tirto.id - Beberapa hari terakhir, media sosial X (dulu Twitter) ramai membahas tarif PPN 12 persen yang tetap berlaku untuk pembelian air mineral dan kebutuhan harian lainnya di beberapa toko ritel modern. Perdebatan ini bermula dari cuitan akun @MurtadhaOne1 yang mempertanyakan apakah air mineral termasuk kategori barang mewah, sehingga dikenai PPN 12 persen.
“Air mineral barang mewah?” tulisnya, seraya menyertakan foto struk belanja dari salah satu toko ritel.
Pada struk yang telah dikomentari lebih dari 2 ribu kali dan disukai oleh 89 ribu warganet per 6 Januari 2025 itu, terlihat bahwa harga dua botol air mineral berukuran 330 ml dihargai Rp16.000. Selain itu, terdapat PPN 12 persen senilai Rp1.920, sehingga total yang harus dibayar menjadi Rp17.900 setelah pembulatan.
“Kayaknya hampir semua minimarket udah menerapkan PPN 12 persen,” lanjutnya saat dikonfirmasi oleh Tirto, Minggu (5/1/2025).
Menanggapi cuitan tersebut, akun @hzxshel mengaku tidak tahu apakah tarif PPN untuk barang non-mewah sekarang adalah 11 atau 12 persen. Namun, ia mencatat bahwa harga risoles yang biasa dibelinya di Indomaret naik dari Rp10.000 menjadi Rp13.000 per buah.
“Iya nih, beberapa hari lalu beli risol di Indomaret, dari 10 ribu tiba-tiba naik 13 ribu,” komentarnya.
Menurut @MurtadhaOne1, penerapan tarif PPN 12 persen pada pembelian air mineral tidaklah tepat. Ia juga meragukan kemampuan pemerintah dalam memastikan pengembalian kelebihan PPN kepada konsumen.
“Akhirnya rakyat sama rakyat (penjual) diadu,” tulisnya.
Doddy Wahyudi, 37 tahun, yang sehari-hari bekerja sebagai ojek daring di Jakarta, juga berpendapat serupa. Ia menilai, akan sangat sulit dan rumit bagi masyarakat untuk meminta pengembalian kelebihan PPN kepada toko ritel. Apalagi, konsumen seringkali membuang struk belanja begitu keluar dari toko.
“Saya juga bingung ini konsepnya gimana. Jadi kalau harus ke Alfamart atau Indomaret lagi buat nunjukin struk biar dapet pengembalian, ya udah lah. Mending nggak usah. Ikhlasin aja lah, biar dimakan pemerintah (kelebihan PPN 12 persen),” katanya kepada Tirto, Senin (6/1/2025).
Sekitar enam jam sebelum pergantian tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto resmi menetapkan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang mewah. Untuk barang non-mewah, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024, tarif PPN dihitung dengan rumus khusus, untuk menghitung tarif PPN agar tak mengalami kenaikan. Rumus tersebut adalah dengan memberikan nilai lain 11/12 sebagai pengali 12 persen, dikali harga jual, nilai impor, atau penggantian.
Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Siddhi Widyaprathama, menyebut bahwa penerapan PPN 12 persen pada barang nonmewah seperti air mineral disebabkan oleh sistem administrasi perpajakan di perusahaan yang belum diperbarui. Apalagi, rentang waktu antara pengumuman tarif PPN dengan implementasi kebijakan tersebut hanya berjarak kurang dari satu hari.
“Kalau ada yang masih menerapkan tarif PPN 12 persen untuk barang nonmewah, mungkin ini lebih ke sistem yang belum ter-adjust, atau perusahaan yang menjual barang yang dikategorikan barang mewah ya. Mungkin demikian,” jelasnya kepada Tirto, Senin (6/1/2025).
Sementara untuk menyesuaikan sistem dengan rumus penghitungan PPN anyar, yakni 11/12 x 12 persen x harga jual barang kena pajak (BKP), membutuhkan waktu cukup lama. Namun, menurut Siddhi, perusahaan-perusahaan yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah untuk memungut PPN, mampu menyesuaikan sistem sesuai dengan tenggat yang diberikan, yakni selama masa transisi 3 bulan.
“Rasanya cukup karena sebetulnya rencana kenaikan ini sudah cukup panjang diskusinya, walaupun diputuskannya memang baru di hari terakhir. Itu perlu waktu (untuk penyesuaian sistem) tapi 3 bulan cukup seharusnya,” imbuhnya.
Sementara untuk pengembalian kelebihan PPN kepada konsumen, ia menyatakan, hal ini memang sudah seharusnya dilakukan. Meski ia akui, proses pengembalian kelebihan PPN tersebut akan memakan waktu dan proses administratif tambahan.
Deputi Direktur Center for Indonesia Taxation (CITA), Ruben Hutabarat, menilai bahwa penerapan tarif PPN 12 persen pada barang non-mewah di banyak toko ritel bukan merupakan kesalahan. Sebaliknya, banyak perusahaan langsung menyesuaikan tarif setelah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengumumkan kenaikan tarif PPN untuk semua barang dan jasa, kecuali minyak goreng Minyakita, gula industri, dan tepung terigu, pada 16 Desember lalu.
Kala itu, Airlangga, yang didampingi beberapa menteri yang membidangi bidang keekonomian, mengumumkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen berlaku untuk semua barang, tak hanya untuk barang mewah seperti yang disebutkan oleh Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, sebelumnya.
“Ketika terjadi pergeseran rencana itu, pengusaha bereaksi lagi, nih. Wah berbeda, nih. Saya nggak mau, saya konservatif. Saya ubah aja nih sekarang (tarif PPN). Karena setelah konferensi pers itu, kan, ditindaklanjuti dengan siaran pers dari DJP, yang makin memperkuat rencana itu,” jelas Ruben, saat dihubungi Tirto, Senin (6/1/2025).
Kini, saat PPN 12 persen ditetapkan hanya untuk barang mewah, pengusaha pun tak bisa hanya dalam waktu semalam menyesuaikan kembali sistem. Apalagi, dalam kebijakan tarif PPN 2025, pemerintah menambahkan nilai lain dalam penghitungannya sehingga tak menyalahi Undang-Undang 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Selain sistem, rumus penghitungan ini juga dinilai membingungkan bagi rakyat. Tak heran, jika meskipun pemerintah memastikan tak ada kenaikan pada barang dan jasa nonmewah, masyarakat masih memahami hal yang sebaliknya.
“Jadi, ketika keputusan akhir itu dibuat 6 jam sebelum berubah tahun, mereka (perusahaan) nggak cukup waktu itu ubah IT-nya. Jadi yang saya lihat itu lebih karena kesulitan atau sedikitnya waktu bagi perusahaan-perusahaan retailer itu,” tambah Ruben.
Meski begitu,
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut bahwa proses restitusi PPN sulit dilakukan, terutama bagi perusahaan ritel."Selama ini ,proses restitusi juga sangat rumit. Secara teknis membingungkan lah, intinya. Mungkin ini (aturan tarif PPN 12 persen untuk barang mewah) keluarnya terlalu terburu-buru. Kan di injury time begitu banyak retailer dengan ribuan jenis produk melakukan penyesuaian sudah dengan tarif PPN 12 persen,” ujar Bhima kepada Tirto, Senin (6/1/2025).
Soal restitusi, Bhima meminta Direktorat Jenderal Pajak (DJP), melalui kantor-kantor wilayah (Kanwil), untuk memberikan sosialisasi terkait skema pengembalian kelebihan PPN kepada pelaku usaha dan masyarakat. Sehingga, kesalahan persepsi, yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi konsumen, tidak akan terjadi.
“Karena kan PPN salah satunya dibayar oleh konsumen. Itu yang membuat harga-harga barang jadinya lebih tinggi di pasaran,” sambungnya.
Karenanya, untuk mengurangi kebingungan di masyarakat soal tarif PPN 12 persen, Bhima mendorong agar pemerintah dapat merevisi UU HPP atau membuat Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu), yang dapat menjadi dasar hukum pembatalan penaikan tarif PPN untuk barang dan jasa nonmewah.
Terpisah, menurut Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, rumus perhitungan di PMK 131/2024, terutama konsep "nilai lain", membingungkan pelaku usaha dan masyarakat. Tidak hanya itu, dengan adanya rumus ini, perhitungan PPN 2025 memiliki dua tarif. Padahal, menurut UU HPP, tidak ada kebijakan multitarif PPN.
Pada saat yang sama, nihilnya waktu bagi dunia usaha untuk melakukan persiapan dalam implementasi kebijakan ini juga pada akhirnya menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Apalagi, ketika sistem perusahaan tidak bisa secara langsung mengartikan tarif PPN untuk barang dan jasa nonmewah tak naik.
“Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan mekanisme pada SPT (Surat Pemberitahuan) Masa PPN, tetap membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya,” tambah Misbakhun, kata dia, dalam keterangan yang diterima Tirto, Senin (6/1/2025).
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, mengatakan, kelebihan PPN yang ditanggung konsumen tak bisa dihindari. Apalagi, jarak antara pengumuman kebijakan tarif PPN 12 persen dengan waktu pelaksanaannya sangat dekat.
“Mengenai restitusi yang sudah terlanjur dipungut kan karena nggak bisa dihindari, pada tanggal 31 (Desember 2024) kemarin policy kebijakan disampaikan, tanggal 1 (Januari 2025) sudah ada yang bertransaksi,” kata dia dalam Konferensi Pers APBN 2024, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2025).
Terkait hal ini, Suryo mengaku telah mengumpul para pengusaha yang tergabung dalam Apindo dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia beberapa hari lalu. Pada pertemuan itu, dia memberikan waktu transisi selama 3 bulan agar para pengusaha dapat menyesuaikan sistem administrasi mereka.
Selain itu, dia juga memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha untuk tidak menerapkan sanksi bila terjadi keterlambatan atau kesalahan penerbitan faktur pajak. Kemudian, bagi para pelaku usaha yang sudah terlanjur memungut PPN 12 persen kepada konsumen, DJP memerintahkannya untuk mengembalikan sisa lebih PPN tersebut kepada konsumen.
“Kami bersepakat dan beberapa hari lalu para pelaku juga sudah menyampaikan restitusi dilakukan oleh penjual yang memungut lebih PPN kepada konsumen. Caranya seperti apa? Ini kan B-to-C, business to consumer, jadi mereka (konsumen) kembali dengan menyampaikan struk yang sudah dibawa selama ini,” jelas Suryo.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty