Menuju konten utama

Wanprestasi: Pengertian, Bentuk, Penyebab, dan Dampak Hukumnya

Kasus wanprestasi sering terjadi di Indonesia dan menyita perhatian media. Apa itu wanprestasi?

Wanprestasi: Pengertian, Bentuk, Penyebab, dan Dampak Hukumnya
Ilustrasi Undang Undang. foto/Istockphoto

tirto.id - Wanprestasi adalah istilah untuk tindakan salah satu pihak yang terikat di suatu perjanjian, tetapi tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan perjanjian awal.

Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu "Wanprestatie" yang berarti tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di suatu perikatan, baik yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun yang timbul karena undang-undang.

Mengutip laman Kemenkeu, definisi resmi wanprestasi ialah tindakan yang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian awal yang dibuat oleh kreditur dengan debitur.

Ragam bentuk wanprestasi ada 4. Pertama, tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan, sesuai dalam perjanjian. Kedua, melakukan apa yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan dalam perjanjian.

Ketiga, melakukan apa yang sudah diperjanjikan tapi terlambat, atau tidak sesuai tenggat waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Keempat, melakukan sesuatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan.

Adapun penyebab waprestasi ada dua kemungkinan. Keduanya adalah: ada keadaan memaksa atau force mejeur; dan karena ada kesalahan debitur, baik sengaja maupun lalai.

Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi:

Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Dalam kasus wanprestasi, keberadaan somasi atau surat perintah sangat penting. Ini dikarenakan suatu tindakan baru bisa disebut wanprestasi apabila telah ada somasi dari kreditur yang ditujukan kepada debitur.

Hal ini sesuai dengan ketentuan di Pasal 1238 KUPerdata: "Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bisa perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan."

Surat perintah, dalam praktiknya biasa disebut dengan somasi. Kreditur mengirim somasi untuk memperingatkan debitur agar memenuhi isi perjanjian. Jika somasi tidak diindahkan, kreditur bisa menyatakan telah terjadi wanprestasi, dengan mengirim surat kepada debitur.

Sementara jika merujuk ketentuan di Pasal 1239 dan Pasal 1267 KUHPerdata, kreditur mempunyai 5 hak ketika debitur dinyatakan wanprestasi, yakni:

  • Menuntut pemenuhan perikatan
  • Menuntut ganti rugi
  • Menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
  • Menuntut pemutusan perikatan
  • Menuntut pemutusan perikatan dengan ganti rugi.

Merujuk Pasal 1239 KUHPerdata, jika terjadi wanprestasi oleh debitur, ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur adalah:

  • Biaya (kosten), yakni biaya yang telah dikeluarkan
  • Rugi (Schaden), yakni kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda kreditur
  • Bunga (Interessen), yakni keuntungan yang akan didapatkan seandainya debitur tidak lalai (winstdervening).

Berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, debitur baru dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi apabila telah ada pernyataan lalai. Dalam hal ini, pernyataan lalai tidak hanya digunakan untuk menetapkan suatu tindakan wanprestasi, tetapi juga menentukan hak-hak kreditur.

Meski melakukan wanprestasi, debitur juga berhak melakukan pembelaan. Hal ini biasanya terjadi apabila terjadi keadaan memaksa yang menyebabkan tidak terpenuhinya suatu perjanjian.

Sesuai dengan Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata, debitur dapat terbebas dari tuntuan ganti rugi dari kreditur, jika terjadi suatu hal yang tidak diduga (force mejeur). Dalam KUHPerdata telah ditetapkan unsur-unsur dari keadaan memaksa, antara lain:

  • Ada peristiwa yang menghalangi prestasi debitur yang diterima sebagai halangan yang dapat membenarkan debitur untuk tidak berprestasi atau tidak berprestasi sebagaimana mestinya
  • Tidak adanya unsur salah pada debitur atas timbulnya peristiwa halangan itu
  • Halangan tidak dapat diduga oleh debitur.

Baca juga artikel terkait GUGATAN PERDATA atau tulisan lainnya dari Endah Murniaseh

tirto.id - Hukum
Kontributor: Endah Murniaseh
Penulis: Endah Murniaseh
Editor: Addi M Idhom