Menuju konten utama

PPN 12 Persen: Tantangan Berat di Balik Laju Layanan Streaming

Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen untuk layanan streaming dinilai akan membuat perusahaan kehilangan sebagian pelanggan. Kok bisa?

PPN 12 Persen: Tantangan Berat di Balik Laju Layanan Streaming
Ilustrasi Streaming Film. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ibella (25) biasa menganggarkan dana sebesar Rp55 ribu untuk menikmati layanan hiburan daring berbayar atau streaming seperti YouTube Music. Jika ada series atau film yang ingin ditonton, ia tak segan menambah langganannya di platform Netflix. Selain itu, untuk menunjang pekerjaannya di industri media massa, Bella, sapaannya, juga menganggarkan dana sekitar Rp40 ribu untuk berlangganan Gmail.

“Anggaran per bulan si biasanya Rp100 ribu untuk YouTube Music Rp55 ribu dan Gmail itu kira-kira Rp40 ribuan,” kata dia, saat berbincang dengan Tirto, Senin (30/12/2024).

Bella sadar, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang akan mulai berlaku efektif per 1 Januari 2025 akan membuat pengeluarannya untuk berlangganan layanan streaming bakal membengkak. Namun, hal ini tak akan jadi soal, utamanya untuk platform YouTube Music dan Gmail.

“Karena keduanya sangat penting, Gmail itu untuk mendukung saya menyoal pekerjaan. Kalau YouTube Music wajib berlangganan agar tetap merasa waras menjalani hidup aja sih. Dan kalau pun naik juga nggak banyak, masih dibawah Rp60 ribuan mungkin untuk YouTube Music,” imbuh dia.

Meski begitu, untuk Netflix, tarif PPN 12 persen yang akan berimbas pada penaikan harga membuatnya berpikir ulang untuk berlangganan Netflix. Apalagi, langganan pada platform OTT (Over-the-Top) asal California itu tak dilakukannya secara periodik.

“Nah yang jadi pertimbangan justru Netflix, karena sejujurnya saya berlangganan hanya untuk periode tertentu misalnya kalau ada series yang ingin ditonton. Kalau sudah berlangganan sebulan, ya sudah tidak dilanjutkan lagi,” jelas perempuan asal Karawang, Jawa Barat itu.

Dihubungi terpisah, Naifa Kumala (27), sesekali mengakses layanan streaming dengan membeli akun berbagi atau sharing yang dijual oleh pelapak-pelapak di platform e-commerce. Hal ini dilakukannya untuk menghemat budget langganan platform OTT, karena drama Korea Selatan dan Cina yang ingin ditontonnya tak cuma disiarkan oleh satu platform streaming.

“Kadang itu ada drakor (drama Korea) yang ditayangin di Netflix, ada yang di Viu. Terus, kalau dracin (drama Cina), itu kadang kalau udah tayang di WeTV, nggak tayang lagi di Youku, atau IQIYI. Terus, kadang Bapak minta dibukain langganan Vidio buat nonton bola. Coba bayangin, kalau langganan semua habis berapa banyak?” ujar dia, kepada Tirto, Senin (30/12/2024).

Untuk berlangganan Netflix saja, dia harus merogoh kocek sekitar Rp65 ribu untuk Paket Basic sedangkan Vidio.com yang diaksesnya saat musim bola saja, dipatok dengan harga Rp44 ribu per bulan untuk Paket Platinum. Sementara untuk WeTV VIP dan IQIYI Premium masing-masing dihargai Rp39 ribu dan Rp39 ribu per bulan, kemudian Rp30 ribu untuk berlangganan VIU Premium.

“Kalau WeTV sama IQIYI itu udah pasti langganan, karena banyak yang mau ditonton di situ dan di dua platform itu juga sering diskon jadi setengah harga atau bahkan kurang. Nah, yang suka sharing itu Netflix. Kalau nggak sharing sama keluarga, ya beli yang di e-commerce. Soalnya jarang-jarang nonton di Netflix tuh,” tambah dia.

Dengan adanya penaikan tarif PPN, Naifa mengaku telah berencana memperbanyak pembelian akun sharing layanan platform di e-commerce favoritnya. Sebagai ibu rumah tangga yang mengurus dua balita dan pekerjaan rumah seorang diri, menonton drama Korea dan Cina adalah salah satu hiburan paling mudah yang bisa didapatkannya.

