tirto.id - Pada 2018, sebuah survei yang dilakukan tirto menunjukkan, kehadiran media sosial telah memunculkan cita-cita yang tergolong segar, yakni menjadi gamer dan YouTuber. “Besar kemungkinan, cita-cita menjadi YouTuber ini dipicu karena ingin menjadi influencer,” tulis Scholastica Gerintya dalam artikel bertajuk "Bagaimana Teknologi Memengaruhi Masa Depan Generasi Z".
Kiwari, fakta bahwa industri influencer merupakan salah satu pekerjaan yang menjanjikan sungguh tak terbantahkan. Menurut The Influencer Marketing Benchmark Report 2023, industri influencer tengah menapaki masa keemasannya dengan pertumbuhan yang signifikan sejak 2016.
“Pangsa pasar ini meroket dari hanya 1,7 miliar dolar AS pada 2016, mencapai 16,4 miliar dolar AS per 2022. Pada 2023, nilainya bahkan ditaksir menyentuh 21 miliar dolar AS,” bunyi laporan yang dirilis The Influencer Marketing Hub tersebut.
Seperti halnya pekerjaan lain di dunia–juga berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari–industri influencer tentu tidak sepenuhnya mulus dan terang. Bahkan, riset di University of Portsmouth menemukan, influencer media sosial terbukti turut memfasilitasi meningkatnya penggunaan barang palsu, ancaman global yang nilainya ditaksir mencapai USD509 miliar dolar dalam setahun.
Alat Kampanye Kotor
Influencer marketing memang tengah naik daun, bahkan di atas angin. Karenanya, selain laris digunakan perusahaan atau brand untuk mengoptimalkan promosi dan penjualan, influencer juga dinilai sebagai salah satu sarana yang tepat untuk melancarkan smear-campaigns, kampanye kotor. Praktik ini lazim digunakan untuk menjatuhkan kompetitor.
Kampanye kotor, baik dalam bisnis maupun politik, sudah dipraktekkan manusia jauh sebelum internet ada. Kemunculan media sosial dan industri influencer hanya membuat kampanye kotor jadi makin mudah dilakukan–dan tentu tepat sasaran.
Pendiri SaaS Marketing Growth Rockey Simmons memasukkan unsur membayar influencer sebagai satu dari 8 bentuk kampanye kotor. Adapun kampanye kotor yang lazim dilakukan via influencer adalah mempromosikan konten negatif serta memanipulasi opini publik.
“Dengan memanfaatkan reputasi dan kredibilitas influencer yang sudah mapan, pesaing bertujuan untuk mempengaruhi opini publik, sehingga menurunkan reputasi dan kedudukan merek, produk, atau layanan rival mereka. Taktik ini sering kali mengandalkan asumsi bahwa pengikut influencer tersebut pasti akan menerima pendapat mereka sebagai pendapat yang dapat dipercaya dan tidak memihak,” tulis Rockey.
Saking seringnya warganet bersikap taklid terhadap keterangan influencer–ditambah maraknya penggunaan influencer dalam kampanye kotor–editorial The Global Times menyinggung pentingnya selebriti daring ini untuk memenuhi standar hukum dan etika. Kelompok yang sama juga menuntut agar influencer terbebas dari jerat misinformasi atau menjadi kepanjangan tangan bagi pihak-pihak yang memiliki motif tersembunyi.
“Dengan menjadi influencer, mereka memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa informasi yang mereka bagikan akurat, terverifikasi, dan selaras dengan standar hukum dan etika. Hanya dengan melakukan itu mereka dapat membantu menciptakan lingkungan daring yang lebih sehat yang dibangun atas dasar kepercayaan, keandalan, dan transparansi,” tulis redaksi The Global Times.
Sukar Dipertanggungjawabkan: Konten Tipu-Tipu, Misinformasi, & Hoaks
Di balik gegap gempita dunia influencer, selalu ada sisi gelap yang sangat mungkin bikin berang akal sehat.
Beberapa waktu lalu, influencer kebugaran Brian “Liver King” Johnson menerima tuntutan hukum sebesar USD25 juta dolar setelah mengakui dirinya rajin mengonsumsi steroid keluaran Ancestral Supplements. Bagi pengikut Brian, pengakuan tersebut tak ubahnya pengkhianatan. Tak sedikit orang yang kadung mengikuti jejak Brian dalam membentuk tubuh ideal, justru lewat cara yang selama ini dikampanyekan sang influencer: memamah organ mentah.
Contoh lainnya, pada 2015, Kim Kardashian membuat Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) naik pitam sebab unggahannya di Instagram dinilai menyalahi pedoman yang dirilis lembaga negara tersebut.
Kala itu, Kim yang tengah hamil besar mempromosikan Diclegis, obat antimual keluaran perusahaan farmasi Duchesnay. Unggahan itu dianggap melanggar aturan lantaran tidak adanya keterangan mengenai efek samping produk tersebut.
Apa yang terjadi setelah unggahan Kim Kardashian tak ubahnya dua mata pisau. Di satu sisi, unggahan itu telah meningkatkan brand awareness Diclegis di kalangan konsumen. Di sisi lainnya, membuat citra brand tersebut memburuk lantaran dianggap beriklan lewat cara-cara yang tidak patut.
Di Indonesia, baru-baru ini pembuat konten sekaligus influencer Gerald Vincent mendapat sorotan publik. Video yang diunggah akun TikTok @geraldvincentt tentang kandungan bromat pada produk Le Minerale sebesar 58,8 parts per billion (ppb)—melebihi ambang batas aman—justru dilabeli hoaks oleh Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informatika (Kemkominfo) karena berpotensi membahayakan publik.
Produsen Le Minerale PT Tirta Fresindo Jaya sudah membantah klaim tersebut. Dengan menyertakan hasil uji laboratorium terakreditasi Badan Besar Industri Agro (BBIA), Marketing Director Le Minerale Febri Satria Hutama menyebut kandungan bromat pada Le Minerale adalah 0,4 ppb—jauh di bawah ambang batas aman bromat sebesar 10 ppb.
“Selain uji eksternal, Le Minerale juga melakukan uji internal dan uji sampel market secara berkala. Hasil pengujiannya pun konsisten bahwa kadar bromat pada Le Minerale sesuai standar dan di bawah ambang batas aman yang direkomendasikan," ungkap Febri lewat keterangan tertulis yang diterima Tirto, Jumat (23/2/2024).
Febri mengimbau agar masyarakat jangan sampai termakan hoaks. Menurut Febri, Le Minerale adalah produsen air minum kemasan milik perusahaan Indonesia yang telah memiliki Nomor Ijin Edar (NIE) keluaran BPOM, dan karenanya telah mengikuti seluruh parameter SNI serta diproduksi mengikuti standar tertinggi industri air kemasan dan keamanan pangan.
BPOM sendiri mengeluarkan bantahan mengenai video yang diunggah Gerald Vincent. Kepala Biro Kerja Sama dan Humas BPOM Noorman Effendi menyatakan bahwa data kandungan Bromat pada AMDK yang viral di media sosial bukanlah hasil pengujian BPOM.
Menurut Noorman, pihaknya rutin mengawasi AMDK yang beredar di Indonesia. Hasil pengawasan itu menyimpulkan bahwa AMDK yang beredar saat ini masih memenuhi persyaratan keamanan dan mutu.
“BPOM selalu mengedepankan pembuktian ilmiah dan objektif dalam proses pengawasan peredaran obat dan makanan,” ungkap Noorman di Jakarta, Selasa, (27/2).
Influencer adalah fenomena zaman, entitas yang menjadi salah satu penguasa jagad internet hari ini. Saking besarnya pengaruh mereka, adalah masuk akal jika tuntutan agar influencer punya kode etik atau aturan main yang jelas didengungkan banyak pihak.
