Menuju konten utama

Resep Tajir Pejabat: Rangkap Jabatan, Rangkap Gaji

Ratusan pejabat negara merangkap jabatan sebagai komisaris. Meski dianggap tak lazim menerima gaji ganda, sampai sekarang belum ada aturan yang melarang.

Resep Tajir Pejabat: Rangkap Jabatan, Rangkap Gaji
Header Polemik Moge Pejabat DJP Kemenkeu. tirto.id/Ecun

tirto.id - Kekayaan Rafael Alun Trisambodo sebesar Rp56 miliar sebagaimana tercantum dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) membuat publik terheran-heran. Harta karyawan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini hampir menyamai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang punya kekayaan Rp 58 miliar. Selain itu juga karena di sana tidak tercatat Jeep Rubicon yang dipakai anaknya.

Karena kasus ini, pejabat-pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan menjadi sorotan.

Selain Rafael, pejabat Kemenkeu lain juga punya harta miliaran, misalnya Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata. Kekayaannya pada 2021 lalu mencapai Rp25,4 miliar, meningkat drastis hampir tujuh kali lipat dibanding empat tahun sebelumnya (Rp3,3 miliar pada 2017). Nama lain misalnya Direktur Jenderal Kekayaan Negara Rionald Silaban. Kekayaannya Rp21,2 miliar di tahun 2017, kemudian meningkat sampai Rp53 miliar pada 2021. Keduanya adalah pejabat eselon I di Kemenkeu.

Banyak harta adalah satu hal, mempertunjukkannya adalah soal lain. Sri Mulyani kemudian mengingatkan anak buahnya tidak pamer hidup mewah. Gaya hidup mewah, menurut Sri Mulyani, “mencederai kepercayaan masyarakat” di tengah masifnya kampanye agar masyarakat taat bayar pajak.

Sesungguhnya tidak ada hal yang baru di bawah matahari, termasuk juga kasus pamer gaya hidup mewah para pengurus lembaga negara. Polri pun pernah dihantam isu serupa sampai Kapolri saat itu, Idham Azis, mengeluarkan surat telegram tertanggal 15 November 2019 yang isinya melarang para anggota pamer. Mereka juga tidak diperbolehkan mengunggah foto atau video yang menunjukkan gaya hidup elite.

Satu pertanyaan yang mengikuti penampilan mewah para pejabat adalah, bagaimana mereka bisa punya harta yang luar biasa? Salah satu yang disorot publik adalah rangkap jabatan. Kerap kali mereka mendapat penghasilan tambahan dari institusi pemerintah lain.

Jadi Masalah

Lewat penelusuran singkat, ditemukan setidaknya belasan orang di Kemenkeu yang rangkap jabatan dan pejabat setingkat eselon I mendominasi daftar. Sebagian besar menjadi komisaris perusahaan.

Mereka bisa membawa pulang hingga Rp700 juta dalam sebulan. Hitung-hitungannya, gaji dan tunjangan bisa mencapai Rp 100 juta (tingkat eselon I), sementara gaji sebagai komisaris bank milik negara sebesar Rp600 juta.

Salah satu contohnya adalah Askolani. Ketika menjabat Dirjen Anggaran, dia juga menjadi Komisaris Bank Mandiri. Setelah menjadi Dirjen Bea dan Cukai, Askolani menjabat Komisaris Bank BNI. Posisi Komisaris Bank Mandiri kemudian diisi salah satunya oleh Rionald Silaban yang adalah Dirjen Kekayaan Negara.

Ombudsman, lembaga negara yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, sejak bertahun-tahun lalu telah menyoroti perkata ini. Mereka menganggap rangkap jabatan berisiko menimbulkan pengaruh buruk pada pemerintah. Selain bisa mengganggu kinerja pejabat, rangkap jabatan juga rawan konflik kepentingan dan bisa melanggar peraturan negara.

Ombudsman menyatakan bahwa rangkap jabatan sebenarnya sudah dibatasi lewat Pasal 17 huruf (a) UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang isinya melarang “merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.”

Pada 2017 lalu, Ombudsman menyebut ada 232 jabatan yang memungkinkan adanya jabatan ganda. Jabatan di sektor konstruksi 25 orang; perkebunan dan hutan 25 orang; perbankan 41 orang; kesehatan dan farmasi 16 orang; tambang dan energi 25 orang; komunikasi dan utilitas 27 orang; transportasi dan perhubungan 51 orang; pariwisata 8 orang; pertanian dan logistik 41 orang. Persentase rangkap jabatan pada setiap bidang mencapai 5-20 persen.

Ombudsman mencatat ada 125 jabatan yang akhirnya ditempati oleh orang-orang dari berbagai instansi, termasuk di antaranya Kemenkeu dan Polri.

Pada tahun 2020, Ombudsman menemukan tren ini justru lebih masif. Ada 397 penyelenggara negara/pemerintahan yang terindikasi rangkap jabatan. Lagi-lagi kursi yang paling banyak ditempati adalah komisaris di BUMN. Dari jumlah tersebut, orang dari kementerian menyumbang paling banyak. Sebanyak 254 atau 64% terdeteksi adalah pejabat di kementerian. 112 orang merupakan pejabat non-kementerian dan 31 lain berasal dari perguruan tinggi.

Berdasarkan penilaian Ombudsman bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditemukan beberapa masalah pada 281 komisaris yang rangkap jabatan. Sebanyak 91 komisaris berpotensi menempati jabatan yang rangkap konflik kepentingan, lalu 138 komisaris dinilai tidak memiliki latar belakang dan kompetensi yang sesuai.

“Terjadi sejumlah potensi malaadministrasi rangkap jabatan pada komisaris BUMN disebabkan adanya benturan regulasi akibat batasan yang tidak tegas sehingga menyebabkan penafsiran yang berbeda dan cenderung meluas, serta adanya pelanggaran terhadap regulasi yang secara eksplisit telah mengatur pelarangan rangkap jabatan,” catat Ombudsman yang diwakili Alamsyah Saragih pada 2020.

Ombudsman khawatir rangkap jabatan berpotensi dapat mengurangi kredibilitas perusahaan pelat merah dan hanya menjadikan mereka wahana penimbun kekayaan.

Menanti Ketegasan

Isu rangkap jabatan bahkan bisa ditarik lebih jauh lagi ke era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan ketika itu yang menyorotinya tak lain Sri Mulyani yang juga menjabat Menteri Keuangan di pemerintahan tersebut. Pada tahun 2008, Sri Mulyani menyatakan bahwa “posisi untuk rangkap jabatan terutama sebagai komisaris di perusahaan, tidak lagi dibolehkan dalam rangka misi reformasi birokrasi” bagi pegawai struktural.

Dia bahkan menarik pejabat Departemen Keuangan yang ditugaskan ke BUMN, tapi ditahan oleh Menteri Negara BUMN saat itu Sofyan Djalil.

Rangkap jabatan juga menjadi atensi Taufiq Effendi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi kala itu. Tahun 2008 dia sepakat melarang rangkap jabatan lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri: Menteri Keuangan, MenPAN-RB, dan Menteri Negara BUMN. SKB yang dijadwalkan rampung tahun itu juga tidak selesai sampai 2009. Malah Taufiq tak lagi mempermasalahkan rangkap jabatan asal tidak rangkap penghasilan.

SKB akhirnya memang keluar. Tapi Sri Mulyani masih merasa itu kurang kuat. Menurutnya yang semestinya muncul adalah peraturan pemerintah.

Pembahasan yang berlangsung terus-menerus ini nyatanya tidak menghasilkan apa pun. Baik rangkap jabatan dan rangkap penghasilan berada dalam status quo dan pejabat yang mengambil gaji ganda atau tidak belum terikat aturan ketat. Karena, sekali lagi, itu bukan masalah buat pemerintah.

Alasan pembiaran rangkap jabatan beragam. Pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu atau BUMN, merasa perlu menempatkan orang mereka untuk jadi pengawas di perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki negara agar berjalan sesuai ekspektasi. Ada juga anggapan bahwa rangkap jabatan tidak dilarang selama tidak termasuk dalam struktural perusahaan.

Mereka yang mengambil gaji ganda juga membela diri dengan alasan hanya diutus, bukan meminta untuk dipekerjakan.

Infografik Rangkap Jabatan

Infografik Rangkap Jabatan. tirto.id/Ecun

Menurut Ombudsman, Kemenkeu adalah salah satu kementerian yang paling bermasalah dalam rangkap jabatan meski angka remunerasi merekalah yang paling tinggi.

Ombudsman menemukan Kemenkeu adalah instansi kedua terbanyak yang menyumbang pejabat rangkap jabatan di tahun 2019. Jumlahnya 42 orang. Di posisi pertama ada Kementerian BUMN dengan total 55 orang. Sedang di tahun 2020, Transparency International Indonesia (TII) menemukan dari 482 komisaris dan pengawas, ada 44 komisaris dari Kemenkeu dan 40 komisaris dari Kementerian BUMN. Kemenkeu menjadi penyumbang terbanyak.

KPK sudah mengingatkan agar sebaiknya pejabat negara tidak mendapat gaji ganda. Alternatif jika mereka menjabat di dua tempat (atau lebih) adalah menaikkan gaji dari institusi awal alias tetap menerima gaji tunggal.

Tapi pemerintah tak sepakat. Merujuk pernyataan pemerintah terdahulu: “Orang masih punya kemampuan kok dibatasi? Jika orang bisa menghasilkan penghasilan lebih, maka mengapa tidak.”

Sekarang, pemerintah juga tak lagi ribut soal rangkap jabatan--termasuk Sri Mulyani.

Baca juga artikel terkait RANGKAP JABATAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino