tirto.id - Pemerintah kembali potong kompas untuk menggaungkan capaian-capaian dan kebijakan yang sudah mereka ambil. Jalan pintas untuk membangun opini publik yang positif itu ditempuh dengan menggunakan daya tarik pesohor dan influencer.
Kebiasaan yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo itu dikhawatirkan justru hanya memahat citra semu dan mengancam demokrasi.
Teranyar, Presiden Jokowi pada Minggu, 28 Juli 2024 lalu, memboyong sejumlah artis dan influencer untuk melongok perkembangan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Mereka yang diajak pemerintah ke IKN di antaranya pasangan Raffi Ahmad-Nagita Slavina serta Atta Halilintar-Aurel Hermansyah. Selain itu, ada pula Irwansyah-Zaskia Sungkar, Ananda Omesh-Dian Ayu Lestari, Ferry Maryadi, Gading Marten, Poppy Sovia, dan youtuber Willie Salim.
Mereka diajak menilik Jembatan Pulau Balang yang menghubungkan IKN dan Balikpapan. Selain itu, Jokowi juga memamerkan istana kepresidenan di Nusantara yang dinamai Istana Garuda.
Kegiatan para pesohor dan influencer itu sudah pasti juga dimuat di akun media sosial milik mereka. Pasangan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, misalnya, membagikan momen-momen mereka di IKN kepada jutaan pengikutnya di Instagram. Hal serupa juga dilakukan oleh pesohor Gading Marten yang mengunggah foto bersama Presiden Jokowi.
Langkah pemerintah memboyong artis dan pesohor untuk memoles citra kebijakan yang masih menimbulkan masalah memang bukan hal baru. Jokowi sudah melakukannya beberapa kali, seperti ketika mendorong Undang-Undang Cipta Kerja dan kebijakan di masa Pandemi COVID-19 lalu.
Membius Masyarakat dengan Informasi Palsu
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, memandang cara pemerintah memboyong influencer dan pesohor ke IKN layaknya memakai jasa pendengung (buzzer). Alih-alih menyajikan transparansi pembangunan dan visi-misi ibu kota baru kepada publik, pemerintah justru memoles perkembangan pembangunan IKN dengan sederet gimik.
“Jokowi menciptakan isu, menciptakan berita, menciptakan dengung yang orang akhirnya tidak mendapatkan permasalahan intinya. Jadi, bagian dari membangun opini publik secara populism. Ini populisme otoritarian,” kata Isnur, Rabu (30/7/2024).
Menurut Isnur, langkah itu tidak akan menyelesaikan permasalahan yang masih tersisa dalam pembangunan IKN. Masalah kering kerontangnya suntikan investor hingga konflik agraria masyarakat adat di IKN tidak bakal kelar dengan gimik pujian yang didengungkan lewat unggahan media sosial para pesohor itu.
“Mereka membius masyarakat dengan informasi palsu. Ini untuk demokrasi jadi berbahaya. Karena, demokrasi memerlukan kesadaran, partisipasi, pemahaman utuh, dan pendekatan hukum yang tegas. Bukan kemudian dipenuhi oleh gimik dan disinformasi,” jelas Isnur.
Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menilai langkah pemerintah mengundang pesohor dan influencer ke IKN memang memprihatinkan. Pasalnya, itu berisiko membuat Presiden mendapatkan pujian palsu dan opini yang manipulatif.
“Digunakan untuk menyenangkan Presiden sekaligus pembodohan publik,” kata Dedi.
Padahal, pemerintah memiliki saluran resmi, yakni laporan kementerian, laporan tahunan, serta komisi informasi yang mengawal kebijakan pemerintah. Namun, Dedi memandang semua jalur resmi itu seolah tidak berfungsi semestinya, bahkan publik tak jarang kesulitan mengakses informasi umum yang seharusnya terbuka.
Dedi juga menilai bahwa cara pemerintah itu boros anggaran. Hal itu pun sudah pernah disorot dalam Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2020. ICW mencatat bahwa pemerintah telah menggelontorkan sekitar Rp1,29 triliun untuk aktivitas digital pada 2014-2020. Instansi yang paling banyak menyerap anggaran untuk aktivitas digital itu adalah Polri (Rp937 miliar) dan Kementerian Pariwisata (Rp263 miliar). Khusus anggaran untuk influencer, tersedia sekitar Rp90,45 miliar.
Lebih jauh, kata dia, seharusnya bisa dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan karena tidak memanfaatkan uang negara untuk kepentingan umum.
Yang menjadi masalah dari cara itu adalah sifatnya yang nisbi hanya untuk kepentingan personal Presiden dan tidak mewakili publik secara luas. Selain itu, menurut Dedi, tidak ada transparansi informasi terkait kegiatan influencer itu kecuali sekadar propaganda kosong.
“Cukup aneh jika pemerintah menggunakan influencer untuk melawan opini publik yang seharusnya mereka terima sebagai kritik dan masukan,” sambung Dedi.
Boros Anggaran
Peneliti Seknas Fitra, Gurnadi Ridwan, menyatakan bahwa influencer memang dimaksudkan untuk menyebarluaskan capaian-capaian pembangunan IKN secara nasional. Sayangnya, cara pemerintah itu sebenarnya kurang tepat.
Menurut Gurnadi, hal yang sebenarnya lebih penting adalah pelibatan masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pembangunan IKN. Pasalnya, merekalah yang bersinggungan langsung dengan proses dan dinamika proyek.
Jika dilibatkan, masyarakat lokal dengan sendirinya bakal menyampaikan ke masyarakat luas. Suara mereka, menurut Gurnadi, justru berkesan lebih nyata dan objektif.
Sementara merespons temuan ICW terkait uang yang digelontorkan pemerintah untuk jasa influencer, Gurnadi menilai angka miliaran rupiah tersebut tergolong pemborosan anggaran negara.
“Seharusnya pemerintah menggunakan kanal-kanal media yang lebih efisien, mengingat kondisi keuangan negara yang tidak baik-baik saja,” ujar Gurnadi.
Utang Indonesia hingga 2024 ini saja, jelas Gurnadi, sudah tembus sampai Rp7.000 hingga Rp9.000 triliun. Dalam kondisi sekarang dan mempertimbangkan proyek IKN, pemerintah seharusnya membuat kebijakan belanja negara yang lebih berkelanjutan.
“Alih-alih melakukan upaya pemulihan ekonomi dan perbaikan lingkungan, pemerintah lebih mengutamakan pencitraan IKN-nya saja,” kata Gurnadi.
Sementara itu, peneliti bidang politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, memandang penggunaan influencer dan pesohor untuk memoles citra kebijakan sesuai selera penguasa adalah alarm bahaya bagi demokrasi.
Pasalnya, tidak seperti peneliti dan jurnalis, para pesohor dan influencer tidak diikat dengan tuntutan akurasi dan objektivitas.
“Mereka [influencer dan pesohor] punya kepentingan berbeda yang tidak selalu berkelindan dengan urusan mendorong good governance dan daya kritis masyarakat terhadap pemerintah,” kata Felia, Rabu.
Pemerintah memang bisa mengandalkan influencer dan pesohor untuk memengaruhi opini publik dan mempopulerkan program-programnya. Sayangnya, langkah itu tidak efektif dalam menjamin aspek transparansi.
Padahal, pemerintah pastilah mampu mengundang masyarakat sipil, masyarakat adat, dan elemen masyarakat lain yang lebih tepat untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam proses kebijakan. Pemerintah, menurut Felia, juga perlu meningkatkan transparansi lewat divisi hubungan masyarakat yang mereka miliki, termasuk lewat media sosial dan portal informatif.
“Sebagai salah satu negara yang memelopori open government, Pemerintah Indonesia harus mendukung open data dan open government dalam menjalankan fungsinya sesuai tata kelola pemerintahan yang baik,” ujar Felia.
Kanal Informasi Pemerintah Perlu Dioptimalkan
Akun media sosial Otorita IKN dan kementerian/lembaga terkait semestinya bisa dimaksimalkan untuk memublikasikan proses dan progres pembangunan Nusantara. Penggunaan jasa influencer dan pesohor, menurut Felia, justru berisiko membuat informasi publik hanya sampai ke kelompok tertentu saja, tidak informatif dan edukatif, tidak komprehensif, dan tidak kritis.
“Terlalu bergantung pada opini influencer dapat mengurangi ruang untuk debat dan partisipasi publik yang sehat, kritis, dan berbasis fakta. Masyarakat mungkin lebih cenderung mengikuti pendapat yang populer daripada mengevaluasi informasi secara kritis,” jelas Felia.
Peneliti dari Perludem, Annisa Alfath, juga mengungkapkan hal senada. Menurutnya, pemerintah mestinya mengoptimalisasi kanal-kanal publikasi resminya untuk transparansi informasi. Sering kali, data publik malah tidak bisa diakses oleh masyarakat, padahal sudah ada anggaran tersendiri untuk laman resmi pemerintah.
Selain itu, kata Nisa, pemerintah bisa membuat forum-forum yang mengundang stakeholder untuk sosialisasi program. Forum publik itu bisa pula digunakan sebagai penjaring masukan terhadap program-program pemerintah.
“Kecuali, memang dari pemerintah tidak ada willingness untuk perbaikan program,” kata Nisa.
Informasi publik yang dibangun dengan narasi tunggal lewat pesohor dan influencer pun dinilainya berbahaya. Apalagi, mereka bekerja sesuai dengan pesanan klien yang dalam hal ini adalah pemerintah. Akhirnya, informasi yang disajikan ke khalayak menjadi tidak netral.
“Sehingga, menekan daya kritis masyarakat untuk kemudian crosscheck bagaimana kinerja pemerintah sebenarnya, bagaimana eksekusi program, bahkan terkait aliran dana yang digunakan apakah sudah sesuai atau belum,” jelas Nisa.
Menanggapi kritikan publik atas penggunaan pesohor itu, Staf Khusus Presiden, Grace Natalie, mengklaim bahwa kehadiran mereka adalah bentuk transparansi pembangunan IKN kepada publik.
Grace menilai bahwa kehadiran para artis dapat menjadi obat penasaran bagi masyarakat Indonesia yang belum berkesempatan ke IKN. Terlebih, IKN saat ini masih dalam proses pembangunan sehingga tak semua orang bisa memasukinya.
"Sudah banyak masyarakat yang penasaran dengan IKN. Namun, karena saat ini di IKN masih terus berlangsung proyek pembangunan, belum bisa dibuka untuk dikunjungi publik luas. Harus bergantian," kata Grace dalam keterangan persnya, Selasa (30/7/2024).
Menurut Grace, selain para artis dan penggiat media sosial, pemerintah juga berencana mengajak perwakilan pimpinan ormas dan tokoh masyarakat lokal untuk hadir ke IKN. Pimpinan redaksi media juga dijadwalkan akan diajak pula berkunjung ke Nusantara.
"Agar bisa menyaksikan sendiri pembangunan IKN dan menyampaikan informasi yang benar ke komunitasnya masing-masing," sebut Grace.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi