Menuju konten utama

Gelembung eFishery Pecah: Guncangan Besar bagi Startup Indonesia

eFishery, startup yang telah berdiri sejak 2013 itu menjadi sorotan karena dugaan fraud yang terjadi di internal perusahaan. Bagaimana bisa terjadi?

Gelembung eFishery Pecah: Guncangan Besar bagi Startup Indonesia
Co-founder dan Chief of Staff eFishery Chrisna Aditya, di Bandung, Rabu. (ANTARA/Ajat Sudrajat)

tirto.id - Nama perusahaan rintisan alias startup yang berfokus pada bisnis akuakultur, khususnya di sektor budidaya perikanan dan budidaya udang, eFishery, ramai menjadi bahasan masyarakat belakangan. Bukan karena prestasi, startup yang telah berdiri sejak 2013 itu menjadi sorotan karena dugaan fraud yang terjadi di internal perusahaan.

Bahkan, dugaan fraud tersebut membuat dewan direksi memberhentikan dua pendirinya, Gibran Huzaifah dan Chrisna Aditya. Pemberhentian sementara kedua tokoh kunci yang menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO) dan Chief Product Officer (CPO) itu pertama kali diungkap oleh DealStreetAsia pada pemberitaan 15 Desember 2024 lalu. Pemberhentian sementara kedua pendiri eFishery itu dilakukan seiring dengan dilangsungkannya investigasi atas dugaan fraud internal.

Kemudian, pada Senin (16/12/2024), manajemen menyampaikan bahwa posisi CEO interim dijabat sementara oleh Adhy Wibisono. Selain itu, manajemen juga menunjuk Albertus Sasmitra sebagai Chief Financial Officer (CFO). Sementara itu, pengangkatan Adhy dan Albertus dikatakan manajemen sebagai bentuk perwujudan tata kelola perusahaan yang baik.

“Keputusan diambil bersama shareholder perusahaan, sebagai wujud komitmen untuk meningkatkan tata kelola perusahaan yang baik,” tulis manajemen, dalam keterangan resmi, dikutip Senin (20/1/2025).

Dalam pernyataan tersebut, eFishery juga menyatakan pihaknya menaruh perhatian serius pada dugaan fraud yang isunya tengah beredar saat ini. Oleh karenanya, perusahaan berkomitmen untuk menjaga tata kelola perusahaan serta etika dalam operasional perusahaan pada standar tertinggi.

“Kami memahami keseriusan isu yang sedang beredar saat ini dan kami menanggapinya dengan perhatian penuh. Kami berkomitmen untuk menjaga standar tertinggi dalam tata kelola perusahaan dan etika dalam operasional perusahaan,” pungkas keterangan itu.

Meski tak mengakui pemberhentian Gibran dan Aditya karena terlibat kasus fraud, namun beberapa waktu sebelumnya, tepatnya pada September 2024, Gibran mengakui bahwa memang telah terjadi fraud di tubuh eFishery. Namun, karena rasio fraud hanya 0,5 persen dari total pendapatan (revenue) dia memastikan hal tersebut tidak akan membuat bisnis perusahaan rintisan akuakultur itu tumbang.

“Fraud memang ada di kita. Tetapi fraud-nya di bawah 0,5 persen dari revenue. Jadi rendah. Banyak yang bilang eFishery mau mati karena fraud, kalau jumlahnya segitu, nggak membunuh perusahaannya. Kami memastikan bagian itu,” kata Gibran, kepada awak media, Rabu (4/9/2024) lalu.

Kendati, dia memastikan akan menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam fraud. Sebab, sekecil apapun rasio fraud terhadap pendapatan, telah mencederai nilai yang diadopsi perusahaan, yakni untuk membantu para pembudidaya Menjalani bisnis budidayanya dengan baik.

“Kalau ada yang melakukan fraud, kami punya tindakan tegas,” tegas dia.

Sayang, sejak semakin menguarnya aroma fraud ke publik sampai hari ini, manajemen eFishery seolah menutup rapat jalur komunikasinya.

eFishery

PT Multidaya Teknologi Nusantara atau eFishery. (FOTO/dok. eFishery)

Sementara itu, sebagai investor awal sekaligus investor yang terlibat dalam putaran pendanaan eFishery seri C dan D, Pendiri Northstar Group, Patrick Sugito Walujo, menilai, dugaan fraud berupa penyelewengan dana telah terjadi pada perusahaan akuakultur itu sejak 2018. Tidak hanya itu, dia juga menduga kuat, fraud tersebut bersifat sistematis yang terbukti dari manipulasi data di berbagai lini bisnis perusahaan yang sudah berlangsung sejak cukup lama.