Juni tahun lalu, untuk pertama kalinya sejak satu dekade, Komisi Perdagangan Federal (FTC) di Amerika merilis Pedoman Iklan versi terbaru dengan fokus perubahan pada Influencer Marketing. Aturan anyar itu menyebutkan, semua pihak dalam kampanye pemasaran dapat dimintai pertanggungjawaban jika melakukan pelanggaran, termasuk pembuat konten.
Menurut Fortune, revisi atas pedomen tersebut dilakukan demi memenuhi kebutuhan yang selama ini tidak terpenuhi. Temuan agensi influencer marketing Mediakix tahun 2017 menunjukkan, dari selebriti yang paling banyak diikuti di Instagram, 93% justru gagal memenuhi Pedoman Iklan FTC saat itu.
Lantas, bagaimana tentang fenomena dan beleid yang berlaku di Indonesia?
Urgensi Aturan Main Influencer Marketing
Sebelum konten Gerald Vincent menjadi pembicaraan, ada banyak contoh mengenai konten negatif para influencer. Salah satunya, promosi judi online yang melibatkan sejumlah pesohor.
Sekalipun kasus-kasus itu ramai diberitakan, tak jarang penyelesaiannya menyisakan tanda tanya besar. Jika terus dibiarkan tanpa kepastian, hal-hal demikian akan merugikan konsumen.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Made Gladys Fridiana dan I Ketut Westra dari Fakultas Hukum Universitas Udayana (2023), Indonesia belum punya aturan khusus terkait kedudukan influencer dalam mengiklankan suatu produk atau jasa.
Secara implisit, kegiatan promosi produk melalui sosial media di negeri ini diatur dalam sejumlah produk hukum, antara lain UU Perlindungan Konsumen, UU Penyiaran, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sayangnya, semua aturan itu mengatur pelaku usaha, sedangkan influencer belum dinyatakan sebagai bagian dari pelaku usaha—dan tidak pula tercatat di bawah naungan perusahaan periklanan.
Dalam konteks video TikTok Gerald Vincent, yang menampilkan potongan data excel tentang kandungan bromat pada Le Minerale tanpa rujukan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan, Ahli Farmasi Prof. Dr. apt. Zullies Ikawati menyatakan bahwa secara etika hal demikian tidak dibenarkan.
“Misal suatu produsen memeriksakan produknya, maka hasil pemeriksaannya adalah hak produsen tersebut. Haknya juga untuk menyimpan atau akan menyebarluaskan ke publik. Sama halnya dengan hasil pemeriksaan lab pada orang,” ungkap Prof Zullies kepada Tirto, Sabtu (24/2/2024).
Prof. Zullies juga menyoroti keharusan menyebutkan sumber data, agar masyarakat yang terpapar suatu informasi bisa merujuk sumbernya sekaligus melakukan cross check.
Lepas dari keterangan Prof. Zullies, setiap warga negara–apa pun pekerjaannya–mesti berhati-hati dalam membuat dan menyampaikan konten. Sekalipun dalam konteks influencer marketing aturan mainnya belum ada, tapi negara punya UU ITE.
Tujuan utama dibuatnya UU ITE adalah memastikan transaksi elektronik atau e-commerce berjalan dengan baik dan hak-hak konsumen terlindungi. Karenanya, setiap warga negara yang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen bisa terancam hukuman pidana.
November tahun lalu, dalam sebuah seminar di Bali, Ketua Tim Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM Kemkominfo Astrid Ramadiah Wijaya mengimbau masyarakat agar bersikap cermat dan bijak di jagad maya.
“Mari bersama-sama mulai menggunakan internet dan hak berekspresi secara bertanggungjawab,” ungkap Astrid.
Ungkapan Astrid beralasan. Di era ketika banjir informasi menggapai hidup kita hari demi hari, perlindungan konsumen menjadi sangat mendasar. Pada saat bersamaan, setiap orang, lebih-lebih lagi kalangan influencer dan pembuat konten, dituntut untuk lebih bertanggung jawab.
Ingat, “Great influencer involves great responsibility”. Adagium itu akan senantiasa relevan dalam situasi sekarang maupun di hari-hari yang akan datang.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis