Menuju konten utama

Seks Pranikah & Ancaman Penyakit Kelamin di Usia Muda Kian Nyata

Terjadi pergeseran norma dan nilai seksualitas di masyarakat yang menyebabkan makin banyaknya kasus penyakit kelamin di usia muda.

Seks Pranikah & Ancaman Penyakit Kelamin di Usia Muda Kian Nyata
Ilustrasi Seks di luar Nikah. foto/istockphoto

tirto.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat pada periode Januari-September 2024 terdapat 6.885 kasus kencing nanah atau gonore yang menjangkiti kalangan anak, remaja dan dewasa muda. Sementara kasus sifilis dini dan sifilis lanjut tercatat lebih banyak, yakni mencapai 8.984 kasus dan 4.300 kasus.

Jika dikategorikan berdasar usia pasien, 1.661 kasus gonore diidap oleh remaja berusia 15-19 tahun, 4.812 kasus diidap oleh pemuda berusia 20-24 tahun. Sedang untuk sifilis, jumlah pasien dengan rentang usia 15-19 tahun ada sebanyak 1.482 orang dan 4.780 pasien merupakan pemuda berusia 20-24 tahun.

Meski begitu, yang lebih mengejutkan adalah adanya pasien pengidap sifilis yang berusia kurang dari 15 tahun, yaitu sebanyak 216 anak.

“Kami mengumpulkan data rutin untuk kasus-kasusnya. Untuk penyebabnya perlu ditelaah lebih lanjut,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, Ina Agustina Isturini, kepada Tirto, Kamis (12/12/2024).

Namun, menurut Ina, hubungan seksual pranikah atau bahkan seks bebas (free sex) adalah salah satu musabab maraknya infeksi menular seksual (IMS) di kalangan anak-anak, remaja dan dewasa muda.

“Beberapa penelitian terkait hal ini juga ada,” jelas Ina.

Dipicu Seks Pranikah

Salah satu penelitian yang dinukilnya adalah jurnal dari International Journal of STD & AIDS berjudul “The prevalence of sexually transmitted infections and their association with knowledge, attitudes, and practice in male street children in Indonesia” atau Prevalensi Infeksi Menular Seksual dan Hubungannya dengan Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Pada Anak Jalanan Laki-Laki di Indonesia.

Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa dari 259 anak laki-laki marginal dari Jakarta dan Banten, seorang anak marginal dari Banten positif mengidap human immunodeficiency virus (HIV), satu orang terdeteksi koinfeksi HIV dan klamidia, satu hepatitis C reaktif, satu sifilis reaktif, satu klamidia reaktif, dan dua orang hepatitis B reaktif.

Sementara, dari Jakarta 10 sampel anak terdeteksi reaktif hepatitis B, terinfeksi klamidia dan gonore.

Sementara itu, menurut mantan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, maraknya IMS di kalangan anak-anak, remaja dan dewasa didorong oleh usia aktivitas seksual yang semakin muda. Dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017: Kesehatan Reproduksi Remaja yang dilakukan oleh BKKBN, Badan Pusat Statistik (BPS), Kemenkes, dan USAID.

Pada laporan tersebut, 59 persen wanita dan 74 persen pria mengaku mulai melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya pada umur 15-19 tahun. Kemudian, persentase paling tinggi terjadi pada umur 17 tahun (19 persen), baik pria maupun wanita.

“Jadi, pergaulan bebas, kemudian emotional sex-nya maju, itu membuat banyak orang sudah melakukan hubungan seks pada usia 15-19 tahun. Mayoritas, baik laki-laki maupun perempuan itu melakukan seks pertama ya antara 15-19 tahun itu,” kata Hasto, saat dihubungi Tirto, Rabu (11/12/2024).

Soal pergaulan bebas, gaya pacaran dan pengalaman seksual pranikah juga telah dirangkum dalam SDKI 2017. Saat pertama kali berpacaran di usia 15-17 tahun, baik pria maupun wanita mayoritas mengaku hanya berpegangan tangan (64 persen wanita dan 75 persen pria), berpelukan (17 persen wanita dan 33 persen pria), cium bibir (30 persen wanita dan 50 persen pria) dan meraba/diraba (5 persen wanita dan 22 persen pria).

Sementara terkait pengalaman seksual sebelum menikah, 8 persen pria dan 2 persen wanita mengaku telah melakukan hubungan seksual, dengan alasan antara lain: 47 persen saling mencintai, 30 persen penasaran/ingin tahu, 16 persen terjadi begitu saja, masing-masing 3 persen karena dipaksa dan terpengaruh teman.

“Sekarang ini kan usia nikahnya mundur, tapi hubungan seksnya maju. Jadi, orang itu cenderung sudah melakukan hubungan seks di bawah 20 tahun, tapi nikahnya di atas 20 tahun. Ini semakin banyak orang yang pernah melakukan kontak seksual sebelum menikah,” jelas Hasto.

Ilustrasi Seks di luar Nikah

Ilustrasi Seks di luar Nikah. foto/istockphoto

Sebagai catatan, berdasar data BKKBN, rata-rata usia perkawinan pertama pada 2023 ada di kisaran 22,3 tahun, lebih tinggi dari rata-rata usia perkawinan pada 2014 yang masih di kisaran 20 tahun. Sebagai informasi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, pemerintah mendefinisikan pemuda sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) berusia 16-30 tahun.

Fenomena ini jauh berbeda dari yang terjadi di pertengahan tahun 1990-an, dimana pada saat itu rata-rata usia kawin pertama di rentang 16-18 tahun dan melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya setelah menikah.

“Misalkan tahun-tahun 97, 94, itu median usia kawin pertamanya di 16-18 tahun. Itu kalau kita tanya ke masyarakat secara umum, perempuan, laki-laki, remaja atau yang di atas 25 tahun, itu kapan hubungan seks pertama kali? Sebagian besar menjawabnya masih (di usia) 20 tahun, 21 tahun,” terang Hasto.

Makin Majunya Usia Pubertas

Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet, menilai, usia anak-anak menuju pubertas yang juga semakin maju adalah salah satu sebab keinginan anak untuk menjajal aktivitas seksual timbul semakin cepat. Adapun masa puber seseorang datang lebih cepat didorong oleh revolusi makanan yang kemudian mengubah kematangan psikologis dan juga hormonal anak.

“Revolusi makanan mengubah [...] istilahnya itu mengubah struktur hormon yang mempercepat kematangan hormon seksual. Dulu tidak ada makanan yg mengandung protein dan hormon tinggi, kayak makanan cepat saji. Nah revolusi makanan itu mendorong kematangan hormon remaja,” ujar Robet, kepada Tirto, Rabu (11/12/2024).

Pada saat yang sama, kemajuan teknologi serta akses terhadap gawai maupun internet juga membuat anak-anak rentan terpapar oleh konten-konten negatif seperti pornografi dan judi online.

Hal ini terbukti dari data Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) -kini Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), dalam empat tahun terakhir konten pornografi, termasuk bermuatan anak-anak, di jagat maya telah menembus 5 juta konten.

“Ini yang kemudian membuat maturitas seseorang itu maju. Kalau zaman nenek moyang kita dulu itu menstruasi umur 16-17 tahun, sekarang ini umur 12,5 tahun sudah menstruasi rata-rata. Untuk anak laki-laki sudah tumbuh bulu kaki dan sebagainya,” kata Robet.

Di sisi lain, terjadi pula pergeseran nilai tentang aktivitas seksual di masyarakat. Kini, desakralisasi seks dan keintiman personal bisa dengan mudah didapatkan tanpa adanya ikatan suci pernikahan. Tak seperti dulu, dimana hubungan seksual menjadi semacam ritual sakral bagi para pengantin baru.

“Hubungan seksual yang dulu merupakan jembatan untuk masuk ke ikatan pernikahan, sekarang menjadi lebih ke mengejar kepuasan atau rasa penasaran,” tutur Robet.

Perlu Atensi Khusus Pemerintah soal Seks Pranikah

Sementara itu, menurut Sosiolog dari FISIP Universitas Indonesia, Ida Ruwaida, hubungan seksual sebelum pernikahan sebetulnya sudah menjadi perhatian pemerintah, akademisi dan berbagai kalangan lainnya sejak awal tahun 1990-an.

Sebab, aktivitas seksual yang dilakukan sebelum menikah atau di usia sangat belia, akan berdampak terhadap kesehatan reproduksi.

“Temuan berbagai riset di masa itu, sudah menunjukkan adanya sikap dan perilaku permisif dalam berpacaran. Artinya, terjadi pergeseran norma dan nilai dalam berpacaran,” jelas Ida, kepada Tirto, Rabu (11/12/2024).

Dalam SDKI 2017 juga merangkum bahwa 92 persen wanita dan 86 persen pria pernah mendengar tentang HIV AIDS, naik dibandingkan SDKI 2012 yang mana wanita dan pria masing-masing sebesar 89 persen dan 85 persen. Sementara mayoritas responden mengaku mengetahui informasi tentang HIV AIDS dari sekolah, guru, TV dan internet.

Kendati, masih banyak mispersepsi yang berkembang terkait pemahaman HIV AIDS. Beberapa di antaranya adalah soal orang yang terinfeksi HIV selalu tampak tidak sehat, HIV dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk, HIV ditularkan melalui sihir, dan HIV dapat ditularkan melalui makanan.

Sedangkan untuk pengetahuan tentang IMS lainnya, 68 persen wanita dan 86 persen pria mengetahui sipilis/raja singa; 34 persen wanita dan 33 persen pria mengetahui kencing nanah (gonore); serta 21 persen wanita dan 12 persen pria mengetahui herpes genital (genital herpes). Sebaliknya, pengetahuan mengenai jenis IMS lainnya seperti kondiloma akuminata/jengger ayam (condyloma), luka nyeri (chancroid), bengkak pada skrotum (chlamydia), dan kandidiasis/keputihan karena jamur (candida) masih tergolong rendah (masing-masing di bawah 5 persen pada wanita dan pria).

“Riset-riset kami pun memperkuat temuan-temuan yang ada, termasuk menunjukkan rendahnya pengetahuan remaja tentang risiko-risiko kespro (kesehatan reproduksi) dan seksual atas perilaku seksualnya,” imbuh Ida.

Namun, dibanding berbagai penyakit seksual tersebut, remaja khususnya perempuan sebenarnya lebih takut dengan risiko kehamilan usai melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bagaimana tidak, saat anak atau remaja perempuan hamil di luar nikah, mereka akan menjadi pihak yang paling besar dalam menghadapi sanksi sosial dari masyarakat.

“Misalnya, dikeluarkan dari sekolah,” ujar dia.

Soal sebab, menurut Ida, selain semakin mudahnya akses konten pornografi di berbagai lini media, pengaruh teman sebaya juga membuat anak dan remaja lebih rentan terjerumus dalam pergaulan bebas. Namun, yang lebih tak boleh ditampikkan juga adalah pengaruh dari kelompok orang dewasa yang memanfaatkan baik anak-anak perempuan maupun laki-laki untuk memenuhi hasrat seksual mereka.

Dengan iming-iming uang atau barang-barang mewah, tak sedikit orang dewasa jahat yang merayu anak-anak untuk melakukan hubungan seksual atau bahkan memperdagangkan dan melacurkan mereka. Bahkan, tak jarang orang-orang dewasa tersebut merupakan bagian dari keluarga anak sendiri.

Hal ini pun sesuai dengan data Pusat Informasi Kriminal Polri, di mana 17,13 persen dari total 1.410 korban ponografi, pornoaksi dan eksploitasi seksual berusia di bawah 17 tahun. Data lain juga menunjukkan, Indonesia berada pada peringkat keempat di dunia dan kedua di ASEAN sebagai negara dengan kasus pornografi anak terbanyak.

“Kasus di salah satu SMP di Jakarta, beberapa tahun lalu, guru mencurigai siswinya yang punya HP mahal, padahal diketahui keluarganya kurang mampu. Ternyata sekitar 21 anak di sekolah tersebut jadi korban perdagangan orang, mereka dipekerjakan atau dilacurkan. Saya sampaikan ini, agar kita paham konteks, sehingga tidak mudah menyalahkan anak-anak,” tegas Ida.

Karena itu, Ida pun menilai, agar pemerintah bisa serius dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan membasmi konten-konten negatif di berbagai media sosial.

Sebab, dengan banjirnya konten pornografi di media sosial, akan membuat anak, remaja dan bahkan masyarakat Indonesia kian permisif dengan seks bebas. Apalagi, saat ini bukan hanya seks pranikah yang harus dikhawatirkan, namun juga extra marital relationship alias perselingkuhan.

“Artinya memang terjadi pergeseran norma dan nilai seksualitas di masyarakat, baik menyangkut sexual meaning, sexual desire, sexual act, maupun sexual partnership,” sambungnya.

Tak heran, jika kemudian penyakit IMS seperti HIV, sifilis dan gonore semakin marak ditemukan di kalangan anak dan remaja. Terlebih, secara sosiologis, masyarakat Indonesia tergolong abai atas risiko seks pranikah maupun seks bebas, baik secara medis, kesehatan mental dan juga secara sosial.

“Sifilis dan lain-lain dampak ikutan. Juga KTD (kehamilan tidak diinginkan), aborsi, pembunuhan bayi, gangguan mental dari korban, dan lain-lain bagian dari dampak yang perlu serius disikapi,” tukas Ida.

Sementara itu, mantan Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, menilai pendidikan tentang kesehatan reproduksi dan risiko dari aktivitas seksual pra nikah perlu digalakkan lagi. Sebab, meski zaman semakin maju dan modern, di Indonesia edukasi terkait masalah seksual dan kesehatan reproduksi masih dipandang tabu.

“Masalah pendidikan seksual itu bukan pendidikan atau cara berhubungan seks. Bukan. Jadi, sexual education itu adalah just male-female. Artinya, bagaimana mengenal laki-laki, mengenal perempuan. Kemudian bagaimana cara menjaga kesehatan organ reproduksi laki-laki, organ reproduksi perempuan,” tegas Hasto.

Baca juga artikel terkait PENYAKIT KELAMIN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Bayu Septianto