Karenanya, ia pun tak rela jika harus menyudahi langganan layanan streaming-nya. Namun, di saat yang sama, dia juga tak ingin membebani suaminya dengan lonjakan biaya layanan streaming.

“Makanya, satu-satunya jalan biar nggak edan, ya nonton dari akun sharing. Sebenarnya nggak boleh sih, tapi gimana lagi wong semua harga pada naik,” ujar perempuan yang kini menetap di Malang, Jawa Timur itu.

Ilustrasi Netflix

Ilustrasi Netflix. FOTO/iStockphoto

Sementara itu, pengenaan tarif PPN 12 persen terhadap platform OTT telah dipastikan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu). Sebab, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), platform digital termasuk OTT telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE.

Dus, setiap layanan streaming yang diakses oleh masyarakat melalui platform OTT praktis akan dikenakan PPN.

“Selama ini yang dibayar oleh masyarakat itu sudah ada pajaknya. Jadi, bukan pajak baru lah intinya. Bukan kenaikan terus tiba-tiba 12 persen. Bukan seperti itu. Kenaikannya 1 persen. Itu bukan pajak baru,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, kepada awak media, di Kantor DJP, Jakarta, Senin (23/12/2024) lalu.

Tidak hanya itu, tarif PPN 12 persen untuk platform layanan streaming juga telah tertuang dalam PMK 60/ 2022 Pasal 6 Ayat (1) poin b, yang berbunyi PMSE wajib memungut PPN dengan ketentuan sebesar 12 persen dari dasar pengenaan pajak, yang akan diberlakukan sesuai penerapan tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Artinya, mulai 1 Januari 2025, pembayaran langganan layanan digital juga akan dikenakan tarif baru sesuai dengan penaikan tarif PPN.

Berdasar hitungan Tirto, untuk layanan Netflix pada Paket Ponsel yang saat ini seharga Rp54 ribu akan menjadi Rp54.486 per bulan dan Rp65.586 dari sebelumnya Rp65 ribu untuk Paket Basic. Sedangkan untuk YouTube atau YouTube Music Premium Paket Individual yang kini dipatok di harga Rp76.590 akan naik menjadi Rp77.280 per bulan dan Rp155.680 dari sebelumnya Rp154.290 per bulan untuk Paket Family. Untuk VIU Premium yang kini seharga Rp33 ribu akan naik menjadi Rp33.296 per bulan setelah PPN 12 persen resmi berlaku.

Selaras dengan kebijakan ini, Vidio.com sebagai layanan OTT asli Indonesia mengaku akan menaikkan harga layanannya. Meski begitu, layanan streaming video milik Surya Citra Media (SCM), anak usaha Emtek Group itu tak akan terdampak penaikan tarif PPN.

“Berdasarkan data AMPD (oleh Media Partner Asia), Vidio adalah platform OTT nomor satu di Indonesia dalam hal jumlah pelanggan berbayar. Posisi ini kami raih melalui strategi konten yang unggul dan relevan dengan kebutuhan pasar di Tanah Air,” tulis Corporate Communication Head Emtek, Beverly Gunawan, dalam keterangannya, dikutip Senin (30/12/2024).

Berdasar laporan AMPD, sampai kuartal III-2024, Vidio menjadi platform streaming pertama dengan jumlah pelanggan berbayar terbanyak, yakni mencapai lebih dari 4,5 juta subscriber. Karena itu, pada tahun depan, Vidio pun akan terus melanjutkan strategi yang selama ini sudah diterapkan, yakni berfokus pada penyediaan beragam konten lokal dan meningkatkan kualitas original series serta film-film lokal.

Selain itu, Beverly juga mengatakan, Vidio akan terus menayangkan konten olahraga lokal eksklusif. “Dengan strategi ini kami optimis dapat terus mempertahankan posisi kami,” lanjutnya.

PPN 12% Ujian Baru Industri Layanan Streaming

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan meski perusahaan penyedia layanan streaming telah lama ditunjuk sebagai pemungut PPN, kenaikan tarif pajak dinilai akan membuat perusahaan kehilangan sebagian pelanggan. Pasalnya, secara hukum ekonomi, saat ada kenaikan harga barang atau jasa, konsumen akan mengevaluasi pengeluarannya terhadap konsumsi barang atau jasa tersebut.

“Ketika harga dari sebuah layanan atau produk itu meningkat secara pasti akan menurunkan permintaan. Layanan hiburan seperti OTT dan streaming, baik musik atau film, kena dampak kenaikan tarif PPN 12 persen. Layanan OTT sudah jadi pemungut PPN yang artinya PPN bisa diterapkan ke pelanggan mereka,” jelas Huda, kepada Tirto, Senin (30/12/2024).

Sementara itu, untuk menyikapi kenaikan harga layanan streaming, akan ada dua cara yang mungkin ditempuh konsumen. Pertama, dengan mengevaluasi layanan mana yang paling dibutuhkan dan menghentikan layanan yang kurang dibutuhkan atau dimintai. Atau kedua, dengan beralih ke layanan premium ilegal atau sharing akun yang banyak dijual di platform-platform e-commerce dan media sosial.

“Layanan ini banyak dijumpai di media sosial ataupun e-commerce. Nah, ini yang berbahaya,” imbuh dia.

Bagaimana tidak, sebagai pemungut PPN PMSE, pajak yang didapat dari langganan platform streaming diharapkan bisa mengerek pendapatan perpajakan. Namun, jika yang terjadi adalah semakin banyak masyarakat beralih ke layanan streaming premium ilegal atau sharing akun, harapan tambahan pendapatan negara oleh pemerintah jelas bakal pupus.

“Karena PPN yang diharapkan naik dari layanan ini justru berkurang karena praktik seperti ini akan semakin marak,” ujar Huda.

Sebagai informasi, per 30 November 2024, PPN PMSE yang dihimpun oleh 171 pelaku usaha PMSE mencapai Rp24,49 triliun. Jumlah tersebut berasal dari Rp731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp5,51 triliun setoran tahun 2022, Rp6,76 triliun setoran tahun 2023, dan Rp7,58 triliun setoran tahun 2024.

Baik dari sisi pelaku usaha maupun nilai pajak yang dihimpun, PPN PMSE November lebih tinggi dari realisasi per 30 September 2024, yakni sebesar Rp23,04 triliun oleh 168 pelaku usaha PMSE. Jumlah tersebut berasal dari Rp731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp5,51 triliun setoran tahun 2022, Rp6,76 triliun setoran tahun 2023, dan Rp6,14 triliun setoran tahun 2024.

“(Setoran PPN PMSE) bisa berkurang jika elastis harga terhadap permintaan. Dan saya rasa elastis, karena subtitusinya tersedia (layanan streaming premium ilegal dan sharing akun),” tambah Huda.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Information and Communication Technology Institute, Heru Sutadi, menilai tarif PPN sebenarnya tak tepat diterapkan untuk layanan streaming. Apalagi, narasi yang digaungkan pemerintah, PPN dikhususkan untuk barang mewah dan layanan streaming seperti Netflix, Spotify, VIU dan lainnya kini bukan lagi menjadi barang mewah.

“Biaya berlangganannya saja nggak sampai jutaan rupiah per tahun. Sehingga memang perlu dipertimbangkan kembali kalau dikenakan pajak 12 persen, apalagi misalnya nanti internet kena juga 12 persen,” katanya, kepada Tirto, Senin (30/12/2024).

Alih-alih melalui PPN PMSE, pemerintah seharusnya dapat mendesak perusahaan platform OTT untuk mendirikan badan usaha resmi di Tanah Air. Sehingga, pajak yang dapat ditarik pemerintah dari perusahaan-perusahaan layanan streaming tersebut bisa lebih besar. Bukannya justru membebani masyarakat seperti saat ini.

“Selain itu, kalau ada badan usahanya, perusahaan platform OTT ini juga bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak. Jadi, pemerintah harus memaksa OTT-OTT itu memiliki badan usaha tetap di Indonesia biar bisa dikenakan pajak,” tegas Heru.

Baca juga artikel terkait PPN 12 PERSEN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang