Menuju konten utama

Wamen Rangkap Jabatan: Langgar Aturan & Berdampak Buruk ke BUMN

Rangkap jabatan menimbulkan preseden buruk dalam reformasi manajemen BUMN yang digaungkan pemerintah sedekade terakhir.

Wamen Rangkap Jabatan: Langgar Aturan & Berdampak Buruk ke BUMN
Yuliot Tanjung melambaikan tangan saat bersiap untuk dilantik menjadi Wakil Menteri Investasi oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/7/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Sejumlah wakil menteri di Kabinet Merah Putih merangkap jabatan sebagai komisaris di beberapa BUMN. Seolah-olah, tidak ada lagi figur di luar lingkaran pejabat negara yang memenuhi syarat untuk mengawasi dan mengelola BUMN sehingga para wamen harus rangkap jabatan.

Saat ini, terdapat tiga wamen yang diangkat menjadi komisaris di BUMN. Mereka adalah Wamen ESDM, Yuliot, sebagai Komisaris Bank Mandiri; Wamen BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, sebagai Komisaris Utama BRI; dan Wakil Menteri UMKM, Helvi Yuni Moraza, sebagai Komisaris BRI.

Rangkap jabatan itu jelas merupakan tindakan yang melanggar aturan. Dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019, MK menyatakan adanya larangan bagi seorang wamen untuk merangkap jabatan pada perusahaan negara atau swasta.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian wamen merupakan hak prerogatif Presiden RI sebagaimana pengangkatan dan pemberhentian menteri. Sehingga, wamen haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana status yang diberikan kepada menteri.

Dengan status demikian, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara berlaku pula bagi para wamen.

“Wamen jelas-jelas melanggar kalau jadi komisaris BUMN seperti ditetapkan oleh Keputusan MK. Jadi, statusnya sama dengan menteri, seperti dalam UU Kementerian Negara Pasal 23,” jelas Direktur NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan, kepada Tirto, Rabu (26/3/2025).

Rangkap jabatan wamen juga dilarang oleh UU Nomor 1/2025 tentang BUMN dan UU Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik. Pasal 17 Huruf a UU Pelayanan Publik menegaskan bahwa pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha, utamanya bagi pelaksana dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD.

Menurut Herry, pembiaran terhadap praktik rangkap jabatan dan rangkap pendapatan tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, pemerintah seolah mengabaikan peraturan perundang-undangan yang dibuat sendiri.

“Ini perilaku yang sangat buruk bagi BUMN,” kata Herry.

Kedua, BUMN sengaja dikelola secara ugal-ugalan dengan mengabaikan regulasi, khususnya di bidang tata kelola perusahaan yang baik. Di saat bersamaan, kepentingan pribadi pejabat justru jauh lebih penting dibandingkan kepentingan negara untuk menegakkan aturan.

Dari sisi tata kelola, Pengamat Kebijakan Publik, Achmad Hanif, menilai adanya figur pejabat publik dalam jajaran komisaris BUMN dapat memperbesar potensi konflik kepentingan.

Peran komisaris idealnya diisi oleh individu profesional dan independen agar bisa mengawasi direksi BUMN, bukan malah diisi oleh pejabat yang memiliki hubungan langsung dengan kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi bank tersebut.

“Ini berpotensi melemahkan independensi dan efektivitas pengawasan perusahaan,” kata Achmad kepada Tirto, Rabu (26/3/2025).

Rangkap jabatan juga akan menimbulkan preseden buruk dalam upaya reformasi birokrasi dan manajemen BUMN yang digaungkan oleh pemerintah selama satu dekade terakhir. Terlebih, ini memperkuat kesan bahwa jabatan komisaris di BUMN merupakan alat patronase politik, alih-alih instrumen profesionalisasi dalam korporasi negara.

Lebih dari itu, kata Achmad, keberadaan pejabat publik dalam struktur komisaris juga bisa menimbulkan keputusan strategis yang lebih berpihak pada kepentingan politik jangka pendek dibandingkan dengan prinsip bisnis yang berkelanjutan. Ini akan berdampak pada kebijakan kredit, ekspansi usaha, hingga tingkat risiko yang diambil oleh bank.

“Jika tidak dikelola dengan baik, ada risiko 'moral hazard' ketika keputusan perbankan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal ketimbang prinsip kehati-hatian (prudential banking),” kata Achmad.

Komitmen Pembenahan Tak Serius

Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai bahwa adanya wamen yang rangkap jabatan menunjukan rezim saat ini tidak punya komitmen serius mengenai aturan.

“Kalau Prabowo punya komitmen, artinya harusnya dia serius bagaimana menangani larangan rangkap jabatan terhadap menteri dan wakil menterinya ini,” kata Herdiansyah kepada Tirto, Rabu (26/3/2025).

Padahal, praktik rangkap jabatan bertentangan dengan prinsip-prinsip baik United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) ataupun UU Tindak Pidana Korupsi dan lain sebagainya. Bagaimana pun, rangkap jabatan berpotensi membuka celah terjadinya tindak pidana korupsi dan konflik kepentingan.

“Konflik kepentingan itu adalah salah satu klasifikasi korupsi di dalam Undang-Undang Tipikor dan itu dilarang keras di dalam UNCAC,” ujar Herdiansyah.

Menurut Herdiansyah, potensi bahaya korupsi itu makin besar lantaran yang jabatan yang dirangkap adalah jabatan di pemerintahan sekaligus komisaris bank BUMN.

“Itu berbahaya banget bagi bank kalau terjadi konflik kepentingan, misalnya, kepentingan pemerintah yang dibawa dalam bank tersebut. Potensi bank tersebut akan menjadi lumbung pendanaan bagi kelompok tertentu itu yang kita khawatirkan. Itu yang disebut sebagai konflik kepentingan,” pungkas dia.

Dampak Buruk bagi BUMN

Menurut Herry Gunawan dari NEXT Indonesia Center, pembiaran pelanggaran undang-undang yang terjadi di BUMN juga akan berdampak bagi perusahaan negara tersebut.

Pertama, tingkat kepercayaan publik terhadap Danantara sebagai pengelola BUMN ikut terseret dan makin buruk. Sebab, terlihat jelas bahwa kehadiran Danantara sebagai pemilik dan pengelola BUMN tidak berarti apa-apa terhadap pelanggaran yang terjadi.

“Tradisi buruk rangkap jabatan tidak berubah,” ujarnya.

Dampak lainnya, investor yang ingin bekerja sama dengan Danantara sebagai pengelola BUMN pasti berpikir berulang kali. Sebab, bercampurnya regulator di institusi operator mencerminkan buruknya tata kelola perusahaan tersebut.

“Investor waswas terhadap cawe-cawe regulator di BUMN akan membuat kinerja perusahaan pelat merah jadi buruk,” katanya.

Pembiaran terhadap pelanggaran undang-undang tersebut, lanjut Herry, sebenarnya sama saja dengan menanam bom waktu. Ketika kekuasaan berganti, kata dia, jangan heran sekiranya ada proses hukum terhadap penikmatnya maupun pihak berwenang yang melakukan pembiaran

“Sebab, model politik ‘balas dendam’ kan terlihat begitu kental di negara kita,” imbuhnya.

Praktik rangkap jabatan dan pembiarannya, menurut Herry, akan menjadi gambaran buruk bagaimana perusahaan negara dikelola. Bahkan, Danantara yang katanya mengusung semangat baru dan diisi tokoh-tokoh mentereng pun nyatanya tidak mampu mengubah praktik buruk yang merusak tata kelola dan reputasi itu.

Tirto sudah menghubungi Juru Bicara Kementerian BUMN, Putri Violla; Corporate Secretary BRI, Agustya Hendy Bernadi; dan tim humas Bank Mandiri untuk mendapat perspektif mereka terkait rangkap jabatan dan potensi dampaknya bagi perusahaan tersebut.

Namun, hingga artikel ini dirilis, baik Kementerian BUMN maupun BRI dan Mandiri belum merespons pertanyaan diajukan Tirto.

Baca juga artikel terkait RANGKAP JABATAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi