tirto.id - Video puluhan siswi sebuah SMA mengantre untuk menjalani tes kehamilan melintas di lini masa X beberapa waktu lalu. Sembari didampingi guru perempuan, satu per satu siswi tampak masuk ke toilet dan urinenya dites menggunakan alat deteksi kehamilan.
Tes kehamilan semacam itu rupanya bukan barang baru dan sudah menjadi rutinitas di SMA Sulthan Baruna, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tersebut. Kepala Sekolah SMA Sulthan Baruna, Sarman, dalam wawancara di sejumlah media pun tak menepis hal tersebut.
Seperti dikutip Antara, Sarman menyatakan bahwa kegiatan tes kehamilan rutin dilakukan sejak tiga tahun lalu, usai seorang siswi berhenti sekolah karena hamil.
"Setelah kejadian itu, pihak sekolah berinisiatif untuk melakukan tes kehamilan setiap kegiatan belajar di semester baru dan setiap tahun dilakukan dua kali. Tes urine dilakukan secara tertutup oleh para guru perempuan," katanya.
Pihak SMA Sulthan Baruna mengeklaim bahwa tes kehamilan itu telah disepakati pula oleh para orang tua. Namun, sepenuturan anggota Komisi V DPRD Jabar, Zaini Shofari, tidak semua orang tua siswi mengetahui kegiatan tersebut.
Zaini menilai bahwa tes kehamilan untuk siswi itu merupakan tindakan diskriminatif. Dia juga mengatakan bahwa DPRD Jabar bakal memanggil kepala sekolah yang membuat kebijakan tersebut.
"Komisi V nanti melalui ketua bakal panggil kepala sekolah untuk dimintai klarifikasi terkait kejadian itu," tegas Zaini, seperti dikutip Detik,Jumat (24/1/2025).
Tak hanya DPRD Jabar, langkah tak masuk akal itu juga menuai kritik dari berbagai pihak, mulai dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), aktivis, dokter, hingga budayawan.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Kesejahteraan Masyarakat, Alissa Wahid, misalnya, mengatakan bahwa tes kehamilan itu menunjukkan bahwa pihak sekolah tidak percaya sama sekali kepada murid-muridnya.
Ketidakpercayaan itu, kata dia, justru memunculkan kondisi yang tidak baik di sekolah. Pasalnya,anak-anak perlu tumbuh dalam kondisi mereka dipercaya. Menurutnya, apabila siswa dipercaya, mereka justru bisa mengambil keputusan dengan baik.
"Tes kehamilan itu adalah hal yang sangat privat, tidak selayaknya dilakukan seperti itu. Kalau pihak sekolah ingin anak-anak menjaga dirinya, bantu mereka untuk bisa menjaga dirinya, bukan dengan tes-tes kehamilan atau keperawanan," kata Alissa, dikutipAntara, Jumat (24/1/2025).
Sementara itu, Kemenkes mengungkap dampak negatif dari tes kehamilan di sekolah. Mengutip CNN Indonesia, Kamis (23/1/2025), Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes RI, Imran Pambudi, menegaskan bahwa institusi sekolah sebenarnya punya banyak opsi lain yang bisa dilakukan untuk memastikan siswinya terhindar dari kehamilan dini.
"Kegiatan ini berpotensi menimbulkan masalah kesehatan jiwa bagi siswi dan keluar, terlebih untuk siswi yang hasilnya positif," ujar Imran.
Beberapa masalah mental lain yang mungkin muncul di antaranya kecemasan dan menarik diri dari lingkaran sosial. Apabila tidak tertangani dengan baik, bukan tak mungkin memicu depresi dan gangguan jiwa yang lebih berat.
Jika pun memang diperlukan, tes kehamilan sebaiknya hanya bersifat sukarela, bukan wajib. Imranjuga mengingatkan bahwapihak sekolah perlu memberikan edukasi kesehatan reproduksi sesuai dengan usia siswa-siswinya.
"Saya kira edukasi kesehatan reproduksi bagi remaja perlu dilakukan dengan metode-metode yang lebih sesuai dengan umurnya," jelas Imran.
Edukasi Seks Komprehensif adalah Hak Setiap Orang
Dewan Pakar dari Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2) sekaligus ahli seksologi, Budi Wahyuni, menjelaskan bahwa tes kehamilan pada prinsipnya merupakan hal yang tidak etis. Sebaliknya, kunci pencegahan perilaku seks tidak sehat terletak pada pemberian edukasi seksual komprehensif atau comprehensive sex education (CSE).
CSE merupakan bagian dari hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) setiap warga, termasuk bagi anak sekolah.
Jika ditarik lebih jauh, HKSR sendiri merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Pasalnya, komponen HKSR berasal dari komponen-komponen HAM, di antaranya hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk mendapatkan privasi, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan hak untuk terbebas dari diskriminasi.
Itu artinya, HKSR–layaknya HAM–bersifat mutlak dan universal. Seorang individu seharusnya tidak perlu melakukan apa pun untuk mendapatkan akses HKSR karena hal tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari keberadaannya sebagai manusia.
“Kehamilan di usia sekolah rata-rata karena KTD, kehamilan tidak dikehendaki. Mencegah perilaku seks tidak sehat termasuk hubungan seksual usia anak yang sangat tidak sehat, bukan sebatas tidak hamil, namun juga peluang kanker serviks karena virus HPV [Human papillomavirus] yg ditularkan saat hubungan seksual,” kata Yuni—sapaan Budi Wahyuni, Kamis (30/1/2025).
Indonesia sendiri masih punya masalah besar terkait kehamilan tidak direncanakan atau KTD. Data Guttmacher Institute yang dikutip laporan Situasi Kependudukan Dunia 2022 menunjukkan bahwa dalam periode 2015-2019, terjadi sekira 40 KTD per 1.000 perempuan rentang usia 15-49 tahun.
Angka itu lebih tinggi ketimbang negara-negara tetangga di ASEAN, seperti Myanmar (35 KTD per 1000 perempuan) dan Thailand (38 KTD per 1000 perempuan). Rata-rata jumlah kehamilan per tahun pada kelompok perempuan di rentang usia tersebut di Indonesia berkisar 7,9 juta.
United Nations Population Fund juga pernah menerbitkan laporan yang semacam itu dan menunjukkan beberapa faktor penyebabKTD. Faktor yang dimaksud mencakup kurangnya otonomi atas organ reproduksi, rendahnya tingkat pendidikan, dan tingginya kemiskinan.
Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, juga menyampaikan pernyataan senada. Menurut Grace, mencegah kehamilan pada anak muda bisa dilakukan lewat edukasi seksual dan mempermudah akses ke alat kontrasepsi.
“Walaupun [alat kontrasepsi] itu kan kontroversial ya kalau di Indonesia, tapi kan memang itu yang berhasil. Jadi, itu satu dari pengambilan kebijakannya,” ujar Grace lewat sambungan telepon, Kamis (30/1/2025).
Menurut Grace, penerapan tes kehamilan oleh sekolahjustru tidak sesuai dengan kaidah ilmiah dan prinsipevidence-based policy. Lagi pula, pendidikan seksual bukan sekadar mengajarkan cara berhubungan seksual dengan aman, tapi juga bagaimana setiap orang bisa membuat keputusan terkait seksualitas dan reproduksidengan bijak.
“Dan itu tidak hanya pada remaja putri. Ini juga concern-nya kan, kenapa ada bias gender, cuman remaja putri aja yang kemudian di-provokeseperti itu. Bagaimana dengan remaja putranya,” tegas Grace.
Negara Masih Kurang Hadir dalam Pemenuhan HKSR
Budi Wahyuni menekankan bahwa komitmen negara dalam pemenuhan HKSR masih jauh dari harapan. Pemerintah dinilai masih khawatir soal salah guna, dalam hal ini misalnya alat kontrasepsi.
“Modul CSE sudah banyak. [Tinggal] bagaimana komitmen negara pada CSE,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan periode 2015- 2019 tersebut.
Segendang-sepenarian, menurut Grace, pemerintah masih ragu-ragu untuk masuk ke isu ini karena dianggap kontroversial.
“Karena, dianggap justru mengenalkan [aktivitas seksual]. Itu kan yang bertahun-tahun itu jadi keberatan. Tapi, tidak pernah ada apa untuk mengalahkan opini tersebut,” tegas Grace.
Grace tidak melihat keseriusanpemerintahdalam memperkenalkan opini yang benar, yang berdasarkan pada bukti.
“Gak pernah ada riset yang menunjukkan hubungan karena abis dikasih edukasi seks itu kemudian makin mencoba-coba. Malah kebalikannya, mereka mencoba itu karena gak tahu gitu kan, karena penasaran gitu. Nah, [terus] gak ada upaya juga karena kontroversial,” kata Grace.
Minimnya edukasi seksual yang benar pada akhirnya turut membuat masyarakat umumnya terjebak dalam anggapan kolot bahwa kejadian hamil di luar nikah diakibatkan oleh pergaulan bebas.
“Jadi, kenapa yang evidence-based begitu ditentangnya. Padahal, sebenarnya ketika dia menikah juga belum tentu punya pengetahuan yang sepenuhnya soal reproduksi dan sebagainya,” jelas Grace.
Jelaslah bahwa edukasi seksual sebenarnya perlu didiseminasi ke semua kalangan, tidak hanya bagi anak sekolah. Edukasi seksual, menurut Grace, bahkan bisa diberikan kepada anak-anak sejak memasuki jenjang SD.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi