tirto.id - Posisi Komisioner Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi sorotan. Kali ini Ombudsman mengindikasikan tahun lalu ada 397 orang komisaris BUMN dan 167 komisaris anak usaha BUMN merangkap jabatan pada lembaga lain.
“Di tahun 2020 ini kemungkinan sebagian sudah non-aktif dan sebagian masih aktif. Itu akan kami konfirmasi ke Kementerian BUMN,” kata Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih dalam konferensi pers virtual, Minggu (28/6/2020) lalu.
Menurut Ombudsman, kejadian ini bukanlah hal baru. Pada tahun 2017 pun mereka menemukan ada 222 orang komisaris BUMN rangkap jabatan.
Sebanyak 254 orang atau 64 persen merangkap jabatan di kementerian. 55 komisaris berasal dari Kementerian BUMN, 42 komisaris dari Kementerian Keuangan, 17 komisaris dari Kementerian Pekerjaan Umum, 17 komisaris dari Kementerian Perhubungan, 16 komisaris dari Kementerian Sekretariat Negara, 13 komisaris dari Kementerian Koordinator, 9 komisaris dari Kementerian Perindustrian, 9 komisaris dari Kementerian Perdagangan, 8 komisaris dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, dan 68 dari kementerian lain.
Sementara 112 komisaris (28 persen) merangkap jabatan di lembaga non kementerian. 27 komisaris merangkap di TNI, 13 merangkap di Polri, dan 12 merangkap di Kejaksaan. Di samping itu ada 11 pejabat daerah yang memperoleh kursi komisaris perusahaan pelat merah, 10 orang anggota BIN, 10 anggota BKKP, 6 orang dari kantor presiden/wakil presiden, 4 anggota BPK, dan 19 orang lainnya.
Ombudsman juga menemukan 31 komisaris merangkap jabatan di perguruan tinggi. Paling banyak merangkap di Universitas Indonesia, sebanyak 9 orang. Disusul Universitas Gadjah Mada sebanyak 5 orang, Universitas Hasanuddin sebanyak 2 orang, Universitas Padjajaran 2 orang, Institut Teknologi Sepuluh November 2 orang, dan perguruan tinggi lain sebanyak 11 orang.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengklaim tidak ada yang salah dengan hal itu, bahkan wajar dan sudah terjadi sejak awal. Pasalnya, pemerintah--sebagai pemegang saham utama di BUMN--berhak menempatkan orangnya untuk mengawasi kinerja perusahaan.
“Itu logika umum. Kalau enggak siapa yang mewakili pemerintah dalam perusahaan?” kata Arya sebagaimana dikutip dari Antara hari Minggu kemarin.
Kendati Arya berkata demikian, penunjukan pejabat pemerintahan menjadi komisaris BUMN berpotensi menyalahi peraturan. Pasal 17 huruf a Undang-Undang 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik terang menyatakan pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN, dan BUMD.
Koordinator bidang Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz memandang rangkap jabatan itu bermasalah setidaknya dari dua aspek, pertama tata kelola pemerintahan yang baik; dan kedua aspek politik.
Dipandang dari aspek pertama, Donal beranggapan komisaris yang merangkap jabatan tidak akan bisa bekerja maksimal karena harus membagi waktu dan fokus. Dampaknya ialah dikorbankannya tata kelola perusahaan. Padahal, dalam Pasal 28 ayat 1 UU BUMN juncto Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-02/Mbu/02/2015, disebutkan bahwa syarat materiil untuk dipilih menjadi komisaris salah satunya ialah dapat menyediakan waktu yang cukup.
“Semisal ada yang jadi rektor tapi merangkap jadi komisaris BRI. Mana yang diprioritaskan oleh yang bersangkutan? Dua peran itu butuh konsentrasi dan energi yang berbeda,” kata Donal kepada reporter Tirto, Senin (29/6/2020).
Donal beranggapan keputusan ini melanggengkan kebijakan yang koruptif. Mereka bisa mendapat penghasilan mulai dari jutaan hingga miliaran rupiah dari dua instansi yang berbeda, padahal hanya bekerja paruh waktu. Tak cuma itu, rangkap jabatan itu juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Bagaimana mungkin, misalnya, ada pengusutan hukum yang memadai jika misalnya ada BUMN terjerat kasus ketika mereka mempekerjakan komisaris bertitel aparat penegak hukum.
Poin ini terkait dengan masalah kedua. Ia mengatakan selama ini jabatan komisaris kerap jadi 'kue politik' yang dihadiahkan penguasa kepada orang yang punya kontribusi elektoral.
“Memang pemerintah maunya begitu. Makanya alasannya selalu ‘di aturannya tidak ada yang melarang.’ Aturan kan bisa dibuat dan diubah pemerintah. Masalahnya itu adalah kemauan mereka sendiri, bukan problem di aturan,” kata Donal.
Alamsyah sendiri berpandangan jika hal ini tetap dibiarkan, maka akan timbul ketidakpastian dalam proses perekrutan komisaris. Muaranya, hal ini memperburuk tata kelola perusahaan pelat merah dan merusak kepercayaan publik. Karenanya ia berharap pemerintah dapat segera menyelesaikan persoalan ini.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino