Menuju konten utama

Menyiasati Pendidikan Seks untuk Anak

Seberapa dini seorang anak perlu menerima edukasi seksualitas untuk mencegah hal-hal buruk di kemudian hari?

Menyiasati Pendidikan Seks untuk Anak
Ilustrasi pendidikan seks untuk anak-anak. FOTO/Getty Images

tirto.id - Pengujung tahun lalu, penerbit Tiga Ananda merilis buku untuk segmen anak-anak yang mendapat sorotan masyarakat karena memuat isu "masturbasi" di dalamnya. Dalam buku Aku Berani Tidur Sendiri & Aku Belajar Mengendalikan Diri ini ada gambaran seorang anak tengah memeluk guling dan berkata, “Menit demi menit berlalu dan mataku masih tak bisa terpejam. Aku menyilangkan kakiku kuat-kuat pada guling. Iseng-iseng, aku menggerakkan tubuhku naik turun. Eh, ternyata asyik juga rasanya. Jantungku berdebar, tapi aku senang...” Pada bagian berikutnya, digambarkan ibu si anak mendapati buah hatinya melakukan hal yang tak pantas diperbuatnya, tetapi tidak serta merta memarahinya.

Potongan-potongan gambar yang memuat teks ini lantas jadi viral dan mengundang komentar pedas kaum pengguna internet, baru-baru ini. Mereka menganggap adegan yang digambarkan dalam buku itu mengajarkan anak untuk mengenal dan melakukan masturbasi.

Tampaknya, intensi awal penerbit untuk membantu orangtua melakukan aksi preventif dini terhadap kejahatan dan penyakit seksual, yang bisa mengancam anak-anak, tidak tercapai dalam kasus ini. Seperti diberitakan di salah satu media lokal, manajer umum penerbit Tiga Serangkai—induk Tiga Ananda—menjelaskan buku ini dirilis untuk menyosialisasikan pengetahuan dasar tentang seksual untuk anak-anak. Fokus buku menurutnya adalah pengendalian diri, dilatarbelakangi fenomena anak yang keasyikan saat menyentuh, memegang, bahkan memainkan kemaluan mereka.

Menghadapi tekanan besar dari masyarakat, penerbit lantas menarik buku itu dari peredaran. Permintaan maaf dari mereka juga telah disebar di pelbagai media.

Buah Simalakama Pendidikan Seks di Indonesia

Sebagaimana ditemui di banyak negara, isu pendidikan seks kerap memunculkan kontroversi di masyarakat. Dalam konteks budaya yang cenderung konservatif dan menabukan perbincangan seputar seksualitas seperti Indonesia, mengenalkan pendidikan seks belum dianggap sesuatu yang lumrah. Alih-alih, sebagian orang keliru menilai pendidikan seks sama saja mengajarkan perbuatan asusila kepada anak-anak. Padahal, kasus-kasus paparan pornografi dan kejahatan seksual terhadap anak terus meningkat. Sampai-sampai Komisi Perlindungan Anak (KPAI) menyatakan Indonesia dalam situasi darurat kekerasan seksual terhadap anak.

Komisioner KPAI Erlinda, dalam rangkuman laporan sejumlah institusi, menulis pada 2013 bahwa 95 persen siswa kelas 4-6 SD di Jakarta pernah melihat konten pornografi. Data dari ECPAT hingga 2012 menunjukkan tindak kriminal seksual online terhadap anak mencapai 18 ribu kasus. Dilansir dari situs KPAI, Rita Pranawati menyatakan pelecehan seksual terhadap anak meningkat 100 persen sejak 2013 hingga 2014. Ia menambahkan, berdasarkan penelitian KPAI, 70 persen orangtua dianggap belum mampu mengasuh anak memakai metode yang mengikuti perkembangan teknologi mutakhir. Lebih dari 50 persen orangtua lebih berfokus pada persoalan pendidikan akademik ketimbang persoalan sosial yang dihadapi anak-anak mereka, termasuk urusan reproduksi.

Catatan hitam seputar kejahatan seksual terhadap anak, salah satunya disebabkan oleh kurangnya sosialisasi pendidikan seks, seolah belum cukup meruntuhkan tembok pamali dalam masyarakat. Padahal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mencantumkan materi pendidikan seksual dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Mengingat kondisi ini, sebagian pihak yang menganggap penting pendidikan seks untuk anak pun mencari alternatif mengangkat wacana seksualitas untuk anak-anak di bawah umur, salah satunya lewat buku anak yang dikemas dengan gambar menarik. Namun, ibarat buah simalakama, tindakan ini malah mendatangkan kecaman dan persepsi negatif dari masyarakat.

Usia yang Pantas Menerima Pendidikan Seks

Meski bertujuan baik, transfer pengetahuan tentang seks acapkali problematik. Pusat perdebatannya: kapan seharusnya anak menerima pendidikan seksual?

Dalam situs PBS, di Belanda, edukasi seksualitas dan relasi secara formal telah dimulai sejak anak berusia 4 tahun. Ineke van der Vlugt, pakar perkembangan seksual anak muda dari Rutgers WPF, menyatakan, “Orang sering berpikir bahwa kami langsung membahas mengenai hubungan seksual kepada anak-anak TK. Padahal seksualitas lebih luas dari itu. Hal ini menyangkut citra diri, mengembangkan identitas diri, peran gender, serta belajar mengekspresikan keinginan dan batasan-batasan diri.” Sementara, penelitian seputar kesehatan di Belanda menemukan fakta bahwa pelajar yang mendapatkan edukasi seks secara komprehensif cenderung lebih asertif dan memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik.

John T. Chirban, pendidik lepas di bidang psikologi Harvard Medical School sekaligus direktur Cambridge Counseling Associates, mengulas pentingnya penerapan pendidikan seks untuk anak dalam lingkup keluarga. Dalam tulisannya bertajuk “When Does Sex Education Begin: Are Toddlers Too Young to Talk With About Sex?” di situs Psychology Today, ia memberi sugesti kepada para orangtua untuk terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan anak tentang seks sesuai usianya.

Pada saat berumur 4-5 tahun dan menanyakan dari mana bayi berasal, orangtua bisa memberikan jawaban yang sederhana saja. Ketika mereka beranjak besar dan menjadi lebih kritis terhadap banyak hal, informasi yang lebih lanjut perlu diberikan orangtua, termasuk penjelasan ilmiah mengenai dari mana datangnya bayi dan hal-hal seputar seksualitas lain.

Sementara, dalam studi oleh Jatmikowati et. al. (2015), argumen yang bisa kita berikan: anak usia 1-5 tahun sudah bisa diberikan pendidikan seks dasar. Anak dapat diajari mengenali organ-organ seksnya tanpa perlu penjelasan mendetail karena rentang waktu atensinya cenderung lebih pendek dari orang dewasa. Anak seusia itu bisa diberi sosialisasi untuk tidak mempertontonkan alat kelaminnya kepada sembarang orang.

Pendapat itu sejalan argumen Saskhya Aulia Prima, psikolog klinis anak, dan Widi Mulia, ibu dari tiga anak. Mereka sepaham untuk menyosialisasikan pendidikan seks sedini mungkin.

Saskhya, rekanan pendiri Tiga Generasi—wadah konsultasi dan informasi seputar kesehatan dan permasalahan psikologi—mengungkapkan pendidikan seks bisa dimulai sejak balita. Adapun Widi merasa anak-anak di atas usia 6 tahun sudah layak menerima hal ini. Dalam keterangan tertulis, Widi mengungkapkan alasannya, “Karena menurut riset, umumnya di umur itulah anak-anak semakin kenal dengan bagian-bagian tubuhnya, dan mereka mulai membandingkan dengan orang lain/lawan jenis.”

Peran Keluarga dalam Sosialisasi Pendidikan Seks

Saskhya menjelaskan materi pendidikan seks untuk anak-anak tetap harus memperhatikan konteks-konteks tertentu. Nilai budaya dalam keluarga jadi salah satu faktor yang harus diingat. “Tidak setiap keluarga terbuka terhadap pendidikan seks. Ada yang cenderung konvensional. Ketika berhadapan dengan keluarga seperti ini, kami tidak akan memaksakan pemberian pendidikan seks kepada anaknya,” ujarnya.

Ia menerangkan, setiap anak memiliki cara belajar berbeda. Karena itu perlakuan dalam memberi pendidikan seks secara ideal beragam. “Ada anak-anak yang lebih mudah menyerap informasi dari sumber audiovisual, ada juga yang lebih memilih membaca buku. Apa pun sumber informasi yang digunakan si anak untuk memperoleh pendidikan seks, yang terpenting adalah peran orangtua dalam membimbingnya,” ujar Saskhya.

Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai orangtua, Widi Mulia menyatakan ia menerapkan pendidikan seks dalam keluarga. Dimulai dari hal-hal sederhana seperti membiasakan anak-anaknya menyebut alat kelamin mereka dengan istilah ilmiah: vagina dan penis. Di samping itu, Widi memandang anak-anak perlu belajar bahwa alat kelamin tidak boleh disentuh sembarang orang dan ia pun terbiasa mengatakan "permisi" atau "maaf" saat membersihkan area vital mereka.

“Saya bilang bahwa yang boleh menyentuh atau membersihkan atau memeriksa bagian vital mereka adalah Ibu, Eyang Putri, atau orang yang benar-benar dipercaya untuk mengasuh anak di rumah, dan dokter kalau sedang diperiksa di rumah sakit,” kata istri dari aktor Dwi Sasono ini.

INFOGRAFIK HL pendidikan seks anak

Kata Psikolog dan Orangtua soal Buku Anak Berkonten Seksual

Pembahasan mengenai "masturbasi" seperti dalam buku Aku Berani Tidur Sendiri & Aku Belajar Mengendalikan Diri sebenarnya hal yang mengundang multi-interpretasi. Beberapa situs dari Eropa atau Amerika mendukung pembahasan masturbasi sejak dini, bahkan sebelum anak mencapai usia akil balig.

Tetapi hal itu berseberangan dari pandangan mayoritas masyarakat Indonesia yang merasa upaya pendidikan seks seputar masturbasi merupakan tindakan menjerumuskan anak-anak untuk melakukan hal yang dianggap jelek atau bahkan buruk—terlebih bila diboboti pandangan agama.

Dari perspektif orangtua, Widi—yang berkata baru melihat sebagian kecil dari buku yang ramai-ramai dikecam itu—menilai tidak adil jika menghakimi keseluruhan buku dari beberapa halaman yang kontroversialnya saja.

“Ketika saya lihat dua halaman buku tersebut, saya sudah yakin itu pasti buku edukasi seks karena dalam sebuah seminar kesehatan anak, pernah dibahas juga tentang perlunya memberikan ruang dan waktu bagi anak untuk bereksplorasi dengan tubuhnya. Bahwa itu bagian dari privasi mereka,” kata kepada saya.

Pendapat Widi ini kontras dengan komentar mayoritas warga internet yang mengecam isi buku. Mereka beranggapan anak-anak belum layak menerima informasi seputar eksplorasi tubuh. Beberapa di antara mereka malah menyatakan buku ini berkonten pornografi, alih-alih bertujuan positif menyisipkan edukasi seksual.

Dari sisi psikolog, Saskhya memandang fokusnya bukan apakah isi buku itu tepat atau tidak, melainkan sensor dan pengawasan orangtua saat anak memilih dan mengonsumsi bacaannya. “Standar pendidikan seks setiap negara kan beda-beda, ya. Yang dianggap sesuai untuk anak di luar belum tentu sama dengan di Indonesia. Karena itu, kembali lagi kepada kecermatan orangtua untuk melihat apakah konten buku tertentu dibutuhkan oleh anaknya atau tidak."

Ia juga mengutarakan mispersepsi dan komentar negatif seiring peredaran buku tersebut semestinya bisa dihindari jika pembuat buku, baik penerbit maupun penulis, teliti dalam membaca pasar. Ada hal-hal yang boleh dan pantang dicantumkan dalam buku untuk segmentasi anak.

Ketelitian dalam peletakan buku juga menjadi faktor lain yang patut diperhatikan. Penulis buku Anti Panik Mengasuh Bayi:0-3 Tahun (2016) ini menjelaskan, “Buku semacam ini sebaiknya diberi warning seperti ‘bimbingan orangtua’ atau ditaruh di rak parenting. Selain itu, untuk menghindari kesalahpahaman anak, orangtua bisa menemaninya membaca. Jadi kalau ada hal yang tidak dia mengerti, orangtua bisa menjelaskan.”

Kiat Memberikan Pendidikan Seks untuk Anak

Tak jarang orangtua atau keluarga besar merasa canggung ketika anak mulai bertanya seputar seks. Entah karena minim pengetahuan, sulit mengomunikasikan dengan bahasa sederhana dan mudah dicerna, atau merasa tak pantas memperbincangkan hal tersebut dengan anak di bawah umur.

Menyikapi hal ini, Saskhya Aulia Prima memberikan kiat-kiat penyampaian pendidikan seks kepada anak. Pertama, saat anak mulai bertanya, konfirmasi terlebih dulu dari mana ia mendapat informasi atau pengetahuan seputar seksualitas. Berikutnya, orangtua dapat memberi jawaban sesuai tahapan usia anak. Jawaban untuk anak balita tentu berbeda dengan yang ditujukan untuk remaja. Saat menginjak level akil balig, menurut Saskhya, lumrah jika orangtua memberikan penjelasan lebih mendetail.

“Sejak awal menjawab, orangtua sebaiknya berusaha menjelaskan semampunya sesuai kapasitas anak. Lalu yang perlu diingat juga, orangtua tidak perlu berbohong atau menggunakan jawaban mengada-ada untuk menghindari perbincangan seputar pendidikan seks.”

Pengalaman Widi Mulia, misalnya, bisa menggambarkan caranya merespons rasa penasaran anak saat terhadap perihal seksualitas. Ia pernah sekali menerima pertanyaan dari anak pertamanya mengenai dari mana adik bayi berasal. Ia tanpa ragu menjawab, “Dari rahim Ibu.”

Keterbukaan dalam keluarga untuk membicarakan isu seksualitas menurut Saskhya bukanlah hal yang sepele. “Ini penting supaya anak tidak mencari informasi dari sumber lain yang bisa saja malah tidak kredibel. Selain itu, pendidikan seks dalam keluarga juga bisa membuat anak lebih dekat dengan orangtua,” ujar lulusan Universitas Indonesia ini.

Sejumlah paparan referensi ini mengafirmasi perlunya pendidikan seks diberikan untuk anak-anak, bahkan sejak balita. Yang menjadi catatan penting adalah porsi konten edukasi disesuaikan dengan usia mereka. Memilih menutup mata dan telinga, apalagi mengharamkan wacana pendidikan seks untuk anak sejak dini, bukanlah pilihan yang bijak.

Ia memerlukan partisipasi orangtua, sekolah, dan institusi-institusi sosial lain. Partisipasi beragam pihak ini bisa menjadi kunci keberhasilan menanamkan nilai-nilai dan pengetahuan seksualitas. Agar anak-anak tak kadung salah menafsirkan perkara seksualitas, kita—sebagai orang dewasa—juga berperan aktif untuk menyaring media berisi informasi seputar seks.

Baca juga artikel terkait SEKSUALITAS atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Fahri Salam