“Dan kami baru saja mendapat salinan obrolan tim yang berurusan dengan tim kami, tim yang kami kirim, seperti tim audit. Dan jelas bahwa semuanya direncanakan, bukan? Dan itu sistematis. Jadi itu benar-benar mengejutkan,” kata dia, dalam acara Indonesia PE-VC Summit 2025, di Jakarta, Kamis (16/1/2025).

Perlu diketahui, Northstar Group masuk dalam pendanaan seri C eFishery pada Januari 2022 lalu. Pada putaran pendanaan yang dipimpin oleh Temasek, SoftBank Vision Fund 2 dan Sequoia Capital India bersama dengan partisipasi investor lainnya, yakni Northstar Group, Go-Ventures, Aqua-Spark, dan Wavemaker Partners menyuntikkan dana sebesar 90 juta dolar Amerika Serikat (AS) kepada perusahaan yang kala itu dipimpin Gibran Huzaifah.

Selanjutnya, pada 2023 eFishery mendapatkan pendanaan seri D sebesar 108 juta dolar AS yang dipimpin oleh 42XFund beserta investor lainnya, termasuk SoftBank Vision Fund dan Northstar Group. Melalui pendanaan tersebut, eFishery berhasil menyandang status unicorn dengan valuasi perusahaan di atas 1 miliar dolar AS.

“Ini benar-benar memalukan, dan memalukan bagi orang-orang yang telah menjalankan eFishery. Saya bukan bagian dari tim investigasi. Rekan-rekan saya sedang menanganinya. Namun, dari pandangan pertama, saya yakin ini adalah penipuan sistematis di semua lini,” kecam Patrick.

Karenanya, dengan penipuan sistematis ini, investor yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) tersebut mengaku masih belum bisa melihat apakah dua pejabat baru eFishery dapat menyelamatkan perusahaan dari kehancuran atau tidak. Pasalnya, investor juga harus melihat terlebih dulu apa yang tersisa dari perusahaan yang telah rusak tersebut.

“Dan saya rasa kita perlu, saya rasa kita akan merenungkannya, kita akan mempelajarinya, dan kita akan merenungkannya dan kita akan melakukan perbaikan dalam cara kita menangani perusahaan operasi dan investasi kita,” kata dia.

Sebagai sosok yang telah berkecimpung di dunia modal ventura sejak 2003 silam, ini adalah ketiga kalinya dia melihat startup papan atas melakukan penipuan sistematis seperti ini. Karenanya, Patrick pun berpesan kepada semua yang berkecimpung di dunia startup dan juga modal investasi untuk berhati-hati.

Sebab, bisa saja bagi siapapun yang terlibat dalam bisnis startup untuk melakukan penipuan. Bahkan, tidak peduli seberapa baik investor yang mendanai startup tersebut, oknum yang melakukan penipuan masih bisa bersembunyi, namun tidak dengan lari.

“Suatu hari nanti ia akan ketahuan, bukan? Ini masalah waktu. Tapi, ya, maksud saya, saya bisa memberi tahu Anda dengan yakin bahwa jika saya, sebagai CEO, mengoordinasikan penipuan besar-besaran, itu selalu bisa dilakukan,” ujar dia.

“Namun, apakah itu benar-benar sesuatu yang ingin Anda lakukan dalam hidup? Itu adalah pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh orang-orang,” tambah Patrick.

Penipuan sistematis yang terjadi di tubuh eFishery dinilai telah merusak komunitas startup di Indonesia secara keseluruhan. Dus, sebagai salah satu investor, Patrick akan menanggapi dan menangani kasus ini dengan serius.

“Saya pikir kerusakan yang mereka lakukan terhadap Indonesia, terhadap komunitas startup, dan terhadap kredibilitas kami sangat besar. Jadi kami akan menyelidikinya sampai tuntas, dan saya pikir kami akan menanggapinya dengan sangat serius,” imbuh dia.

Penipuan eFishery Guncang Startup

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan, kasus fraud yang dialami eFishery dan beberapa startup lainnya seperti TaniFund (perusahaan peer to peer/P2P lending yang menyediakan pinjaman untuk bidang pertanian), Investree (perusahaan P2P lending), hingga PT Lunaria Annua Teknologi atau KoinP2P (startup pinjaman daring) bakal berdampak pada turunnya minat investor untuk mendanai perusahaan rintisan. Sebab, bagaimanapun untuk menjaring investasi dari modal ventura, perusahaan rintisan harus mampu menjaga kepercayaan para investor.

“Kenapa setelah eFishery berhasil menjadi unicorn, tapi dia justru ada fraud di dalamnya. Jadi ya pada akhirnya memang membuat persepsi investor akan negatif. Karena persepsi itu, akan menyebabkan pendanaan-pendanaan pasti akan menurun,” kata Huda, kepada Tirto, Senin (20/1/2025).

Saat ini saja, minat investor untuk mendanai startup sudah jauh menurun. Hal ini terlihat dari realisasi pembiayaan modal ventura yang dicatat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sampai November 2024, yang mencapai Rp16,09 triliun. Nilai tersebut terkontraksi 7,46 persen secara tahunan (year on year/yoy). Jika dirinci, dari total pembiayaan tersebut 43,23 persen di antaranya berasal dari sektor perdagangan, 13,08 persen dari sektor keuangan dan asuransi, serta 12,68 persen dari sektor penyewaan dan sewa guna usaha tanpa hak opsi, ketenagakerjaan, agen perjalanan dan penunjang usaha lainnya.

Sementara itu, kontraksi juga terjadi pada nilai aset modal ventura yang per November 2024 hanya mencapai Rp25,92 triliun, merosot 2,41 persen dibanding capaian periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp26,56 triliun. Kemudian, investasi di sektor digital juga mengalami penurunan dari yang di 2021 masih berada di kisaran Rp140 triliun hanya menjadi Rp68 triliun pada 2022.

“Mereka (modal ventura) itu menyerahkan uang itu kepada perusahaan yang bisa tumbuh potensial, mempunyai potensi untuk dia berkembang lebih baik. Jadi, ketika ada kondisi seperti ini (banyak fraud pada startup), ya ini tidak baik. Ini akan jadi pertanyaan venture capital, kenapa si ini bisa perusahaan yang sedang dievaluasi, ini akan merugikan dari sisi perusahaan rintisan di Indonesia,” tambah dia.

Namun, terlepas dari fraud, Huda juga melihat bahwa perusahaan-perusahaan modal ventura di Indonesia tengah melakukan pengetatan ikat pinggang. Apalagi, dengan kondisi ekonomi Indonesia yang tengah mengalami stagnasi, pemodal ventura akan lebih tertarik untuk mendanai perusahaan yang dapat meraup untung lebih cepat dan dapat mempertahankan keuntungan tersebut dalam jangka waktu lama atau berkelanjutan.

“Tapi sebetulnya, setelah mendapat pendanaan dan sebagainya, mereka (startup) harus dapat bertahan. Selama ini, kita lihat pada startup digital sendiri masih banyak bergantung pada pendanaan untuk bisa beroperasional. Harusnya bisa mencapai profit, jangan sampai ini angel investor diandalkan, terus ketika uangnya habis, mereka nggak bisa kembalikan pendanaan itu karena belum siap,” tegas Huda.

Hal serupa disampaikan pula oleh Pendiri Northstar Group, Patrick Walujo. Menurutnya, pada akhirnya investor akan melihat perusahaan yang bakal didanai dari potensi keuntungan yang bisa diperoleh.

“Maksud saya, pada awalnya, pada tahap pertama, semuanya menjanjikan dan penuh potensi. Dan sekarang orang perlu melihat di mana uangnya dan produk apa yang dikembangkan orang-orang ini atau perusahaan rintisan ini dan sebagainya,” kata dia, di Jakarta beberapa waktu lalu.

Namun, yang lebih penting untuk mendapat pendanaan, para perintis perusahaan harus dapat memastikan produk yang mereka produksi atau keluarkan bisa setara kualitasnya dengan para pemain global. Pada saat yang sama, kualitas sumber daya manusia (SDM) juga perlu diperhatikan agar bisnis startup dapat berjalan dengan baik.

“Dan inilah yang saya lihat sebagai perbedaan terbesar antara pemimpin pasar di Tiongkok dan di India. Saya menghabiskan waktu dengan Zomato. Saya menghabiskan waktu dengan Meituan,” kata Patrick.

OJK tak menanggapi kasus fraud yang terjadi pada tubuh eFishery. Namun, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (KE PVML), Agusman, yakin pembiayaan yang akan digelontorkan oleh perusahaan modal ventura di 2025 akan tetap tetap terjaga. Meski menurutnya, perusahaan tentu perlu mengantisipasi kondisi perekonomian yang dapat mempengaruhi kinerja, termasuk terkait tech winter alias fenomena penurunan investasi dan aktivitas bisnis di industri teknologi.

“Dalam rangka mengembangkan dan menguatkan industri modal ventura, OJK telah menerbitkan POJK Nomor 25 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Usaha PMV dan PMV Syariah, dengan tujuan agar perusahaan dapat lebih fokus dalam menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan kategori usaha venture capital corporation (VCC) atau venture debt corporation (VDC),” jelas Agusman, dalam jawaban tertulis, dikutip Senin (20/1/2025).

Selain itu, OJK juga telah menyusun peta jalan atau roadmap Pengembangan dan Penguatan Perusahaan Modal Ventura 2024-2028. “(Yang) menjadi panduan arah pengembangan dan penguatan industri termasuk peningkatan nilai penyertaan/pembiayaan PMV dan PMV Syariah,” tukas dia.

Baca juga artikel terkait STARTUP atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang