tirto.id - Akses atas kesehatan reproduksi adalah hak semua orang. Tapi, bagaimana jika akses itu jadi tertutup karena sebuah pertanyaan “Sudah menikah, belum?”
Dalam beberapa pemeriksaan reproduksi, tenaga kesehatan memang harus mengetahui status pasien, apakah aktif berhubungan seksual/tidak. Misalnya ketika mereka harus melakukan intervensi alat pada bagian genital seperti papsmear atau USG transvaginal.
Selain itu status aktivitas seksual pasien juga bisa menjadi amnesis awal terhadap risiko penyakit menular seksual (IMS). Jadi wajar ketika pasien ditanya mengenai status aktivitas seksualnya ketika melakukan pemeriksaan reproduksi. Tapi yang selama ini sering terjadi tenaga kesehatan justru melontarkan pertanyaan seputar status pernikahan.
Pengalaman ini dirasakan salah satunya oleh Tina (bukan nama sebenarnya, 26 tahun) pada 2017 lalu. Lantaran belum cukup edukasi, ia mengalami pendarahan paska mengonsumsi pil kontrasepsi darurat (morning pill). Kontrasepsi ini diminum paska melakukan aktivitas seksual guna mencegah kehamilan.
Kontrasepsi darurat (kondar) bekerja dengan cara memblokir ovum agar tidak dilepaskan indung telur. Pil kondar juga membuat gangguan pada kerja normal progesteron, hormon yang berperan mempersiapkan rahim sebagai tempat tumbuh janin. Efektivitas kerjanya dalam mencegah kehamilan bergantung pada seberapa cepat ia diminum, setidaknya 72 jam setelah hubungan seksual.
“Karena sudah seminggu pendarahan, aku pergi ke salah satu rumah sakit di Slipi,” Tina menceritakan kronologi perlakuan buruk yang ia terima dari salah satu tenaga kesehatan di sana.
Di bagian pendaftaran ia menemui seorang perawat dan memberikan jawaban amnesis singkat, masalah dimulai dari sini. Tina menjelaskan kondisi pendarahannya akibat meminum pil kodar, kemudian perawat tersebut membalas dengan bertanya status pernikahannya hingga tiga kali.
“Mbak, sudah menikah?”
“Belum, sesuai KTP saja.”
“Sudah berhubungan seks?”
“Sudah.”
Air muka sang perawat berubah masam, ia mengulangi pertanyaan serupa.
“Maaf sudah menikah?”
Tina mulai panas, tapi ia masih menjawab pertanyaan, sampai kemudian, kali ketiga emosinya meledak. Si perawat seolah memberi penekanan negatif atas status aktivitas seksual Tina yang kontra dengan status pernikahannya.
“Belum menikah tapi sudah berhubungan seks?”
“Saya belum nikah dan aktif berhubungan seksual. Kenapa kamu ulangi lagi?” Tina menyahut kesal.
Perawat berdalih informasi tersebut diperlukan untuk melakukan pemeriksaan. Tapi Tina keburu berang, ia juga paham bahwa pemeriksaan reproduksi tidak butuh status pernikahan. Kemudian perempuan pekerja media itu melanjutkan protes kepada kepala perawat.
“Saya suruh mereka pasang pengumuman ‘khusus pasien yang sudah menikah’ kalau caranya seperti ini.”
Belum cukup diskriminasi yang ia terima. Tiba di ruang pemeriksaan, dokter masih mendiskreditkan dirinya dengan mengaitkan faktor penyebab pendarahan dan status pernikahan.
“Mbak cepat-cepat menikah karena ini pengaruh stres.”
Tina tersenyum kecut.
Ditolak BPJS karena Belum Menikah
Ini adalah kisah lain dari seorang perempuan dengan nama samaran Putri. Tiga tahun lalu saat usianya masih 28 tahun ia mendengar kabar seorang pesohor negeri meninggal karena kanker serviks. Sejak itu muncullah kesadaran banyak perempuan untuk melakukan pap smear dan vaksinasi HPV. Putri adalah salah satunya.
Ia berniat mendatangi fasilitas kesehatan setempat untuk melakukan pemeriksaan sampel sel leher rahim dengan pap smear. Setelah mencari informasi, ternyata layanan tersebut dijamin oleh BPJS Kesehatan. Putri pun memutuskan menggunakan BPJS miliknya.
“Awalnya mikir lumayan bisa menghemat sampai sekitar Rp400-an ribu,” katanya beralasan.
Di fasilitas kesehatan tingkat satu ia dengan mudah mendapat rujukan pap smear ke sebuah klinik di Jakarta. Masalah muncul ketika pihak klinik menolak rujukan Putri karena ia belum menikah. Meski sudah menjelaskan bahwa ia aktif secara seksual, tapi Putri tetap tak bisa melakukan pemeriksaan.
“Mereka bilang aturan BPJS menganulir pap smear bagi orang yang aktif secara seksual tapi belum menikah,” ujarnya menirukan jawaban dari klinik.
Putri pun pulang dengan serangkaian pertanyaan tentang mengapa orang-orang yang aktif secara seksual namun tidak menikah tidak mendapat akses kesehatan reproduksi. Bukankah mereka seharusnya memperoleh hak yang sama?
Bagaimana pemerintah bisa menekan angka penyebaran IMS, menurunkan kematian ibu dan anak, dan beragam persoalan turunan lain jika mereka sendiri yang menutup akses tersebut. Bahkan BPJS Kesehatan terang-terangan menyebut pap smear dengan BPJS hanya bisa dilakukan oleh perempuan menikah atau yang pernah menikah.
Syarat Jaminan Suami
Sikap diskriminatif tenaga kesehatan membuat sebagian perempuan urung memeriksakan kesehatan reproduksi. Pertanyaan tentang status pernikahan sepatutnya tidak dilontarkan karena dapat membuat pasien malu atau risih.
Hal yang perlu mereka pahami, status pernikahan tidak sama dengan status aktivitas seksual. Dan lagi pemeriksaan reproduksi tidak membutuhkan riwayat pernikahan.
Anehnya selain jamak menanyakan status pernikahan, fasilitas kesehatan lain juga mensyaratkan suami sebagai penanggung jawab ketika perempuan meminta akses kesehatan reproduksi.
“Belajar dari pengalaman, akhirnya bilang saja sudah nikah. Celakanya saat registrasi sampai setiap kontrol selalu diminta KTP suami,” ujar Tina yang beberapa bulan lalu memutuskan memasang IUD di rumah sakit kawasan Grogol.
Saat pemasangan IUD, Tina terus menghadapi pertanyaan yang melenceng dari ranah medis dan diajukan oleh tenaga kesehatan. Misalnya: sudah berapa lama umur pernikahannya dan alasan memutuskan pasang IUD meski baru setahun menikah. Tina berbohong, ia bilang masih sibuk kerja.
“Kok langsung mau nunda, kalau kerja terus, kapan punya anaknya,” sahut sang dokter.
Kapok menghadapi sikap tenaga kesehatan yang diskriminatif, Tina kini memutuskan memilih klinik yang terkenal membuka akses kesehatan reproduksi untuk semua kelompok: Angsamerah. Kontrol rutin soal kesehatan reproduksi ia lakukan di sana.
Meski Tina mengaku harus membayar sekitar 30-40 persen lebih mahal, namun hal tersebut tidak terlalu jadi masalah buatnya. Yang terpenting, ia bisa memperoleh akses kesehatan nyaman tanpa perlu mendengar opini negatif dari tenaga kesehatan tentang status pernikahannya.
Beruntung bagi Tina bisa mendapat previlese karena kondisi ekonominya memadai. Entah bagaimana mereka yang bernasib sebaliknya, terjebak dalam kemiskinan dan tidak memenuhi persyaratan umum melakukan pemeriksaan kesehatan hanya karena tidak berstatus menikah.
Editor: Windu Jusuf