tirto.id - Platform media sosial asal China, RedNote, sedang viral di Amerika Serikat (AS) menyusul penghentian temporer operasi aplikasi TikTok di AS, yang membuatnya tak bisa diakses penggunanya.
Menukil BBC, TikTok kembali beroperasi untuk 170 juta penggunanya di AS, pada Minggu (19/1/2025), setelah Presiden terpilih AS, Donald Trump, menyatakan akan mengeluarkan perintah eksekutif untuk memberikan kelonggaran pada aplikasi tersebut saat ia mulai menjabat pada Senin (20/1/2025).
Sebelumnya, di hari Sabtu (18/1/2025), aplikasi asal Tiongkok ini sempat berhenti berfungsi bagi pengguna di Amerika akibat undang-undang yang melarangnya dengan alasan keamanan nasional mulai diberlakukan. Pemerintah AS awalnya berniat memblokir TikTok, sebab perusahaan induk TikTok, Bytedance, sebelumnya menolak mematuhi undang-undang yang mewajibkan TikTok untuk menjual operasinya di AS.
Undang-undang ini ditandatangani Presiden AS, Joe Biden pada April 2024, dan telah disahkan oleh Mahkamah Agung pada Jumat (17/1/2025). Undang-undang ini awalnya semestinya berlaku di hari Minggu (19/1/2025).
Trump, yang sebelumnya mendukung larangan terhadap platform tersebut, pada Minggu menjanjikan penundaan penerapan undang-undang tersebut untuk memberikan waktu lebih banyak bagi negosiasi. TikTok kemudian menyatakan sedang dalam proses "mengembalikan layanan."
AS memiliki kekhawatiran bahwa ByteDance dapat memberikan datanya ke pemerintah Tiongkok. Adapun ByteDance berupaya tetap mempertahankan TikTok di AS tanpa menjualnya, termasuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung AS pada Jumat (9/1/2025).
Di tengah huru-hara pemblokiran TikTok, muncul aplikasi RedNote, yang disebut menjadi platform pengganti TikTok di AS. Namun, apakah aplikasi RedNote dan akankah aplikasi ini bertahan setelah TikTok kembali dapat diakses di AS?
Mengenal Apps RedNote
RedNote diluncurkan pada 2013, di Shanghai, China, oleh Miranda Qu yang kini menjadi presiden perusahaannya, serta Charlwin Mao atau kini sebagai CEO. Saat awal dibuat, RedNote dikenal sebagai Hong Kong Shopping Guide. Aplikasi ini awalnya ditujukan untuk wisatawan China yang mencari rekomendasi lokal.
Selama bertahun-tahun, aplikasi ini berkembang pesat dan mengganti nama menjadi Xiaohongshu. Nama berbahasa Tiongkok itu jika diterjemahkan memiliki arti “red note”. Maka Xiaohongshu di luar China dikenal sebagai RedNote.
RedNote mengalami lonjakan popularitas di kalangan konsumen muda selama pandemi COVID-19, dan kini bernilai 17 miliar dolar AS. Aplikasi ini saat ini memiliki 300 juta pengguna aktif bulanan, 79 persen di antaranya adalah wanita, menurut TechCrunch.
Sementara itu, NPR menyebutkan, RedNote disebut dapat memunculkan unggahan berupa video, foto, atau teks yang lebih panjang ketimbang dari aplikasi lain. Pengguna RedNote juga dapat terlibat dalam diskusi, berbagi unggahan, saling menelepon, dan membeli produk melalui fitur Shop. RedNote juga baru saja mulai merambah fitur penjualan melalui streaming.
Lalu, bagaimana peluang RedNote "mengakuisisi" pengguna TikTok di AS?
Pengungsi TikTok Masih dalam Tahap Coba-Coba
TikTok berada di peringkat lima media sosial dengan pengguna paling banyak di AS berdasarkan data Pew Research Center. Diperkirakan, sebanyak 33 persen orang dewasa di negara tersebut adalah pengguna TikTok per tahun 2023.
Sementara itu, berdasarkan data Statista, jumlah pengguna TikTok di AS diperkirakan berjumlah 120,5 juta orang yang membuat negara Paman Sam tersebut berada di posisi kedua negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia di bawah Indonesia.
Dengan tak dapat diaksesnya aplikasi TikTok secara sementara di AS, banyak pengguna aplikasi tersebut yang mencari tempat lain untuk beralih. RedNote tampak menjadi platform yang menjadi pilihan alternatif bagi ratusan pengguna TikTok.
RedNote bahkan menduduki urutan teratas dalam pilihan "aplikasi gratis” yang tersedia di App Store daerah AS milik Apple, hingga Senin (20/1/2025). Sumber Reuters yang disebut dekat dengan RedNote, menyebutkan bahwa sekira 700 ribu pengguna baru RedNote bergabung hanya dalam kurun 2 hari.
Pengunduhan aplikasi tersebut di AS meningkat lebih dari 20 kali lipat selama periode 7 hari sejak 8 Januari, dibandingkan dengan minggu sebelumnya, serta naik lebih dari 30 kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Data yang sama menyebut bahwa lebih dari seperlima dari total unduhan aplikasi RedNote sejauh bulan ini, berasal dari AS. Melonjak signifikan dibandingkan dengan hanya 2 persen selama periode yang sama pada tahun 2024.
NPR menyebut fenomena banyaknya warga AS yang beralih dari TikTok ke RedNote hanya sebagai bentuk tindakan protes terhadap upaya anggota parlemen AS untuk melarang TikTok. Tagar "TikTok refugees" atau pengungsi TikTok pun menjadi trending topic di negara tersebut.
Sementara itu, laporan CNN menyebut beberapa hari setelah menggunakan RedNote, beberapa pengungsi TikTok dari AS mulai mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap aturan sensor, yang jauh melampaui apa yang biasa mereka temui.
Sebagai informasi, bukan hanya konten kekerasan, ujaran kebencian, atau pornografi yang dilarang, internet China terkenal dengan penyensoran daftar istilah yang terus berkembang, yang dianggap sensitif, termasuk secara politis.
Menanggapi fenomena ini, pengamat media sosial, Enda Nasution, menilai masih terlalu dini jika menilai RedNote telah berhasil menggantikan posisi TikTok sebagai salah satu media terpopuler di AS. Ia menilai, saat ini, mereka yang menamai diri sebagai "pengungsi TikTok" ini masih dalam tahap mencari dan mencoba beragam platform.
“Di tahap ini mereka masih mencoba-coba aplikasi yang mereka suka. Jadi belum bisa disimpulkan buat mereka pindah kemana. Dan saya rasa juga nggak akan tiba-tiba pindah ke satu aplikasi saja seperti RedNote,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (17/1/2025)
Ia menjelaskan, dari sisi fitur, RedNote justru agak berbeda dengan TikTok. Menurutnya, secara fitur, aplikasi yang paling mendekati TikTok adalah Instagram, yang dimiliki oleh Meta.
“Rednote lebih banyak digunakan untuk para penikmat musik. Jadi bisa untuk mengkompilasi kayak playlist, instead of kayak lebih ke video gitu ya. Jadi mungkin kembali ini masalahnya sih kayaknya bukan masalah fitur ya, tapi masalah terpaksa mencoba mencari-cari tempat yang baru aja gitu,” ujarnya.
Enda menilai, pengguna TikTok di AS secara karakteristik juga bukan tipikal pengguna ekslusif. Artinya, mereka tak hanya mempunyai TikTok sebagai satu-satunya aplikasi media sosial yang mereka gunakan. Ia menduga, jika nantinya TikTok diblokir, mereka justru akan kembali beralih ke aplikasi lain seperti Instagram.
Sebagai informasi, berdasarkan data Pew Research Center, dua media sosial milik Meta, seperti Facebook dan Instagram, masih menduduki peringkat kedua dan ketiga media sosial dengan pengguna paling banyak di AS dengan perkiraan jumlah pengguna masing-masing 68 persen dan 47 persen.
Peluang RedNote di Indonesia
Enda menilai, untuk saat ini, peluang platform seperti RedNote untuk mendapatkan tempat di Indonesia masih berat. “Harus ada semacam trigger-nya. Kalau di AS, ya trigger-nya TikTok di-banned, makanya pada pindah ke RedNote. Kalau di Indonesia kalau nggak ada trigger-nya, ya orang nggak akan pindah ke RedNote, gitu,” katanya
Ia menjelaskan, media sosial itu adalah tentang popularitas. Maka dari itu tidak mudah bagi sebuah platform seperti RedNote yang belum banyak dikenal di Indonesia untuk bisa langsung mendapatkan tempat di masyarakat.
“Karena kan siklusnya gini, orang posting, yang nonton banyak, karena yang nonton banyak jadi semangat untuk posting lagi gitu kan dan bergulir terus makin banyak dia posting, makin banyak juga yang nonton gitu,” katanya
Seiring dengan tren social-commerce, Enda menilai bahwa TikTok masih menjadi favorit masyarakat Indonesia untuk saat ini. Sebagai informasi, berdasarkan data Statista, Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak di dunia per Juli 2024, dengan total pengguna diperkirakan mencapai 157,6 juta.
Sementara itu, secara umum, berdasarkan riset We Are Social, bertajuk Data Digital Indonesia 2024, WhatsApp menjadi media sosial paling banyak digunakan responden Indonesia dengan proporsi sebesar 90,9 persen. Disusul oleh Instagram di peringkat kedua dengan 85,3 persen, Facebook 81,6 persen, TikTok 73,5 persen dan Telegram 61,3 persen.
“TikTok itu berhasil menggabungkan antara jualan dengan sosial medianya ya. Jadi ada manfaat, ada diferensiasi dengan platform sosial media yang lain gitu,” katanya
Meski begitu, secara keseluruhan, Enda memberi catatan bahwa karakteristik pengguna media sosial seperti di AS dan Indonesia, tidak eksklusif atau tidak terfokus hanya pada satu platform. Ia menilai, sejumlah platform media sosial memiliki diferensiasi dan fungsi yang berbeda antara satu dan lainnya.
“Misal kalau di TikTok saya akan lebih lihat review restoran, kafe, info travel dan lihat yang jualan. Di Instagram untuk ngikutin berita yang terjadi pada teman-teman yang saya follow. Di Facebook unuk teman-teman lama, X untuk ngikutin berita politik,” katanya.
Editor: Farida Susanty