tirto.id - Pemerintah bakal menerapkan kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025. Ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menyatakan bahwa tarif PPN 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
“Sesuai dengan amanat UU HPP dengan jadwal yang ditentukan tarif PPN tahun depan akan naik 12 persen per 1 Januari,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam Konferensi Pers Paket Insentif di Bidang Ekonomi di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).
Alih-alih seperti yang diisukan sebelumnya, yaitu PPN 12 persen hanya untuk barang mewah, pemerintah menerapkan secara merata penaikan tarif PPN kepada seluruh barang dan jasa. Salah satunya adalah layanan Over-the-Top (OTT) atau layanan streaming yang menayangkan konten di internet, seperti film, serial TV, dan program orisinil serta layanan streaming musik seperti Netflix dan Spotify.
“Jadi jasanya Netflix, iya kena. (Spotify) iya sama,” kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, saat ditemui awak media usai konferensi pers.
Selain menerapkan single tarif alias satu tarif PPN, pemerintah juga menerapkan tarif PPN 12 persen untuk barang-barang mewah atau premium. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan, barang dan jasa premium adalah yang digunakan oleh masyarakat menengah ke atas atau termasuk kategori desil 9-10.
“Untuk barang yang memang dikategorikan sebagai mewah atau premium, dan dikonsumsi terutama untuk kelompok yang paling mampu, akan dikenakan PPN 12 persen,” ujar dia dalam kesempatan yang sama.
Adapun kelompok barang mewah yang bakal dikenakan PPN 12 persen antara lain: 1. Beras premium, 2. Buah-buahan premium, 3. Daging premium (daging wagyu, daging kobe), 4. Ikan mahal (salmon premium, tuna premium), 5. Udang dan crustacea premium (king crab), 6. Jasa pendidikan premium, 7. Jasa pelayanan kesehatan medis premium, serta 8. Listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA.
“Upamanya seperti daging sapi, tapi yang premium wagyu, kobe yang harganya bisa di atas Rp2,5 (juta) bahkan Rp3 juta per kilonya. Sementara daging yang dinikmati masyarakat secara umum berkisar antara Rp150 (ribu) sampai Rp200 ribu per kilo dia tidak dikenakan PPN,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, “Jasa pendidikan yang premium yang dalam hal ini pembayaran uang sekolahnya bisa mencapai ratusan juta, kesehatan yang premium dan PPN untuk pelanggan listrik 3.500 hingga 6.600 VA dikenakan PPN.”
Sementara itu, pengenaan tarif PPN 12 persen untuk barang-barang mewah ini merupakan usulan dari berbagai pihak, salah satunya DPR RI. Dengan kebijakan ini, diharapkan ada azas gotong-royong dan menjaga agar keadilan tetap terjaga di seluruh lapisan masyarakat.
Apalagi, kata Sri Mulyani, selama ini masyarakat golongan terkaya menikmati pembebasan PPN paling besar. Rinciannya, kelompok desil 10 menikmati pembebasan PPN sebesar Rp91,9 triliun dan desil 9 telah mendapatkan pembebasan pajak hingga Rp41,1 triliun. Sementara untuk desil 1, 2 dan 3 masing-masing menikmati insentif PPN sebesar Rp7,0 triliun, Rp9,6 triliun dan Rp11,7 triliun. Kemudian, untuk desil ke-4, 5 dan 6 masing-masing menikmati pembebasan PPN senilai Rp14,1 triliun, Rp16,5 triliun dan Rp19,9 triliun. Selanjutnya, desil ke 7 menikmati insentif PPN sebesar Rp24,1 triliun dan desil 8 menikmati insentif pajak senilai Rp29,8 triliun.
“Kita lihat baru kemudian kelompok yang paling rendah sebetulnya menikmati pembebasan PPN-nya menjadi lebih kecil. Ini artinya pembebasan PPN kita kemudian lebih berpihak kepada kelompok yang lebih mampu. Oleh karena itu kita juga perlu untuk sedikit memperbaiki agar dalam hal ini azas gotong royong dan keadilan tetap terjaga,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah Siapkan Insentif
Oleh karenanya, dalam penerapan tarif PPN 12 persen, pemerintah memberikan beberapa insentif kepada masyarakat. Salah satunya adalah melalui PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1 persen, untuk komoditas tepung terigu, minyak goreng jenis Minyakita dan gula industri. PPN untuk ketiga jenis komoditas bahan pangan pokok ini masih dikenakan tarif pajak sebesar 11 persen.
Selain itu, pemerintah juga akan menanggung pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi para pekerja di sektor industri padat karya dengan gaji berkisar Rp4,8 hingga Rp10 juta per bulan. Kemudian, pemerintah juga menanggung 10 persen pajak pembelian mobil listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) secara completely knocked down (CKD) -mobil yang diimpor dalam komponen lengkap namun belum dirakit. Sehingga memungkinkan konsumen hanya membayar pajak sebesar 1 persen atas pembelian kendaraan listrik jenis ini.
Selanjutnya, pemerintah juga akan menanggung 15 persen PPN atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan listrik impor completely built up (CBU) -impor kendaraan utuh dan CKD dan menanggung 3 persen PPnBM kendaraan bermotor hybrid.
Selain kendaraan listrik, pemerintah juga menanggung pajak pembelian rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar atas Rp2 miliar pertama dengan skema diskon 100 persen untuk Januari-Juni 2025. Kemudian, di paruh kedua tahun depan, diskon pajak akan diturunkan menjadi 50 persen untuk pembelian rumah jenis ini.
“Pemberian insentif ini sudah jelas berpihak kepada kepentingan masyarakat kecil. Sebelum ini, sebetulnya kami dari Kementerian PKP (Perumahan dan Kawasan Permukiman) sudah mau memperjuangkan ha lini. Tapi, Bapak Presiden (Prabowo), Pak Menko Perekonomian (Airlangga) dan Ibu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) sudah memahami betul bagaimana kebijakan yang berpihak pada rakyat,” kata Menteri PKP, Maruarar Sirait alias Ara, Senin (16/12/2024).
Sementara itu, kata Airlangga, PPN DTP 1 persen atas barang-barang pokok diberikan kepada masyarakat untuk menjaga daya beli. Sehingga, industri pengolahan atau manufaktur, khususnya sektor makanan dan minuman (mamin) yang merupakan salah satu industri penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar dapat terus bertumbuh.
Untuk mengerek kinerja industri dan juga daya beli, pemerintah bahkan telah mengecualikan bahan-bahan pokok dan barang-barang penting (bapokting) dari tarif PPN. Adapun barang-barang yang masuk dalam kategori ini antara lain, beras, daging ayam ras, daging sapi, ikan bandeng/ikan bolu, ikan cakalang/ikan sisik, ikan kembung/ikan kembung/ikan banyar/ikan gembolo/ikan aso-aso, ikan tongkol/ikan ambu-ambu, ikan tuna, telur ayam ras, cabai hijau, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan gula pasir.
“Jadi, barang yang seperti kebutuhan pokok, beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, gula konsumsi, jasa pendidikan, kesehatan, anggota umum, tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, dan pemakaian air,” ujar Airlangga.
Di sisi lain, untuk rumah tangga atau masyarakat berpendapatan rendah (MBR), pemerintah akan memberikan bantuan pangan berupa 10 kilogram beras bagi 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP) selama periode Januari-Februari 2025. Selain itu, ada dua insentif kelistrikan yang bakal diberikan pemerintah mulai tahun baru nanti.
Pertama, diskon tarif listrik 50 persen untuk pelanggan dengan daya 2200 VA atau lebih rendah selama dua bulan pertama di 2025. Adapun nilai diskon yang diberikan kepada 81,4 juta rumah atau sekitar 97 persen dari keseluruhan jumlah pelanggan PT PLN (Persero) ini mencapai Rp12,1 triliun. Kedua, pemerintah juga tidak akan mengenakan tarif PPN 12 persen kepada pelanggan dengan daya listrik di bawah 6.600 VA.
“Untuk barang yang sangat strategis seperti listrik dan air, PPN-nya dibebaskan untuk listrik. Kecuali untuk rumah yang dayanya di atas 6600 VA. Sedangkan air bersih juga tidak membayar PPN Rp2 triliun. Untuk listrik tadi yang dibawah 6600 (VA), PPN yang dibebaskan nilainya mencapai Rp12,1 triliun,” kata Sri Mulyani.
Untuk pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan berkomitmen untuk memperbaiki kemudahan akses Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Namun, sebelum gelombang PHK, khususnya di sektor padat karya terjadi dan semakin besar dari saat ini, pemerintah telah memberikan subsidi bunga 5 persen untuk revitalisasi mesin yang berfungsi dalam peningkatan produktivitas industri padat karya. Pun, bantuan 50 persen untuk jaminan kecelakaan kerja di di sektor ini juga bakal diberikan selama 6 bulan.
Pada saat yang sama, untuk menjaga kinerja dan daya saing sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), perpanjangan masa berlaku PPh Final sebesar 0,5 persen dari omzet sampai dengan 2025 juga diberikan. Kemudian, bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun sepenuhnya akan dibebaskan dari pungutan PPh Final.
“Seluruh kebijakan ini akan ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Keuangan, kemudian Peraturan Pemerintah, dan juga ada Peraturan Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) terkait dengan kelistrikan, dan PP itu terkait dengan BP Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan), dan juga ada perpanjangan mengenai perpajakan,” jelas Airlangga Hartarto.
Sementara itu, selain untuk memenuhi amanat UU HPP, kebijakan tarif PPN 12 persen ini juga diterapkan untuk mendongkrak pendapatan negara melalui setoran pajak. Menurut Airlangga, mendongkrak pendapatan negara penting dilakukan untuk mendukung Program Asta Cita yang telah dicanangkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
“Baik untuk kedaulatan dan resiliensi di bidang pangan dan kedaulatan energi. Di samping itu, penting juga untuk berbagai program infrastruktur, pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan juga program terkait dengan Makan Bergizi Gratis (MBG),” kata dia.
PPN 12 Persen Tak Hanya untuk Barang Mewah
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengatakan, narasi PPN 12 persen hanya untuk barang mewah yang sebelumnya disampaikan Prabowo di Istana Negara merupakan pembohongan publik yang dilakukan pemerintah. Sebab, meski memang ada barang-barang premium yang dikenakan tarif 12 persen, tapi pada dasarnya tarif anyar PPN ini memukul seluruh barang dan jasa.
Sedangkan bapokting hingga angkutan umum, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tidak Dipungut Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean menjadi barang yang dikecualikan dari PPN.
“Menurut PP tersebut, barang-barang yang tidak terbebani PPN terbagi menjadi dua jenis: (1) Barang Kena Pajak (BKP) tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN; dan (2) BKP tertentu yang Tidak Dipungut PPN/PPN dan PPnBM,” kata Andri, kepada Tirto, Selasa (17/12/2024).
Adapun, yang termasuk dalam BKP tertentu bebas PPN antara lain, vaksin polio, vaksin COVID-19, buku pelajaran, kitab suci, jasa konstruksi untuk keperluan ibadah, hingga produk-produk yang berhubungan dengan bencana nasional. Sedangkan yang termasuk BKP tertentu yang Tidak Dipungut PPN/PPN dan PPnBM antara lain adalah sembako (kecuali minyak goreng), barang hasil kelautan dan perikanan, mesin dan peralatan pabrik, hewan ternak, bibit dan pakan, rumah susun milik, perak butiran dan batangan, listrik di bawah 6.600 VA, air bersih, barang hasil pertambangan, hingga gula konsumsi.
“Berbagai barang tersebut memang sudah dari dulu tidak dibebani PPN bahkan sebelum PP Nomor 49 Tahun 2022 diterbitkan. Barang-barang yang dibebaskan PPN sudah diatur setidaknya sejak PP 146 tahun 2000,” imbuh Andri.
Kali ini, kata dia, pemerintah malah menambah panjang daftar barang dan jasa kena PPN melalui pengenaan tarif PPN 12 persen kepada barang-barang premium.
Namun justru dengan kebijakan baru ini, sebagian barang-barang tersebut yang tadinya tidak dibebani PPN, kini langsung terkena tarif 12 persen. Sebagai contoh, beras premium, ikan salmon, listrik di atas 3.500 VA, rumah sakit VIP, jasa pendidikan, dan lain-lain yang dianggap premium tadinya memiliki tarif PPN 0 persen.
“Produk-produk tersebut sebelumnya satu kategori dengan BKP tertentu yang tidak dibebani PPN, namun sekarang hanya yang digolongkan ‘non-premium’ yang bebas PPN. Jadi inilah yang digembar-gemborkan sebagai ‘PPN hanya untuk barang mewah’ tersebut. Padahal seluruh barang dalam kategori tersebut memang babas PPN dari dulu,” kata Andri.
Andri juga menyangsikan narasi yang disebutkan oleh Airlangga mengenai paket stimulus untuk MBR. Padahal, kenyataannya pemerintah hanya menanggung PPN atas tiga barang: Minyakita, tepung terigu, dan gula industri. Selain itu, pemerintah tidak menjelaskan akan sampai kapan menanggung pajak dari ketiga barang ini.
“Ini pun bukan tarifnya tidak dinaikkan, tapi kenaikan pajak tersebut ditanggung oleh negara atau dengan kata lain DTP (Ditanggung Pemerintah). Jadi tarif PPN-nya tetap 12 persen, namun pemerintah membayarkan 1 persen. Kita tidak tahu sampai kapan negara akan terus menanggung PPN untuk ketiga produk tersebut,” kata Andri.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz