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani yang ada dan memperbaiki kondisi pertanian.
“Jika petani sejahtera dan ekosistem pertanian yang mendukung, maka banyak orang termasuk milenial yang tertarik menjadi petani dengan sendirinya,” ujar dia kepada Tirto, Selasa (12/11/2024).
Jumlah Petani Bukan lah Masalah Pertanian
Raihan menyebut masalah pertanian bukan hanya jumlah petani. Jumlah petani gurem yang naik, ketersediaan pupuk, luas lahan yang semakin tergerus terutama padi, hingga serapan hasil pertanian yang kurang, sehingga berdampak pada murahnya harga hasil pertanian lebih utama daripada sekedar meningkatkan jumlah petani.
Oleh karena itu, pemerintah harus komprehensif dalam urusan pertanian dari hulu sampai hilir. Di hulu, Raihan merekomendasikan pemerintah untuk fokus pada menjaga lahan pertanian khususnya sawah di Pulau Jawa, alih-alih menjalankan program cetak sawah yang membutuhkan biaya dan potensi gagal yang besar.
Pemerintah, kata Raihan, dapat meningkatkan subsidi pupuk dan pelatihan bagi petani. Pemerintah juga harus memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas melalui penggunaan traktor, drone, hingga bibit yang unggul. Serta dapat bekerjasama dengan akademisi maupun petani untuk merumuskan sekaligus menjalankan program pertanian.
“Di hilir, pemerintah perlu menjamin penyerapan hasil pertanian masyarakat. Di mana ini menjamin pendapatan bagi petani,” jelas dia.
IDEAS juga mengamini bahwa langkah-langkah seperti meningkatkan akses petani terhadap teknologi, peralatan modern, dan sumber daya pertanian berkualitas seperti benih unggul dan pupuk murah menjadi upaya konkret untuk mendorong produktivitas mereka.
"Di samping juga perlu adanya kebijakan yang memotong rantai distribusi yang panjang dan memperbaiki mekanisme penetapan harga jual agar petani menerima keuntungan layak," jelas Sri Mulyani.
Di luar itu, Sri Mulyani, pemerintah juga perlu fokus pada peningkatan edukasi dan pelatihan bagi petani muda. Dengan bekal pengetahuan tentang teknik pertanian modern, seperti penggunaan teknologi informasi untuk pemantauan cuaca, serta teknik budidaya yang lebih efisien, generasi muda akan lebih terdorong untuk menekuni bidang pertanian dengan optimisme.
“Gabungan antara inovasi teknologi, dukungan ekonomi yang realistis, dan peningkatan edukasi inilah yang memungkinkan regenerasi petani secara alami dan berkelanjutan, tanpa harus bergantung pada iming-iming yang sifatnya sementara,” jelas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Andrian Pratama Taher