tirto.id - Influencer atau pemengaruh telah menjadi fenomena global yang tidak bisa diabaikan. Mereka hadir di berbagai platform media sosial seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan X (sebelumnya Twitter), untuk menjangkau jutaan pengikut. Dengan basis pengikut yang besar dan loyal, mereka memiliki kemampuan untuk memengaruhi opini publik.
Dalam urusan politik misalnya, Barack Obama adalah salah satu politisi pertama yang secara efektif memanfaatkan kekuatan media sosial dan influencer. Untuk menjangkau pemilih muda dan beragam secara demografis, ia menggunakan selebritas dan influencer populer seperti Oprah Winfrey yang memiliki pengaruh besar terhadap pemilih AS.
Hal serupa juga pernah dilakukan Presiden ke-7 Joko Widodo pada masa kampanye pemilunya. Ia banyak menggunakan musisi, selebriti, termasuk influencer untuk membantu kampanyenya terutama di media sosial. Pada saat telah terpilih, Jokowi pun mengundang mereka yang dinilai berperan dalam kemenangannya pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 ke Istana. Jokowi meminta para pendukungnya itu untuk tetap membantunya menjalani pemerintahan lima tahun ke depan.
Seleb dan influencer ini kemudian banyak ikut serta, bukan hanya pada saat pemilu, tapi juga setiap kali ada putusan atau aturan yang kontroversial di masyarakat. Salah satu yang terbaru adalah saat Jokowi memboyong para seleb dan influencer ini ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di akhir pemerintahannya. Sederet pesohor atau influencer diajak Jokowi diantaranya adalah pasangan Raffi Ahmad-Nagita Slavina serta Atta Halilintar-Aurel Hermansyah. Selain itu, ada pula Irwansyah-Zaskia Sungkar, Ananda Omesh-Dian Ayu Lestari, Ferry Maryadi, Gading Marten, Poppy Sovia, dan youtuber Willie Salim. Kehadiran mereka di IKN, tampak dari postingan yang kemudian diunggah, adalah untuk memoles citra dan membangun opini yang positif terhadap IKN.
Cara tersebut kemudian diikuti oleh Prabowo Subianto. Dalam Pilpres 2024, Prabowo juga menggunakan para influencer dan artis untuk menjangkau pemilih lebih luas, terutama pemilih muda. Prabowo yang saat itu merupakan Menteri Pertahanan di era Presiden Jokowi mengundang pesohor Tanah Air di Kantornya. Beberapa diundang adalah Raffi Ahmad dan keluarga, Nirina Zubir, Iko Uwais hingga beberapa influencer muda seperti Fuji, Keanu Agl, dan Alshad Ahmad.
Prabowo memilih mereka sebagai tokoh-tokoh yang dinilai efektif untuk mendapat dukungan dari para pemilih dalam menghadapi Pemilu Presiden 2024. Sebab, dengan satu unggahan di media sosial, mereka dapat menyebarkan pesan, baik itu mendukung atau menentang kebijakan atau kandidat, ke jutaan orang dalam hitungan detik. Ini dapat menciptakan efek domino yang bisa mengubah jalannya sebuah kampanye.
Tidak hanya urusan politik, Profesor Madya Monash University Indonesia, Ika Karlina Idris, menilai dalam pembentukan opini publik tersebut influencer bisa berpengaruh sebagai pencetus isu atau masalah. Mereka bisa menjadi penguat opini yang ingin dibentuk, atau sebagai penyebar opini agar menjangkau publik yang lebih luas.
“Pada isu-isu publik, misalnya influencer berpengaruh pada isu yang informasinya sangat berjarak atau butuh kemampuan berpikir kritis. Karena di isu masyarakat butuh referensi untuk menginterpretasikan sebuah masalah,” jelas Ika kepada Tirto, Selasa (31/12/2024).
Ika menuturkan, influencer cenderung berpengaruh lebih besar terkait kebijakan-kebijakan pembuatan ataupun revisi undang-undang dan regulasi. Lihat saja, kata Ika, bagaimana influencer berpengaruh pada saat revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penolakan UU Cipta Kerja, UU IKN, dan bahkan revisi aturan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat pencalonan wakil presiden.
“Saat itu, opini masyarakat sipil beradu dengan opini yang turut digaungkan oleh influencer-influencer pro-pemerintah dan elite politik,” ujar dia.
Contoh lain ketika adanya revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Bukan hanya massa perwakilan dari buruh dan mahasiswa saja yang ikut turun ke jalan. Namun sejumlah komika hingga artis turun gunung dalam menentang kebijakan tersebut hingga akhirnya revisi RUU Pilkada tersebut tak jadi disahkan DPR.
Diketahui, beberapa komika yang hadir dalam aksi demo saat itu adalah Adjisdoaibu, Abdur Arsyad, Arie Kriting, Abdel Achrian, Bintang Emon, Arif Brata, Rispo, Yudha Keling, ada juga Rigen Rakelna. Selain itu ada pula aktor Reza Rahadian dan Sutradara Joko Anwar ikut melakukan aksi demonstrasi setelah mengunggah “Peringatan Darurat” Garuda Biru.
Akan tetapi, lanjut Ika, pada isu yang jaraknya dekat atau mudah dicerna oleh masyarakat, influencer cenderung kurang berpengaruh. Contohnya pada isu-isu seperti iuran Tapera, kenaikan PPN 12 persen, Permendag Nomor 3/2024 tentang Bawaan Pribadi Penumpang Pesawat, ataupun kasus-kasus KKN seperti Rafael Alun dan Harvey Moeis.
“Warga tetap bisa cepat memberikan penilaian dan meng-counter opini-opini bentukan influencer,” ujar dia.
Sudah Saatnya Kita Kritis Terhadap Influencer
Terlepas dari pengaruh atau tidaknya influencer terhadap pembentukan opini publik, kata Ika, sudah saatnya masyarakat mulai kritis. Karena influencer itu tidak memiliki sistem untuk menyaring informasi yang mereka akan sampaikan, semuanya berpulang pada values atau nilai-nilai etik yang dipegang si influencer.
“Hal ini berbeda misalnya dengan institusi media, yang didalamnya ada sistem gatekeeping yang akan menyesuaikan dengan agenda media. Di media ada reporter, editor, dan rapat redaksi, yang mana sebelum informasi di-publish akan ada pengecekan dulu,” jelas Ika.
Pakar komunikasi politik Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, mengamini bahwa informasi disampaikan influencer dalam beberapa isu memang tidak sepenuhnya tepat. Terlebih, influencer sendiri pada dasarnya bukan seorang jurnalis dan mereka tidak punya tanggung jawab untuk melakukan kerja-kerja jurnalistik.
“Kalau kita tanya ya, mereka pasti pada dasarnya hanya pertama menghibur. Kedua mencari cuan dari menghibur itu atau memberikan informasi yang sifatnya praktis gitu,” ujar Kunto kepada Tirto, Selasa (31/12/2024).
Survei UNESCO mengungkapkan bahwa 62 persen influencer tidak melakukan pengecekan fakta informasi secara ketat dan sistematis sebelum membagikannya. Namun, 73 persen menyatakan keinginan untuk dilatih melakukannya.
Selain menunjukkan bahwa pemeriksaan fakta bukanlah norma, survei tersebut menemukan bahwa kreator konten mengalami kesulitan dalam menentukan kriteria terbaik untuk menilai kredibilitas informasi yang mereka temukan secara daring.
Sebanyak 42 persen responden mengatakan bahwa mereka menggunakan “jumlah like dan share yang diterima sebuah kiriman” di media sosial sebagai indikator utama. Sebanyak 21 persen senang berbagi konten dengan audiens mereka jika konten tersebut dibagikan kepada mereka “oleh teman yang mereka percayai”, dan 19 persen mengatakan bahwa mereka mengandalkan “reputasi” penulis atau penerbit konten asli.
Pada akhirnya, kata Kunto, karena tujuan utama mereka sebenarnya hanya hiburan dan mencari uang, maka tugas utamanya sebagai agen informasi itu hilang. Pada akhirnya informasi yang disampaikan influencer tidak bisa dipertanggungjawabkan secara kebenaran.
infl
“Mereka seolah menjadi agen informasi, menggantikan peran media massa, tapi mereka gak punya tanggung jawab sebagai jurnalistik dan orientasi mereka hanya uang. Nah ini yang akhirnya menjadi problematis,” jelas dia.
Lebih lanjut, Ika Karlina Idris, juga meminta masyarakat lebih kritis. Karena saat ini semakin banyak influencer-influencer organik dari dalam lembaga. Informasi bukan lagi semata dari saluran resmi lembaga, tapi sudah dari pemimpin opini—mulai dari wakil menteri, staf khusus, akademisi, tim ahli, hingga ASN.
Beberapa kementerian, menurutnya, bahkan sudah membuat pasukan influencer mereka yang dapat menjangkau audiens secara lebih beragam, ketimbang influencer bayaran di luar lembaga. Ini bahkan sudah jadi instruksi dari Menteri dan beberapa sudah memiliki sistem rekrutmen influencer internal lembaga.
“Menteri ATR/Kepala BPN November lalu bahkan pernah menyatakan terang-terangan bahwa seluruh karyawan BPN 34 ribu orang akan menjadi agen penyebar informasi positif tentang pemerintah,” ucap Ika.
Sementara itu, di luar pemerintah, influencer media sosial ini sudah menjadi bisnis tersendiri. Kalau dulu mereka direkrut oleh elite politik untuk membantu membangun agenda tertentu, saat ini mereka bisa bekerja untuk siapa saja yang mau membayar.
Artinya, makin susah mengenali mana influencer yang memang kredibel dan mana yang semata-mata yang orientasinya uang. Selama mereka tidak memiliki kompas etik yang kuat, mereka akan terus jadi bagian untuk menyebarkan “kebingungan” atau mengalihkan perhatian kita dari isu-isu penting.
- Kunto Adi Wibowo
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Rina Nurjanah