tirto.id - Kekhawatiran itu bermula dari buku berjudul Aku Berani Tidur Sendiri & Aku Belajar Mengendalikan Diri karya Fitria Chakrawati yang diterbitkan oleh Tiga Ananda, anak penerbit Tiga Serangkai dari Surakarta, Jawa Tengah. Buku ini sesungguhnya ditujukan untuk mensosialisasikan pendidikan tentang seksualitas dan organ reproduksi kepada anak. Namun sampul dan isinya, yang dianggap tak pantas, membuat sejumlah pihak meminta peredaran buku itu ditarik. Buku itu dianggap bermuatan pornografi karena mengandung narasi mendetail tentang masturbasi.
Mengutip keterangan dari penerbitnya, lewat akun Instagram—dari mana keributan dan kecaman atas buku ini bermula—bahwa tujuan buku cerita Seri Aku Bisa Melindungi Diri "membantu orang tua ... mengajarkan anak untuk melindungi diri dari orang-orang yang berniat tidak terpuji terhadap mereka, membekali anak cara melindungi diri dari ancaman penyakit dan kejahatan seksual, juga pengetahuan dasar seksual yang penting untuk diketahui anak sejak dini." Materi masturbasi, demikian rilis penerbit, yang merujuk "perilaku senang menyentuh atau memainkan alat kelamin" bahkan sejak usia balita adalah normal dan "bagian dari proses perkembangan anak."
Penerbit, meski telah berusaha menjernihkan duduk perkaranya, akhirnya mengumumkan penarikan buku tersebut dan lantas meminta maaf karena "... sadar bahwa sebagian masyarakat kita mungkin belum siap untuk menerima pendidikan seksual sejak usia dini." Ia minta buku yang sudah dibeli untuk dikirim ke penerbit dan menggantinya dengan produk lain atau mengembalikan uang.
Fitria, penulis buku, juga menyampaikan permintaan maaf. Ia berkata "khilaf" dan "menyesal" dan ia tak berniat menulis buku berdampak negatif; bahwa pendidikan seksual untuk anak adalah perihal penting, dan buku itu ditulis semata mengandung "semangat sama yang selama ini diusung oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) maupun lembaga pemerhati anak lain", yakni menghindarkan anak dari kejahatan seksual.
Gara-gara keramaian dari kaum internet tersebut, Puan Maharani, yang kementeriannya mengusung slogan "pembangunan manusia dan kebudayaan", meminta kementerian pendidikan untuk "menginvestigasi" penemuan buku ini.
Namun, di luar perdebatan pantas-tidaknya atau efektif-tidaknya buku itu, atau bacaan lain dengan konten hampir sama, di tangan pembaca, perhatian yang perlu ditekankan pula adalah hak anak menerima informasi, secara lisan maupun tertulis, sesuai dengan tahapan usia dan tumbuh kembang anak. Sebagaimana diatur dalam hukum di Indonesia, anak juga berhak untuk berpartisipasi serta menyatakan pendapat dan berpikir sesuai hati nurani dan agamanya.
Penting juga bagi kita untuk memberi anak akses informasi yang akurat tentang orientasi seksual dan identitas gender, di lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial dan institusi sekolah, supaya mereka memiliki perasaan wajar terhadap diri sendiri sekaligus mengedukasi pemahaman di antara rekan sebaya. Tujuannya, menghindari tindakan merisak (bullying).
Swasensor terhadap pendidikan seksual sejak dini bukannya memberi rasa aman dan perlindungan, tetapi berdampak negatif yang lebih menyakitkan pada sang anak: mereka rentan dikelabui oleh orang lebih dewasa, mereka rentan melakukan hubungan seksual berisiko, mereka juga rentan menerima kekerasan seksual.
Barkaca pada data dari Komisi Perlindungan Anak, selama 2010-2015, angka kekerasan terhadap anak mencapai 21,9 juta kasus dan separuhnya ialah tindakan kejahatan seksual. Setiap tahun angka ini terus naik. Pada 2015, misalnya, kekerasan terhadap anak hingga 58 persen dengan 1.726 kasus.
Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat ada 2.898 laporan kasus kekerasan anak dan 59,3 persennya berupa kejahatan seksual. Angka ini baru sebatas Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Di sisi lain, progresi untuk mengatasi dan menurunkan angka kasus ini belumlah membaik.
Di Jawa Timur, misalnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak tertinggi selama Januari hingga April tahun lalu, disusul Riau, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Yogyakarta, demikian catatan Kementerian Sosial.
Pelaku adalah Kerabat Dekat
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait dua tahun lalu mengungkapkan banyak pelaku dari kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah orang terdekat. “Kebanyakan masih punya hubungan kerabat dengan korban,” katanya kepada Antara. Sekitar 62 persen kekerasan ini terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah.
Menurut riset Komisi, pelakunya bisa jadi orangtua, saudara laki-laki maupun perempuan, teman dekat, hingga guru. Hanya ketika lokasi kejadiannya di ruang publik, seperti tempat belanja dan bermain, pelakunya adalah teman sebaya dan orang asing.
Hasil pemantauan dan evaluasi oleh Save The Children, sebuah organisasi nonpemerintah internasional yang berfokus pada hak-hak anak, dengan contoh kasus di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kekerasan terhadap anak marak di lingkungan keluarga; angkanya sekitar 93 persen.
“Anak sebagai aset keluarga dan bangsa telah menjadi korban kekerasan fisik dan mental dalam lingkungan keluarga sendiri ... Anak-anak di daerah ini rentan menjadi korban kekerasan justru di lingkungan keluarga dan sekolah,” ujar Andri Yoga dari organisasi itu, Mei 2016.
Sementara itu, Kepala Rumah Perempuan Kota Kupang Libby Sinlaeloe mengatakan sebanyak 148 anak perempuan mengalami kekerasan seksual di Kota Kupang selama 2013-2015. “Pelaku kekerasan seksual paling banyak berasal dari keluarga dekat korban yakni orang tua kandung, orang tua tiri, kakak, tetangga, dan pacar,” kata dia.
Hasil riset dari University of Barcelona pada 2009 menegaskan perkara tersebut; bahwa pelaku terbanyak kekerasan adalah orang yang dekat dengan korban. Riset itu merilis bahwa 30 persen pelaku kejahatan seksual adalah keluarga korban. Biasanya kakak laki-laki, ayah, paman, dan sepupu. Orang dekat lain, sebanyak 60 persen, adalah teman anggota keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; dan sisa yang lebih kecil, 10 persen, adalah orang asing.
Riset ini menyebut 7,9 persen laki-laki dan 19,7 persen perempuan seluruh dunia pernah mengalami pelecehan seksual hingga usia 18 tahun. Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, hanya lebih baik dari negara di Afrika untuk relasi kekerasan seksual tertinggi di dunia.
Mengapa anak rentan jadi korban?
Susianah Affandy dari Keluarga Kongres Wanita Indonesia menyimpulkan ada empat penyebab anak rentan terhadap kekerasan seksual.
Sebagaimana dikutip dari Antara dua tahun lalu, ia berkata 1) anak sangat mudah terpengaruh oleh iming-iming pelaku terlebih bila dari punya hubungan keluarga atau dari lingkungan pendidikan; 2) anak tidak bisa mengekspresikan secara verbal atas apa yang sedang dialaminya; 3) anak menggantungkan hidupnya kepada pelaku; dan 4) korban takut melaporkan kekerasan.
Kekerasan ini, demikian Susi, muncul dari relasi yang timpang, dalam pelbagai keadaan sosial maupun pendidikan, termasuk melibatkan interpretasi agama. Untuk mengatasinya, selain mengajak keterlibatan komunitas, perlu edukasi dini tentang pola pengasuhan dan kampanye pendidikan anak tanpa kekerasan.
"Kekerasan terhadap anak akan membawa dampak yang buruk bagi tumbuh kembang anak," ujar Susi.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Fahri Salam