Menuju konten utama

Rendang dari Ekspor Menuju Warisan Dunia

Kepopuleran rendang membuat pemerintah mengupayakan agar bisa menjadi warisan budaya tak benda ke UNESCO.

Rendang dari Ekspor Menuju Warisan Dunia
Pramusaji menunjukkan sajian rendang dengan hiasan. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

tirto.id - Asap membubung dari atas tungku, seorang pekerja menambah kayu bakar untuk menjaga api tetap menyala. Di dapur itu, ada dua kuali besar berisi santan yang sudah menguning dan terus diaduk oleh juru masak. Mereka memulai memasak sejak pukul 06.00 WIB, diawali dengan membersihkan daging, menyiapkan santan dan bumbu, dan menumbuk lengkuas sampai halus.

Warung makan Rajo-rajo itu memasak randang yaitu istilah di Minangkabau atau secara umum lebih dikenal dengan rendang yang masih menggunakan konsep tradisional untuk menjaga rasa otentik dari masa lalu.

Di Minangkabau, istilah randang umum digunakan untuk menyatakan salah satu makanan berbahan dasar daging dan santan yang dicampur dengan rempah-rempah. Olahan makanan khas Minangkabau itu diketahui telah ada di Sumatera Barat sebelum agama Islam masuk ke daerah itu, atau jauh sebelum abad VII Masehi karena Islam masuk pada tahun 674 Masehi dengan bukti adanya masyarakat Arab di daerah pesisir Pulau Sumatera.

Pada masa Hindia Belanda, rendang menjadi makanan yang sering dibawa jamaah haji dari Sumatera Barat karena bisa bertahan lama saat dibawa menggunakan kapal laut berhari-hari bahkan berminggu-minggu.Sekitar tahun 1990, ada kebijakan pelaksanaan haji untuk tidak memperbolehkan siapapun yang berhaji untuk membawa berbagai peralatan memasak dan makanan jadi. Sejak itu, rendang tidak lagi jadi bekal berangkat ke Tanah Suci.

Dalam perkembangan zaman rendang kemudian tak hanya terbatas pada bahan utama daging sapi saja, melainkan bisa menggunakan daging ikan, belut, ayam, lokan, bahkan ada berbahan sayuran seperti pakis dan jengkol.

Sebagai teman daging, rendang juga disajikan dengan kentang kecil atau potongan ubi kayu yang renyah. Seperti yang disajikan di warung makan Rajo-rajo potongan ubi kayu disajikan bagi konsumen yang tidak mau hanya daging dan bumbu saja.

Warung makan itu juga menjual varian daging seperti paru, hati, ikan tuna, telur, dan ikan rinuak dengan harga jual Rp340 ribu per kilogram. Meskipun baru dapat memproduksi rendang 30 kilogram per hari untuk memenuhi kebutuhan lokal, rendang khas Minang itu sudah banyak dibawa wisatawan ke daerah mereka masing-masing sebagai oleh-oleh, bahkan hingga turis mancanegara.

Untuk mendukung para industri kecil menengah (IKM) yang memproduksi rendang, pemerintah kota Padang membangun gedung sentra rendang yang diresmikan pada tahun 2022 untuk tempat produksi, pengemasan, pemasaran dan pelatihan.

Pelaku usaha rendang yang terseleksi dapat menggunakan fasilitas di gedung itu untuk memproduksi rendang mereka dengan standar kualitas ekspor. Semua produksi dilakukan dengan peralatan modern hingga ke proses sterilisasi rendang agar dapat lebih tahan lama khususnya saat dikirim ke luar negeri.

Pada 2022, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang memproduksi rendang sudah mampu mengekspornya ke Jepang, Amerika Serikat, Australia dan Uni Emirat Arab melalui perantara pihak kedua. Pelaku UMKM lain juga sudah mengirim rendang ke Selandia Baru melalui pihak ketiga.

Data Himpunan Pengusaha Randang Minangkabau (Hipermi), secara umum pelaku usaha kuliner khususnya rendang siap mengekspor makanan itu ke banyak negara, termasuk permintaan khusus dari Arab Saudi.

Hanya saja saat itu pelaku usaha terutama anggota Hipermi masih kesulitan menembus pasar internasional karena terkendala persoalan harga daging. Daging sapi di negara tujuan lebih murah bila dibandingkan di Indonesia, sehingga konsumen di Timur Tengah contohnya, mereka lebih memilih untuk membeli bumbu rendang saja.

Namun demikian, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan Provinsi Sumatera Barat, ekspor bumbu rendang ke sejumlah negara berdampak positif terhadap sektor lain terutama pertanian dan peternakan seperti daging sapi, cabai merah, santan kelapa, kayu manis, bawang merah, kunyit dan lainnya.

Sumatera Barat terbilang cukup berhasil dalam mengekspor bumbu rendang meskipun dari segi tonase masih kecil sehingga belum memberikan devisa bagi negara dan dana bagi hasil (DBH) bagi pemerintah daerah.

Tren permintaan bumbu rendang terus mengalami peningkatan yang signifikan. Beberapa waktu sebelumnya salah satu pelaku UMKM asal Sumbar mengekspor satu ton bumbu rendang ke Eropa. Selain benua itu, mereka juga rutin mengekspor ke negara-negara Timur Tengah.

Kepopuleran rendang membuat pemerintah mengupayakan agar bisa menjadi warisan budaya tak benda ke UNESCO. Hidangan yang pernah dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia oleh CNN pada 2017 ini tengah disiapkan untuk diusulkan sebagai warisan budaya ke UNESCO pada 2025.

Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon mengungkapkan pentingnya langkah mendaftarkan masakan rendang ke UNESCO untuk mendapatkan pengakuan global sebagai warisan budaya dunia. Dengan pendaftaran ke UNESCO, diharapkan masakan itu dapat terlindungi dan dilestarikan, sekaligus memperkenalkan kekayaan kuliner Indonesia ke panggung internasional.

Foto dan teks : Iggoy el FItra

Baca juga artikel terkait RENDANG atau tulisan lainnya

Oleh: Fandhi Cahyadi