tirto.id - “Anakku Radit, belakangan ini senang sekali mengajak saya untuk main smackdown. Semula saya, sih, merasa biasa saja. Senang dan mau kalau diajak main. Tapi belakangan ini malah khawatir karena setiap main smackdown, Radit selalu menggesek-gesekan penisnya di atas badan saya. Lain hari, bahkan saya melihatnya ‘memainkan’ alat kelaminnya. Apakah kondisi ini wajar? Saya takut nantinya malah jadi kebiasaan sampai besar.”
Anak kecil selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar, baik pada makanan, permainan, termasuk keingintahuan pada tubuh mereka.
Keingintahuan akan tubuh sudah terlihat saat anak mulai memasukkan jari di mulutnya, berlari-lari telanjang, menanyakan perbedaan pria dan perempuan, atau saat ia mulai menyentuh kelaminnya.
“Bayi dan balita cenderung menemukan penis atau vulva mereka segera setelah mereka mencapainya,” kata Lydia Bowers, seorang pendidik seks dan penulis We Listen To Our Bodies. Dengan kata lain, saat mereka memiliki akses, seperti saat mereka bebas popok, mereka mungkin akan mencengkeram vulva atau penis mereka.
Pada awalnya, sentuhannya mungkin tampak tidak disengaja, tetapi seiring waktu mungkin menjadi lebih terarah. Ketika bayi menjadi lebih banyak bergerak, mereka mungkin juga mendorong atau bergesekan dengan benda.
Pada balita, beberapa anak mungkin juga menyentuh diri mereka sendiri ketika mereka takut atau cemas — perilaku ini lebih kepada menenangkan diri sendiri.
“Beberapa anak melakukan penjelajahan dengan alasan yang sama dengan anak-anak lain yang mengisap jempol,” jelas Bowers.
Sayangnya, orang tua cenderung menghindari, bahkan malu terkait perkembangan psikosekual anak ini. Padahal, eksplorasi tubuh adalah perilaku alami untuk anak-anak.
Budaya masyarakat yang menekan isu seksualitas menjadi hal tabu yang tidak layak dibicarakan, membuat orang tua sulit mengatasi situasi ini.
Padahal, orang tua tidak perlu malu apalagi sampai mempermalukan anak di depan umum hanya untuk memberikan anak peringatan bila tiba-tiba anak memegang kelaminnya di depan umum. Anak hanya perlu diingatkan bahwa alat kelamin adalah hal yang privat. Orang tua dapat mengedukasi dengan cara yang sederhana dengan metafor seperti, 'Kita tidak berenang di dapur, bukan? Tapi kita berenang di kolam renang.' Atau, 'Kita makan di meja makan, bukan di atas tempat tidur'.
Rasa malu orang tua bukan hal yang tepat dilakukan dalam memberikan edukasi pada anak terkait tubuh. Hal ini termasuk, dengan tidak menyebut kelamin anak dengan nama yang dibuat-buat.
Penyebutan anggota tubuh yang benar menghindari terjadinya kebingungan pada anak. Penyebutan yang salah, justru akan membuat anak berpikir bahwa alat kelamin adalah sesuatu yang salah dan tabu. Di kemudian hari, penyebutan yang benar akan membuat anak mengerti akan tubuh mereka, dan menjadi pondasi awal terhindarnya pelecehan seksual.
Sangat penting bagi orang tua untuk tahu tindakan yang tepat saat anak mulai mengekplorasi tubuhnya. “Tertawa, mempermalukan, atau berteriak pada anak memberikan kesan bahwa bagian tubuh tertentu itu 'buruk',” ujar Bowers.
Lanjut Bowers, anak-anak juga menangkap nada suara, ekspresi wajah, dan kata-kata orang tua saat orang tua bereaksi terhadap apa yang mereka lakukan.
Sama dengan berteriak dan memarahi, reaksi baik kata, nada suara, ekspresi wajah yang tidak tepat, dapat memberikan penyampaian pesan yang salah pada anak.
Sikap Tepat Orang tua
Sikap malu orang tua, dan penanganan yang tidak tepat dalam menangani psikoseksual anak, akan mengakibatkan kurangnya kesadaran tubuh pada anak. Anak akan menganggap disentuh orang lain adalah normal dan kemudian tidak akan memberi tahu orang tua mereka tentang hal itu.
Berperilaku tenang dan santai adalah sikap terbaik orang tua saat anak terlihat mengeksplorasi tubuhnya. Orang tua perlu ingat bahwa tindakan anak tersebut adalah sesuatu yang normal.
Orang tua harus memahami bahwa permainan alat kelamin di depan publik biasanya hanya merupakan indikasi bahwa anak mereka belum dapat bersosialisasi. Sebuah studi di jurnal Pediatrics menunjukkan bahwa sangat umum bagi anak usia 2-5 tahun untuk sering melakukan perilaku seksual seperti stimulasi diri. Setelah usia itu, jenis eksplorasi ini menurun drastis.
Diperkirakan hingga setengah dari semua anak laki-laki dan sepertiga dari semua anak perempuan menyentuh diri mereka secara teratur saat balita, dan semua anak telah merangsang alat kelamin mereka pada ulang tahun pertama mereka.
Bila orang tua sudah tenang, orang tua boleh mengalihkan perhatian Si Kecil, namun tetap jangan lakukan dengan reaksi berlebihan.
Para ahli setuju bahwa reaksi terbaik adalah tanpa reaksi, tetapi jika orang tua merasa harus mengintervensi, coba alihkan perhatian anak dengan mainan favorit atau benda lain yang membutuhkan penggunaan tangan mereka.
Mengenalkan konsep privasi adalah tindakan selanjutnya. Jelaskan kepada anak bahwa beberapa hal bersifat pribadi dan lebih baik dilakukan di kamar tidur daripada di kelompok bermain.
5 Tahapan Psikoseksual Anak
Dalam teorinya, Sigmun Freud percaya bahwa perkembangan kepribadian seseorang akan dibentuk dan terjadi pada masa kanak-kanak lewat lima tahap psikoseksual, yaitu tahap oral, anal, phallic, latency, dan genital. Setiap tahap energi seksual (libido) ini juga perlu diekspresikan dengan cara berbeda dan melalui bagian tubuh yang berbeda.
“Sejak lahir hingga dewasa, seseorang akan tumbuh dan berkembang. Mungkin selama ini banyak orang tua yang sudah familiar dengan aspek perkembangan motorik anak, perkembangan kognitif atau kecerdasan anak atau perkembangan bahasa. Nah, selain itu ada juga aspek lain yang perkembangan psikoseksual. Jadi sejak lahir hingga dewasa secara seksualitas juga akan berkembang," papar Rizqina P. Ardiwijaya, M.Psi dari psikolog anak dan remaja dari Ruang Mekar Azlia.
Tahapan perkembangan psikoseksual akan dimulai dengan fase oral. Fase ini berpusat pada area mulut. Maka tidak mengherankan jika bayi usia 0 sampai 2 tahun senang sekali memasukkan benda termasuk hari tangannya ke dalam mulut. Selain berorientasi pada mulut, Freud juga menjelaskan bahwa tahap ini juga berfokus pada cara anak mengisap, menggigit, dan menyusui.
“Bayi, yang usianya 0 sampai 2 tahun ini senang sekali mengisap. Dimulai ketika ia mulai menyusui untuk mendapatkan ASI. Pada usia ini, sumber kesenangan anak dari sana memang didapatkan dari sana, lewat mulutnya,” jelas Rizqina kepada Tirto.
“Sama dengan tahapan perkembangan lainnya, fase ini tentu saja perlu dilewati dengan baik. Jika tidak memang akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Jika ada rasa ketidakpuasan di masa oral ini, bisa menimbulkan gejala regresi (kemunduran). Bahkan, ketidakpuasan ini juga bisa berdampak kurang baik bagi perkembangan kepribadian anak, seperti: merasa kurang aman, selalu meminta perhatian orang lain atau egosentris,” ujar Rizqina.
Tahapan psikoseksual selanjutnya adalah fase anal. Di mana akan berfokus pada anus, sehingga anak mendapatkan kepuasan setelah mereka mampu untuk melakukan buang air kecil (BAK) atau buang air besar (BAB). Kepuasan ini biasanya akan terjawab lewat proses toilet training.
Fase falik merupakan salah satu tahapan psikoseksual anak yang kerap membuat orang tua khawatir. Sebab, pada fase ini anak-anak mulai fokus pada alat kelamin yang dimilikinya, sehingga mereka pun senang untuk mengeksplorasi alat kelamin sebagai zona sensitif seksual.
Yaitu, dengan cara memegang, atau mengesekan alat kelaminnya.
“Fase ini juga anak juga sudah belajar aspek gender. Untuk anak perempuan, ia akan merasa, ‘ Oh, aku punya vagina. Kalau kakak aku punya penis. Berarti ia laki-laki’. Jadi nggak usah khawatir kalau anak senang bereksplorasi di area alat kelaminnya, karena anak mendapat lewat sana, mereka sangat penasaran dan ingin mencari tahu,” tukas Rizqina.
Freud berpendapat bahwa tahapan psikoseksual ini berhubungan dengan energi seksual disalurkan ke aktivitas aseksual yang rajin seperti belajar, hobi, dan hubungan sosial. Dia merasa bahwa tahap ini adalah saat orang mengembangkan keterampilan sosial dan komunikasi yang sehat.
Tahap terakhir dalam teori ini dimulai saat anak memasuki usia pubertas. Di tahapan inilah mulai timbul libido sehingga rangsangan aktivitas seksual mulai berkembang pada usia ini. Di tahapan ini pula yang mendorong seseorang mulai mulai menunjukan kalau dirinya memiliki ketertarikan seksual yang kuat pada lawan jenis.
Jika tahapan ini berhasil dilewati dengan baik, maka anak juga akan belajar bagaimana menciptakan hubungan sehat yang bermakna, langgeng, dan nyata.
Penulis: Petty Mahdi
Editor: Lilin Rosa Santi