Menuju konten utama

Belajar dari Kasus Willie Salim, Konten Kreator Harus Lebih Peka

Belajar dari kasus Willie Salim, para pembuat konten harus menghindari menyinggung kelompok tertentu atau komunitas.

Belajar dari Kasus Willie Salim, Konten Kreator Harus Lebih Peka
Willie Salim. Instagram/willie27

tirto.id - Nama pembuat konten media sosial (content creator), WIllie Salim, kian ramai menjadi perbincangan publik belakangan ini. Pencarian dengan kata kunci “WIllie Salim” dan “rendang” akan mengarahkan ke berbagai unggahan di media sosial yang mengaitkan kasus pemuda ini pada akhir Maret 2025.

Pada Jumat (21/3/2025), Willie mengunggah sebuah video pendek dengan narasi rendang hilang. Kejadian tersebut terjadi di Palembang saat dia mengunjungi kota tersebut untuk memasak dan berbagi seekor sapi menjadi rendang yang disebut mencapai 200 kilogram (kg).

Dalam video pendek yang tersebar di media sosial, WIllie terlihat memasak rendang tersebut di area terbuka dengan panci yang sangat besar. Kontroversi terjadi ketika dia meninggalkan lokasi sejenak dan saat kembali rendang yang masih dalam proses memasak tersebut raib.

“Ini aku tinggal sebentar ke toilet, tiba-tiba hilang. Gimana ceritanya pak?” tanya Willie Salim ke aparat dalam video tersebut.

Willie Salim kemudian bertanya pada petugas yang ada di lokasi tempat ia memasak. Petugas tersebut menceritakan jika warga antusias dalam mencicipi masakan Willie. Massa yang diperkirakan ribuan itu mengambil rendang dengan media seadanya ketika Willie sedang tidak berada di tempat.

Konten ini pun menjadi viral. Namun bukan karena alasan yang baik.

Pembawa acara senior, Helmy Yahya, yang juga berasal dari Palembang memberi penjelasan yang paling mudah dimengerti. Konten dari Willie tersebut –sengaja ataupun tidak– menciptakan preseden buruk terhadap masyarakat Palembang.

"Apa yang dilakukan sekarang, itu mempermalukan sebagian orang-orang Palembang. Nggak segitunya kali orang Palembang. Terciptakan, ini kan masalah persepsi, ‘wah orang Palembang enggak bisa diatur, rakus, yang belum matang aja diserbu habis, ada yang bawa ember juga’,” tutur Helmy yang juga Ketua Asosiasi Konten Kreator Indonesia (AKKI).

Helmy juga sempat menyebut kalau banyak dugaan konten tersebut adalah hasil fabrikasi alias ‘setting-an’.

"Menurut saya, enggak bisa begitu sebagai content creator, pikirkanlah. Nggak semua yang kita lakukan demi mengejar konten, demi mengejar views kita melakukan hal-hal semacam ini,” tambah Helmy.

Menghadapi reaksi masyarakat dan teguran dari rekan sejawat, Willie membuat video permintaan maaf pada 22 Maret 2025. Di video tersebut, dia juga menekankan kalau konten video yang dia buat bukanlah hasil rekayasa alias setting-an. Menurut dia permasalahan ada pada dirinya yang tidak mempersiapkan diri dengan lebih baik.

“Saya minta maaf untuk seluruh warga Palembang gara-gara rendang viral, banyak narasi tidak enak terhadap warga Palembang,” tutur Willie dalam video permintaan maafnya.

Berujung Laporan ke Polisi

Namun, Kesultanan Palembang, yang juga merasa konten tersebut mencoreng nama warga Palembang, mengeluarkan sebuah pernyataan. Dalam sebuah maklumat yang dibacakan oleh Sultan Mahmud Badaruddin IV, Kesultanan Palembang mendesak Willie Salim untuk melakukan klarifikasi atas videonya tersebut.

Bukan sekadar permintaan maaf di media sosial, Kesultanan meminta permintaan maaf resmi mengikuti adat Palembang. Willie juga harus menghapus semua video di media sosial yang berkaitan dengan memasak rendang di Palembang.

Lebih lanjut, Sultan Mahmud Badaruddin IV mengatakan, kalau Willie akan mendapat penolakan jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi. “Atas nama Kesultanan Palembang Darussalam dan segenap masyarakat Palembang, menyatakan kutukan kepada Willie Salim, dan mengharamkan kedatangannya ke Palembang sepanjang umur hidupnya,” tegas Sultan Mahmud Badaruddin IV, mengutip video Antara.

Gubernur Sumatra Selatan, Herman Deru, dan Walikota Palembang, Ratu Dewa, juga turut bereaksi terhadap konten WIllie tersebut. Mereka mengecam tindakan yang disebut merusak citra masyarakat Kota Pempek tersebut.

Tidak hanya kecaman, Polda Sumatra Selatan mengaku mendapat dua laporan terkait konten tersebut yang tengah melalui tahap pemeriksaan.

Konten Kreator Perlu Introspeksi

Menanggapi kasus ini, pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, menyebut, seringkali para pembuat konten media sosial memang mencari kontroversi.

“Jadi sama seperti berita di media mainstream, bad news is good news, jadi netizen akan mencari konten yang kontroversi, salah satu contohnya, ya konten ini,” kata Rissalwan ketika dihubungi Tirto, Rabu (25/3/2025).

Rissalwan juga menyebut kalaupun nanti Willie menghapus kontennya, tidak lantas masalah selesai. Sebab, konten yang sudah dipublikasikan di media sosial tidak bisa benar-benar hilang. Belum lagi citra buruk yang keburu menempel kepada masyarakat Palembang.

“Kan orang tidak tahu sebenarnya di lapangan, apakah memang betul orang di Kota Palembang yang ambil atau orang dari luar (yang sedang di Palembang) yang ambil. Stigmanya orang di Kota Palembang, semua adalah pencuri, jadi ini memang berbahaya sekali ya, kerugian immaterial, citra buruk dari konten yang dibuat ini,” tambah Rissalwan.

Dia juga mengatakan langkah hukum yang diambil masyarakat Palembang lewat pengaduan ke Polda Sumsel juga tepat untuk memberi pembelajaran bagi para produsen konten media sosial.

Harapannya, kata dia, dengan ada kasus seperti ini, para konten kreator akan lebih berhati-hati dan membuat pertimbangan sebelum memproduksi unggahan media sosial.

“Nah, kan orang-orang kreatif ini kadang ingin maunya cepat, instan, sehingga kadang mereka tidak memperhitungkan konsekuensi, risiko dari itu semua,” kata dia menambahkan.

Sementara pengamat media sosial, Enda Nasution, beranggapan jika terlepas dari konten ini rekayasa atau setting-an atau bukan, maka yang lebih penting menyoroti konten yang dibuat menyinggung pihak lain atau tidak.

“Kalau yang kemudian tersinggung cukup banyak dan kemudian pembuat kontennya merasa memang bersalah dan mau meminta maaf, ya salah satu yang dia bisa lakukan adalah dengan menghapus konten tersebut,” tutur Enda kepada Tirto, Rabu (26/3/2025).

Sebaliknya, menurut Enda, kasus rendang Willie Salim di Palembang ini bukan ranah hukum, tapi masih ranah etika dan sosial. Sehingga permintaan maaf ditambah sanksi sosial seharusnya sudah cukup menjadi hukuman.

Namun, Enda mengharapkan para pembuat konten melakukan introspeksi untuk menghindari menyinggung kelompok tertentu atau komunitas.

“Maka jadi pertimbangan ke depan untuk lebih memperhatikan dan lebih sensitif terhadap konten-konten yang di-upload. Agar kemudian meminimalisir potensi ketersinggungan kelompok-kelompok tertentu,” kata dia.

Baca juga artikel terkait KONTEN KREATOR atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - News
Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Abdul Aziz