Menuju konten utama

Tantangan Pasar Saham 2025: Dari Geopolitik hingga Perang Dagang

Mahendra yakin kondisi ketidakpastian dunia bisa menjadi peluang besar bagi pasar modal nasional. Bagaimana prospeknya di 2025?

Tantangan Pasar Saham 2025: Dari Geopolitik hingga Perang Dagang
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) bersama Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar (kedua kiri), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kedua kanan), dan Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Perkasa Roeslani (kanan) membuka perdagangan saham awal tahun 2025 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Pada pembukaan perdagangan saham awal tahun 2025 IHSG dibuka menguat 29,36 poin atau 0,41 persen ke posisi 7.109,26. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.

tirto.id - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka di level 7.103,14 pada perdagangan perdana 2025, tepatnya pada Kamis (2/1/2025) pukul 09.00 WIB. Bila dibandingkan dengan penutupan perdagangan 2024, Senin (30/12/2024) yang sebesar 7.079,90, harga saham naik 0,33 persen.

Dalam semenit pertama, indeks komposit tumbuh 0,39 persen ke 7.107,82, dengan total 216 saham menguat, 100 saham melemah, dan 631 saham lainnya stagnan. Adapun nilai transaksi awal menyentuh Rp295,2 miliar, dengan volume saham yang diperdagangkan mencapai 1,2 miliar lembar.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menilai, kinerja pasar saham nasional di 2024 menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, di tengah beratnya kondisi perekonomian dunia. Hal ini terlihat dari IHSG yang pernah mencapai level terendahnya di 6.726,92 pada 19 Juni 2024 dan mencapai titik tertinggi di level 7.905 pada 19 September 2024.

“Yang walaupun turun 2,6 persen dari tahun lalu, namun (IHSG penutupan perdagangan 2024) di atas level terendah 6.726,92 pada 19 Juni 2024. Rentang besar sebesar 1.200 poin antara tingkat tertinggi dan terendah indeks di 2024 merefleksikan volatilitas yang luar biasa pasar modal global sebagai dampak perekonomian dunia yang mengalami tantangan berat,” kata dia dalam sambutannya di acara pembukaan perdagangan BEI, Kamis (2/1/2025).

Selain itu, nilai kapitalisasi pasar mencapai Rp12,3 triliun atau tumbuh 6 persen. Kemudian, dari aktivitas penghimpunan dana di pasar modal telah tercatat 199 penawaran umum dengan total nilai penghimpunan dana Rp259,24 triliun, termasuk dari 43 emiten baru dengan nilai IPO Rp16,68 triliun dan Penawaran Umum Perdana Saham (PUPS) Rp41,77 triliun.

“Namun demikian kita juga melihat masih banyak ruang perbaikan yang harus dilakukan Indeks LQ45 yang berisi saham-saham perusahaan terbesar dan paling liquid serta biasanya menjadi rujukan investasi fund manager global dan domestik justru melemah 15,6 persen,” tambah Mahendra.

Sementara itu, menurut Bos OJK tersebut, Pembukaan Perdagangan di BEI menjadi kegiatan yang memiliki makna penting bagi pasar saham nasional. Sebab, momentum ini tak hanya menjadi awal dukungan yang baik bagi aktivitas pasar modal di awal tahun, melainkan juga sebagai penguat komitmen bersama seluruh stakeholder pasar modal untuk menjaga integritas, stabilitas dan daya saing di tengah tantangan ekonomi global.

Meski begitu, Mahendra yakin, kondisi ketidakpastian dunia sesungguhnya bisa menjadi peluang besar bagi pasar modal nasional.

“(Untuk) menunjukkan resiliensinya yang tinggi, sebagai cerminan perekonomian nasional dan kinerja perusahaan-perusahaan tercatat Indonesia,” kata dia.

Sebaliknya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang hadir membuka perdagangan IHSG 2025 menggantikan Presiden Prabowo Subianto, menilai, 2025 masih akan diliputi oleh ketidakpastian geopolitik yang kemudian berpotensi mempengaruhi kondisi ekonomi nasional. Selain itu, jumlah investor ritel yang sampai saat ini tergolong masih kecil menjadi salah satu tantangan pertumbuhan pengembangan pasar modal di tahun ini.

“Tadi disampaikan oleh Pak Mahendra, jumlah yang sudah berpartisipasi di pasar saham atau bursa efek itu masih relatif kecil. Maka, edukasi dan literasi terus ditingkatkan, namun kita mungkin (dengan) Pak Mahendra, saya terus harus berinovasi mendorong instrumen-instrumen yang jauh lebih affordable untuk masyarakat kecil,” ujar Sri Mulyani, dalam kesempatan yang sama.

Sebagai informasi, pada 2024 total investor pasar modal yang terdiri dari investor saham, obligasi, dan reksa dana meningkat menjadi 14,84 juta investor. Sementara khusus untuk investor saham, terdapat peningkatan lebih dari 1 juta investor saham menjadi 6,37 juta investor saham. Dari sisi partisipasi investor, rata-rata investor yang aktif bertransaksi per 24 Desember 2024 mencapai 147 ribu per hari.

Selain itu, jika dilihat dari jumlah kepemilikan investor, porsi transaksi investor ritel masih stabil, yakni sebesar 32,8 persen. Namun, terlihat peningkatan pada porsi transaksi investor institusi asing dengan porsi transaksi mencapai lebih dari 36,6 persen dari total rata-rata nilai transaksi harian per November 2024.

Namun terlepas dari itu, Sri Mulyani berharap, di 2025 ini pasar saham nasional terus melanjutkan tren peningkatannya dan terus berada di zona hijau sampai akhir tahun nanti.

“Selamat kepada seluruh pelaku Bursa Efek Indonesia, semoga 2025 Anda akan continue hijau seperti ini sampai akhir tahun nanti. Terima kasih semuanya, Bismillah kita mulai tahun ini dengan baik kita jaga sepanjang tahun dengan tekun, dengan teguh, dengan teliti dan terus bersinergi kuat,” imbuh Bendahara Negara itu.

Penentu Pergerakan Saham pada 2025

Selain jumlah investor ritel yang masih sedikit, kebijakan perdagangan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald J. Trump, yang akan memberlakukan tarif tinggi terhadap barang-barang impor sejumlah negara, utamanya Cina juga bakal menjadi penentu pergerakan saham di sepanjang 2025. Pasalnya, tarif perdagangan tinggi yang diterapkan oleh pengganti Joe Biden itu bakal memantik terjadinya perang dagang.

“Saham kemungkinan besar lebih bergejolak. Kita, 2025 karena Trump sebentar lagi, tanggal 20 Januari (2025) akan dilantik sebagai presiden Amerika, kemungkinan besar akan menerapkan perang dagang ke negara-negara di dunia. Nah, itu kemungkinan besar akan berdampak terhadap fluktuasi harga saham,” kata Direktur PT Trfx Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi, kepada Tirto, Kamis (2/1/2025).

Menurutnya, saham yang bakal terdampak kebijakan Trump ialah saham-saham yang ditransaksikan oleh perusahaan teknologi. Kemudian, dengan adanya tren penurunan harga komoditas sejak akhir tahun dan diprediksi bakal berlanjut di tahun ini juga menjadi sinyal semakin fluktuasinya harga saham dari sektor komoditas, termasuk dalam hal ini adalah batu bara.

Selain perang dagang, harga komoditas juga akan sangat dipengaruhi oleh keberlangsungan perang di Timur Tengah. Bahkan, menurut Ibrahim, eskalasi geopolitik di daerah tersebut sering kali terjadi di luar ekspektasi dunia.

Meski begitu, dengan kepemimpinan Trump, menurut dia, perang antara Rusia dan Ukraina akan segera berakhir, seiring dengan bakal dihentikannya pasokan persenjataan dari AS ke negara yang dipimpin oleh Volodymyr Zelenskyy tersebut.

“Nah ini yang membuat kondisi perpolitikan kembali stabil dan saham pun juga sedikit berfluktuatif, ya,” imbuh dia.

Dari sisi domestik, kondisi ekonomi nasional yang terjaga di kisaran 5 persen membuat investor cukup percaya diri untuk terus menanamkan modalnya di pasar saham. Ke depan saat pertumbuhan ekonomi nasional terus berlanjut, Ibrahim tak menampik kalau jumlah investor ritel juga akan tumbuh semakin besar.

“Apalagi pemerintah saat ini, tahun 2025, kan, fokus terhadap utang luar negeri yang untuk menambal (defisit) APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebelumnya. Jadi pemerintah akan melakukan lelang-lelang obligasi, karena hampir semua negara juga melakukan lelang-lelang obligasi,” kata Ibrahim, menjelaskan obligasi sebagai instrumen investasi lainnya yang bakal mendulang untung di 2025.

Sementara itu, dengan program-program prioritas Kabinet Merah Putih, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan melalui cetak sawah, hingga instruksi Prabowo kepada Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, untuk menghentikan ekspor beras, garam, jagung, dan gula konsumsi, bakal membuat kinerja saham emiten-emiten di sektor agro alias pertanian menjanjikan. Pun dengan sektor barang konsumsi (fast moving consumer good/FMCG) yang memproduksi bahan pangan atau kebutuhan harian berbahan baku komoditas pertanian.

“Kemungkinan besar pemerintah akan berganti menggunakan biodiesel B40. Ini artinya, pemerintah sedang fokus terhadap perubahan dari bahan bakar minyak, fosil berubah ke bahan bakar nabati. Jadi ini ketergantungan untuk bahan bakar minyak dari luar kemungkinan besar akan berkurang 2025,” kata dia.

Terpisah, Analis Senior Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menilai, genderang perang dagang yang akan segera ditabuh Trump menjadi hal yang patut diwaspadai Indonesia. Sebab, kondisi perang dagang yang disertai tarif perdagangan tinggi hanya akan menguntungkan bagi Amerika namun merugikan negara-negara lain, tak terkecuali Indonesia.

“Sisanya itu faktor geopolitik, misalnya terkait dengan geopolitical tension in the Middle East (tensi geopolitik di Timur Tengah), di Semenanjung Korea, di Eropa Timur, juga di Laut Cina Selatan. Tapi yang paling utama yang saya sebutkan tadi (perang dagang),” jelas Nafan, saat dihubungi Tirto, Kamis (2/1/2024).

Kemudian, faktor lain yang bakal mempengaruhi laju perdagangan IHSG adalah terkait kebijakan suku bunga Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Dengan kondisi ekonomi global yang tak begitu baik --terlihat dari proyeksi lembaga pemeringkat dunia seperti Bank Dunia (World Bank) maupun Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) yang masih masing-masing memasang ramalan 2,7 persen dan 3,2 persen di 2025, The Fed nampaknya bakal kurang agresif dalam menjalankan kebijakan moneternya.

“Semenjak hasil summary of economic projection telah diterbitkan yang per Desenber, The Fed hanya (akan) 2 kali menetapkan kebijakan dan masing-masing (turun) 25 basis poin. Jadi, ini totalnya dari semula 100 basis poin dikerucutkan jadi seperti itu (50 basis poin),” tambahnya.

Meski begitu, arah kebijakan moneter The Fed akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian domestik AS, seperti konsumsi masyarakat, tingkat pengangguran, hingga tingkat inflasi.

“Dan berikutnya terkait kebijakan Trump. Nah, ini pasti akan lebih menitikberatkan kepada proteksionisme di kebijakan fiskal, seperti berupa tax cuts (pemotongan tarif pajak) serta deregulasi dan apalagi kan troponomik ini ditujukan untuk menurunkan trade deficit (defisit transaksi perdagangan),” jelas Nafan.

Namun, seiring dengan pernah terjadinya perang dagang sebelumnya, yakni pada masa Trump memimpin Amerika periode 2017-2021, pemerintah Cina jelas akan memproteksi ekonomi negaranya dengan berbagai stimulus. Adapun untuk memitigasi potensi perang dagang ini, pemerintahan Xi Jinping telah menggelontorkan stimulus sebesar 3 triliun yuan.

“Terkait dengan global dynamics, ini yang menyebabkan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Karena apa? Karena kalau misalnya terjadi perlambatan ekonomi Tiongkok, maka ini akan memberikan dampak terhadap ekonomi global,” ucapnya.

Karena itu, Nafan menyarankan agar pemerintah melindungi pasar saham dengan meningkatkan resiliensi perekonomian nasional. Dus, ekonomi domestik tidak akan terlalu terpukul oleh ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global.

“Target dari Mirae Asset Sekuritas Indonesia untuk IHSG tahun 2025 ini di kisaran 8.000 untuk market-nya,” tukas Nafan.

Target ini tak berbeda jauh dengan yang ditargetkan Ibrahim, di mana di sepanjang 2025, IHSG diperkirakan bakal berada di kisaran harga 7.700 per lembar saham.

Dengan ketidakpastian yang masih akan berlanjut di 2025, target pencatatan saham perdana (Initial Public Offering/IPO) di BEI diperkirakan turut melambat. Apalagi, selama ini banyak investor yang mempermainkan harga saham di awal IPO demi mendapat keuntungan instan.

“Misalnya nanti IPO di (harga) 300, sangat banyak di 190, akhirnya orang sebelum IPO, mereka baru masukkan. Nah, kemudian pas IPO mulai, langsung 300, loncat ke 1.200. Setelah itu di goreng. Nah, ini yang tidak sehat. Karena kondisi global yang tidak stabil. Kalau kondisi global stabil, tidak mungkin investor akan seperti itu. Nah, di 2025 pun juga kemungkinan akan banyan seperti itu,” kata Ibrahim.

Dihubungi terpisah, Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, menilai, dengan meningkatnya aktivitas ekonomi di segala sektor, emiten-emiten yang tercatat di bursa akan ikut mendapatkan keuntungan. Secara fundamental, itu tentu akan meningkatkan harga saham. Dari situ lah investor kemudian akan mendapatkan keuntungan, baik melalui dividen maupun peningkatan nilai kapitalisasi investasi.

“Jadi komitmen pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tentu akan berdampak sangat positif pada investasi di saham. Tetapi kita juga tentunya harus selalu siap dengan tantangan yang ada, baik dari kondisi geopolitik, ekonomi global yang sangat dinamis, itu tentu harus kita mitigasi,” kata dia, kepada Tirto, Kamis (2/1/2025).

Salah satu caranya, dengan memperkuat basis investor domestik di pasar saham. Jeffery mencatat, jika dilihat dari transaksi harian, maka porsi investor domestik baik institusi maupun ritel sudah berkontribusi sekitar 68 persen dari total transaksi di pasar saham. Sedangkan investor asing berkontribusi sekitar 32 persen.

Sedangkan dari sisi kepemilikan saham, asing berkontribusi sekitar 48 persen saham, sedangkan domestik masih lebih besar, yakni mencapai 52 persen saham. Meski masih jauh lebih besar, namun BEI melihat kondisi ini sebagai suatu hal positif.

“Artinya, kepercayaan investor asing pada saham-saham di Indonesia masih tinggi. Artinya walaupun dalam periode-periode tertentu ada capital outflow, tetapi secara umum asing masih memegang 48 persen dari Rp12.000 triliun. Artinya kepercayaan asing untuk jangka panjang di investasi saham di Indonesia masih sangat tinggi,” sambung Jeffery.

Baca juga artikel terkait PASAR SAHAM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz