tirto.id - Jelang akhir tahun 2024, cerita kelabu menghampiri sejumlah perusahaan rintisan (startup) di Indonesia. Kasus terbaru adalah dugaan penyelewengan atau fraud yang menimpa salah satu startup unicorn dalam negeri, eFishery.
Dilansir laman Deal Street Asia, eFishery yang bernaung di bawah PT Multidaya Teknologi Nusantara itu baru saja mencopot sang CEO (Chief Executive Officer) yaitu Gibran Huzaifah atas dugaan penyalahgunaan finansial yang terjadi di perusahaan tersebut. Selain Gibran, co-founder eFishery dan CPO (Chief Product Officer) Chrisna Aditya juga dicopot sementara dari jabatannya sebagai bagian dari proses investigasi.
Berdiri sejak tahun 2013, eFishery yang diklaim merupakan startup aqua-tech pertama di Asia sempat mencapai masa kejayaan saat mencapai status unicorn usai mendapatkan pendanaan seri D sebesar 108 juta dollar AS atau setara dengan Rp1,61 triliun (asumsi kurs Rp14.935 per dolar) pada 2023.
Meski mendapat pendanaan besar, perjalanan perusahaan yang didirikan di Kota Bandung ini tak berjalan mulus. Pada Juli 2024 lalu perusahaan tersebut dilaporkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya dengan dalih restrukturisasi organisasi. Namun eFishery tak merinci berapa total karyawan yang terkena PHK.
Isu fraud ini sebenarnya pernah diakui oleh Gibran saat masih menjabat CEO eFishery. Namun saat itu Gibran menyebut bahwa fraud tersebut tidak akan membuat bisnis eFishery tumbang karena besarannya di bawah 0,5% dari revenue (keuntungan).
Setelah mencopot Gibran dan Chrisna Aditya, eFishery menunjuk Adhy Wibisono yang sebelumnya menjabat CFO (Chief Financial Officer) untuk menjadi CEO interim. Sementara posisi CFO interim diisi oleh Albertus Sasmita. Belum ada pernyataan lain dari eFishery terkait alasan hingga kelanjutan nasib perusahaan rintisan ini setelah ditinggalkan para pendirinya.
Tak hanya eFishery, sederet permasalahan juga menimpa perusahaan rintisan teknologi finansial (fintech/financial technology) yang bergerak di bidang peer to peer (P2P) lending alias pinjaman daring seperti Investree dan KoinP2P.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja mencabut izin PT Investree Radhika Jaya (Investree) berdasarkan Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-53/D.06/2024 tanggal 21 Oktober 2024. Pencabutan izin usaha Investree dilakukan karena perusahaan tersebut dianggap melanggar ekuitas minimum dan ketentuan lainnya sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), serta kinerja yang memburuk yang mengganggu operasional dan pelayanan kepada masyarakat.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Agusman, menyatakan bahwa mantan CEO PT Investree Radika Jaya, Adrian Asharyanto, ditetapkan sebagai tersangka. Adrian juga masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
“Terkait tindak lanjut proses penegakan hukum dugaan tindak pidana sektor jasa keuangan oleh Eks CEO PT Investree Radika Jaya (Investree), Adrian Asharyanto alias Adrian Gunadi telah ditetapkan sebagai tersangka dan telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang,” kata Agusman seperti dikutip dari Antara, Selasa (17/12/2024).
Mengutip laporan Tirto, Investree pernah meraih pendapatan mencapai Rp110,7 miliar pada tahun 2022 dengan raihan total rugi komprehensif Rp74,39 miliar. Total liabilitas pada periode yang sama tercatat Rp101 miliar, dengan akumulasi aset Rp148 miliar.
Investree mulai mengalami penurunan saat masa pandemi Covid-19. Adrian mengakui beberapa borrower telat dalam pengembalian dana dan menuju gagal bayar atau TWP90. TWP (tingkat wanprestasi) merupakan parameter wanprestasi atau kelalaian penyelesaian kewajiban yang tertera dalam perjanjian di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo, dengan skor Investree hingga akhir Januari tahun 2024 mencapai 12,58 persen.
Setelah pencabutan izin usaha Investree, penagihan kepada penerima dana (borrower) akan tetap dilakukan. Borrower tetap berkewajiban untuk melakukan pelunasan seluruh kewajibannya kepada pemberi dana atau lender. Proses penyelesaian kewajiban tersebut dilakukan melalui tim likuidasi.
Nasib serupa dialami oleh KoinP2P yang bernaung dibawah PT Lunaria Annua Teknologi. Saat ini OJK telah melaksanakan langkah-langkah pengawasan secara ketat terhadap perusahaan tersebut sehubungan dengan pemberitaan terkait KoinP2P yang melakukan penundaan pembayaran (standstill) kepada sebagian pemberi dana (lender).
Seperti yang pernah diberitakan Tirto sebelumnya, KoinP2P mewajibkan para lender atau pemberi pinjaman untuk menahan uang mereka dengan ketentuan maksimal pengembalian dana hingga dua tahun, dengan kompensasi sebesar 5 persen per tahun. Para pemberi pinjaman pun dipaksa untuk memenuhi ketentuan KoinP2P tanpa ada pilihan lain.
Lalu, apa penyebab dari deretan permasalahan yang terjadi pada sejumlah startup tersebut?
Buruknya Tata Kelola Startup
Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Institute Heru Sutadi mengungkap fraud atau dugaan penyelewengan dana memang rawan terjadi khususnya di startup yang bergerak di bidang fintech dan P2P lending seperti Investree dan KoinP2P.
Ia menjelaskan perusahaan seperti Investree dan KoinP2P umumnya mengandalkan dana investasi dari pihak ketiga untuk diberikan pinjaman kepada masyarakat atau borrower. Selain itu, perusahaan tersebut juga menerima dana dari masyarakat yang menitipkan uang di platform tersebut atau lender.
Menurut Heru, dalam beberapa kasus seperti yang terjadi di Investree, uang yang dititipkan di platform tersebut sangat rawan disalahgunakan oleh petinggi perusahaan hingga menyebabkan fraud.
“Harusnya si lender itu mendapatkan interest ya, mungkin bunga lah tiap bulan atau pendapatan lebih, itu tidak dilakukan dan malah digunakan untuk kepentingan pribadi. Padahal mereka (investor) kan udah menaruh uang bukannya mendapatkan tambahan tapi justru duitnya melayang kan gitu loh,” ujar Heru saat dihubungi Tirto, Jumat (27/12/2024).
Ia menambahkan, kasus-kasus fraud khususnya pada startup di Indonesia terjadi karena buruknya tata kelola perusahaan startup, lemahnya pengawasan, dan minimnya regulasi yang ada selama ini. Heru menilai perusahaan startup di Indonesia harus melakukan tata kelola sesuai prinsip good corporate governance.
“Faktor pengawasan secara industri perlu tata kelola ulang. Karena dana investasi yang masuk ke perusahaan yang nilainya besar itu cenderung bisa disalahgunakan. Jangan karena seolah menganggap perusahaan itu perusahaan sendiri jadi uangnya bisa digunakan secara pribadi,” kata Heru menambahkan.
Senada dengan Heru, peneliti ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Dyah Ayu, menyebut akar permasalahan dari rentetan kasus fraud yang terjadi pada startup di Indonesia akhir-akhir ini ada pada tata kelola startup itu sendiri.
Ia menekankan, penting bagi startup untuk mengimplementasikan prinsip good corporate governance. Prinsip itu meliputi pengelolaan manajemen risiko internal startup serta potensi kerugian investasi termasuk fraud dari pendapatan.
“Tim internal startup harus memiliki mekanisme penilaian risiko yang memadai. Walaupun keadaan ini harus mengeluarkan compliance cost yang lebih besar tetapi internal control yang kuat akan meminimalisasi manipulasi data dan penyalahgunaan aset,” ucap Dyah Ayu saat dihubungi Tirto, Jumat (27/12/2024).
Belajar dari kasus yang telah terjadi, untuk mencegah terjadinya fraud dalam perusahaan, ia merasa startup perlu membentuk tim dewan pengawasan independen agar terlepas dari konflik kepentingan dan menjaga agar operasional startup tetap berada pada jalur regulasi internal.
“Startup juga diharapkan tidak hanya melakukan audit internal tetapi juga diharapkan merekrut auditor eksternal secara berkala untuk menjaga transparansi kepada para investor dan pengguna,” lanjutnya.
Tren Investasi Startup Menurun di Tengah Kasus Fraud
Selain faktor tata kelola startup yang buruk, Heru dari ICT menilai pengaturan dan pengawasan startup khususnya di industri fintech lending masih belum maksimal. Oleh sebab itu, dibutuhkan peran regulator seperti OJK dan PPATK untuk memperketat pengaturan pengawasan baik terhadap platform startup, investor, maupun masyarakat.
“Domain dari OJK, terutama misalnya pinjol, bunga harus diawasi terus kalau ada investasi dari masyarakat diawasi. Masyarakat harus diawasi juga mana yang layak mendapatkan pinjaman atau tidak. Perilaku platform/manajemen juga harus diawasi, ada PPATK yang bisa memantau uang itu lari ke mana,” ujar Heru.
Ia menilai baik platform maupun regulator seharusnya tidak menganggap remeh rentetan kasus fraud yang terjadi pada perusahaan startup akhir-akhir ini. Jika situasi ini terus terjadi, ia khawatir kepercayaan para investor dan masyarakat terhadap bisnis ekonomi digital akan runtuh.
“Bisnis digital modal utamanya kepercayaan. Apa yang terjadi di eFishery, Investree ini bikin kepercayaan masyarakat runtuh dan kalo dibiarkan, startup di Indonesia termasuk juga ekonomi digital Indonesia nggak berkembang. Supaya kepercayaan pulih tata kelolanya harus diatur ulang dan pengawasannya diperketat,” lanjutnya.
Sementara itu, Dyah Ayu dari CELIOS menyoroti kondisi minat investasi startup dan teknologi digital yang sedang melemah terutama di tengah rentetan permasalahan fraud yang menimpa startup dalam negeri.
Menurutnya, kondisi ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina. Kedua negara tersebut sedang menjadi negara dengan investasi startup yang masih terus tumbuh dengan cepat pada 2023 dan 2024.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan dalam ekosistem startup digital global. Indonesia tercatat berada di peringkat 36 pada tahun 2024, naik 18 peringkat dari tahun 2020. Meski begitu, Komdigi melaporkan bahwa pada 2023 terjadi penurunan pendanaan menjadi 1,1 miliar dollar AS dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 4,1 miliar dollar AS.
Mengutip laporan bertajuk Outlook Ekonomi Digital 2025 dari CELIOS, investasi sektor ekonomi digital di Indonesia memang cenderung mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Tercatat, angka investasi di sektor ini sempat naik dari 27 persen pada 2019, menjadi 38 persen pada 2020, namun kemudian turun hingga 25 persen pada paruh pertama 2022.
Investasi modal ventura mencapai puncaknya pada tahun 2021 dengan nilai mencapai Rp140,5 triliun. Namun, pada 2022 dan 2023 tren ini mengalami penurunan drastis dengan penurunan investasi mencapai 66 persen pada tahun 2023, yang dipengaruhi juga oleh ketidakpastian ekonomi global dan selektivitas investor yang lebih tinggi terhadap startup yang mereka pilih untuk didanai.
“Ini harusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dan perusahaan startup terutama untuk fokus pada profitabilitas dibandingkan pertumbuhan. Namun, harus tetap dikawalnya transparansi laporan yang memadai dan implementasi good corporate governance dengan internal audit yang kuat,” pungkas Dyah.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Rina Nurjanah