tirto.id - Presiden RITerpilih, Prabowo Subianto, tampaknya berkomitmen melanjutkan kembali program food estateyang telah berjalan dari era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menteri Pertahanan itu masih bercita-cita dan percaya dapat mewujudkan kedaulatan pangan di negeri sendiri dengan mengembangan pertanian skala besar di berbagai daerah.
Prabowo punya program-program prioritas yang dirangkum dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC). Satu dari tujuh PHTC itu berfokus pada pengembangan lumbung pangan nasional, daerah, dan desa.
Itu dilakukan dengan intensifikasi lahan pertanian seluas 80 ribu hektare dan cetak sawah baru 150 ribu hektare. Anggaran untuk program ini di tahun pertama mencapai sekitar Rp15 triliun.
“Insyaallah kita bukan saja swasembada pangan, kita akan jadi lumbung pangan untuk dunia," kata Prabowo beberapa waktu lalu.
Program food estate duludiluncurkan Jokowi sebagai bagian dari Proyek Strategi Nasional (PSN) untuk 2020-2024. Wujud program ini berupa penciptaan kawasan-kawasan terpadu yang menyatukan sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan di daerah-daerah yang dinilai potensial, seperti di Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Papua.
Tujuan utama food estate adalah meningkatkan produksi bahan pangan pokok, seperti beras, jagung, dan singkong, untuk menekan ketergantungan pada impor. Program ini menargetkan penggunaan lahan terbengkalai atau yang tidak digunakan secara efektif agar menjadi lebih produktif. Salah satu jenis lahan yang termasuk dalam kategori itu adalah lahan gambut.
Namun, program food estateitu nyatanya sampai sekarang belum mampu memperlihatkan kontribusi seperti yang diharapkan dalam meningkatkan produksi pangan. Oleh karena itulah, pemerintahan Prabowo dikhawatirkan hanya akan mengulang kegagalan yang sama jika lumbung pangan ini dilanjutkan.
Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan, mengatakan bahwa dalam sepuluh tahun pemerintahan Jokowi, sektor pertanian Indonesia masih jalan ditempat. Menurutnya, Jokowi terbukti gagal mengurangi impor pangan dan gagal mewujudkan swasembada beras.
Berdasarkan catatannya, impor beras pada 2023 mencapai 3,06 juta ton dan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah. Impor beras 2024 pun diperkirakan akan lebih tinggi lagi.
Di tengah kegagalan ini, Jokowi justru melakukan manuver berbahaya. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu justru mengambil jalan pintas dengan membuka lahan pertanian secara besar-besaran melalui proyek food estate.
“Manuver ini sangat bahaya karena dilakukan tanpa pertimbangan matang, dengan perkiraan tingkat keberhasilannya sangat rendah. Benar saja, proyek food estate di sejumlah daerah gagal total. Antara lain di Kalimantan. Dana triliunan rupiah menguap,” kata Anthony kepada Tirto, Selasa (8/10/2024).
Anthony justru menyayangkan bahwa Prabowo seakan tak belajar dari pengalaman kegagalan sebelumnya. Alih-alih, dia malah menyiapkan proyek food estate baru yang jauh lebih besar lagi di Papua, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan beberapa daerah lainnya.
Di Merauke, Papua, luas food estate mencapai 2,29 juta hektare—sekitar 1,18 juta hektaredigunakan untuk tanam padi dan 1,11 juta hektar untuk tebu. Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, konon sedang disiapkan masing-masing 500 ribu hektare.
“Di pengujung masa jabatannya, Jokowi masih cawe-cawe ‘memaksakan’ program ‘lose-lose’ food estate, meninggalkan bom waktu pada Prabowo. Karena, kalau program ini gagal—dan peluang gagal sangat besar—maka pemerintahan Prabowo yang harus menanggung akibatnya,” jelas dia.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menambahkan bahwa bila Prabowo bersitetap melanjutkan food estate dengan sistem yang ada saat ini, ia berpotensi akan kembali gagal.
Masalah program food estate yang ada saat ini terletak pada perencanaan yang buruk. Keberpihakan kepada masyarakat lokal juga rendah karena tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman nonlokal.
“Di Merauke sebagai contohnya, untuk kebutuhan beras secara nasional saya rasa tidak bisa mengandalkan pencetakan lahan di Merauke. Memang, fokus pembangunan food estate Merauke ini untuk wilayah timur, tapi masalahnya adalah makanan pokok di Papua bukan beras. Jadi, belum tampak pasarnya seperti apa nanti yang akan menyerap,” kata Huda kepada Tirto, Selasa (8/10/2024).
Konsep Food Estate & Implementasinya Tak Sejalan
Di sisi lain, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, menilai bahwa konsep food estate sebenarnya bagus karena ingin membangun pertanian terintegrasi yang dapat meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan berkelanjutan. Sayangnya, tataran pelaksanaannya kurang tepat lantaran masih memakai pendekatan deforestasi dan menggusur lahan warga lokal.
“Ini yang menyebabkan food estate di Indonesia stigmanya jadi negatif dan ditolak. Jika food estate berhasil, mungkin kita tidak makin banyak impornya,” kata Eliza kepada Tirto, Selasa (8/10/2024).
Menurut Eliza, program food estate akan berakhir gagal lagi jika masih tidak memenuhi kaidah-kaidah ilmiah dalam pelaksanaannya. Pasalnya, program serupa dalam upaya ketahanan dan swasembada pangan yang sudah ada sejak 1995 (Proyek Lahan Satu Juta Hektar) di Kalimantan Tengah; Lumbung Pangan di Merauke, Bulungan, dan Ketapang (2010-2013); serta Cetak Sawah di 28 provinsi (2014-2017) terbukti gagal seluruhnya.
“Terbukti dari berbagai kegagalan food estate dari era Pak Soeharto yang PLG, food estate Ketapang dan Bulungan era SBY, periode Pak Jokowi dan berlanjut lagi kegagalannya di Kalteng. Pemerintah semestinya menjalankan program yang sesuai kaidah ilmiah dan jelas penyusunan teknisnya sesuai kajian,” jelas Eliza.
Berkaca dari beberapa proyek food estate di atas, lanjut Eliza, alih-alih membuat ketahanan pangan, yang terjadi justru bisa saja sebaliknya. Pasalnya, program tersebut sebenarnya kurang menguntungkan karena produktivitasnya rendah dan beberapa di antaranya malah gagal panen.
“Bukannya berbagi untung malah berbagi kerugian. Agar tidak rugi, makanya beralih menanam komoditas lain, bukan pangan sebagaimana tujuan awalnya,” imbuh dia.
Sementara itu, Anthony Budiawan mengatakan bahwa kebijakan menggenjot produksi pangan melalui program food estate atau cetak sawah lebih cenderung mencerminkan kebijakan frustrasi dan spekulatif. Karena, masalah pangan bukan hanya masalah produksi atau masalah swasembada, melainkan juga masalah kesejahteraan petani.
“Masalah utama pangan adalah bagaimana meningkatkan produksi pangan, yang sekaligus juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Faktor terakhir ini, kesejahteraan petani, bahkan jauh lebih penting dan harus menjadi prioritas utama,” jelas Anthony.
Menurutnya, proyek food estate yang akan menelan dana APBN puluhan triliun itu tidak bisa memenuhi kedua tujuan tersebut secara bersamaan. Sebaliknya, proyek food estate kemungkinan besar justru akan membuat pendapatan dan kesejahteraan petani turun.
Program food estate sendiri, kata Anthony lagi, menciptakan dua klaster produksi padi dengan karakteristik sangat berbeda dan dilakukan oleh dua “pelaku usaha” yang juga berbeda.
Klaster pertama adalah produksi padi yang dilakukan oleh petani “gurem” dengan cara tradisional seperti yang selama ini dilakukan oleh para petani Indonesia, dengan struktur biaya produksi relatif cukup tinggi.
Sementara itu, klaster kedua adalah produksi padi yang dilakukan di area food estate yang sangat luas, dilakukan oleh “badan usaha” (swasta atau negara), dengan metode mekanisasi sepenuhnya, dan penggunaan aplikasi pertanian modern. Kondisi ini membuat biaya tanam di klaster kedua akan jauh lebih rendah dari biaya tanam di klaster pertama.
“Dampak dari dua klaster produksi ini sangat memprihatinkan. Harga gabah nasional akan tertekan mengikuti biaya produksi padi di food estate yang lebih rendah,” jelas Anthony.
Kondisi itu membuat pendapatan petani di klaster pertama (non-food estate) tertekan dan membuat kesejahteraan petani anjlok. Dampak ini bersifat permanen. Dampak lanjutannya, petani padi akan beralih ke tanaman lain.
Rangkaian hal itu kemudian membuat produksi padi nasional anjlok ke tingkat yang dapat menetralisasi kenaikan produksi padi di food estate.
Solusi Tingkatkan Produksi & Kesejahteraan Petani
Atas kondisi tersebut, pemerintah perlu mencari solusi produksi pangan yang berkelanjutan (sustainable) sekaligus meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Selain itu, pemerintah juga harus menghentikan penyusutan lahan sawah produktif, terutama akibat alih fungsi lahan sawah produktif dengan kedok PSN seperti yang terjadi di PIK-2.
“Untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi, harusnya tidak terlalu sulit, asal pemerintah mau sungguh-sungguh menanganinya. Karena, produktivitas padi Indonesia saat ini jauh lebih rendah dibandingkan Vietnam, apalagi Cina,” kata Anthony.
Menurut data dari Foreign Agricultural Services Kementerian Pertanian Amerika Serikat (FAS USDA), produktivitas padi Indonesia pada tahun produksi 2023/2024 hanya mencapai 4,8 ton per hektare. Sementara itu, produktivitas padi Vietnam dan China masing-masing mencapai 6,1 ton dan 7,1 ton per hektare—alias 27 persen dan 48 persen lebih tinggi dari Indonesia.
Jika produktivitas padi Indonesia dapat menyamai Vietnam, produksi padi nasional akan meningkat dan mungkin lebih besar dari kenaikan produksi padi dari hasil program cetak sawah di food estate. Kenaikan produktivitas padi, kata Anthony, akan turut meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani secara cepat.
“Ini pada gilirannya akan membuat pertumbuhan ekonomi melonjak,” jelas dia.
Sementara itu, Eliza Mardian menambahkan bahwa pemerintahan baru sudah saatnya mengubah orientasi dalam pengelolaan pangan. Pemenuhan pangan tidak mesti dilakukan dalam skala besar-besaran oleh korporasi, melainkan dilakukan petani-petani dengan skala kecil, terlokalisasi, dan terkoordinasi, termasuk melalui wadah koperasi.
Belum lagi, kata Eliza, pembangunan pertanian skala besar membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Ia juga menuntut pembuatan regulasi khusus dan mendorong konversi hutan besar-besaran.
Hal tersebut berbeda dengan pertanian berskala kecil dan terlokalisasi yang tidak membutuhkan investasi besar-besaran dan berkeadilan dalam aspek sosial maupun lingkungan.
“Sebetulnya, untuk meningkatkan produksi pangan tidak mesti hanya dengan food estate. Ada beberapa upaya lain yang dapat ditempuh, yakni pertama, meningkatkan produksi dengan optimalisasi lahan existing terutama di Pulau Jawa,” kata Eliza.
Upaya intensifikasi ini, kata Eliza, perlu didukung dengan upaya penyuluhan yang intensif dan masif seperti pada masa Orde Baru. Selain itu, upaya tersebut perlu dukungan permodalan yang ramah sektor pertanian dan ketersediaan informasi dan teknologi yang mendukung.
Di sisi lain, pemerintah juga bisa membuat sistem insentif yang adil untuk petani. Salah satunya adalah menjadikan sektor pertanian lebih menjanjikan bagi para pekerja di sektor tersebut. Dengan demikian, jumlah petani akan meningkat atau setidaknya tidak mengalami penurunan secara persisten dalam jumlah yang masif.
“Pemerintah hanya perlu mendukung para petani dengan membuat sistem insentif yang berkeadilan dan menyejahterakan petani,” imbuh dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi