Menuju konten utama

Kamasutra ala Nusantara

Apa isi serat atau kitab kuno di masa abad 19 ketika membahas hubungan seksual?

Kamasutra ala Nusantara
Relief aktifitas berhubungan seks pada dinding Candi Vishvanatha, Kuil Barat Khajuraho, Madhya Pradesh, India. Foto/iStock

tirto.id - Abu Muhammad Adnan alias Raja Abdullah, putra Raja Ali Haji dari Riau, adalah penulis naskah Cempaka Putih. Ini sebuah kitab yang membahas bagaimana berhubungan seks secara halal ala Islam. Kitab ini dilengkapi ilustrasi lelaki dan perempuan sedang berhubungan intim, dilampiri doa sebelum mereka melakukannya.

Gubahan Muhammad Adnan setebal 150 halaman itu tertata rapi. Kitab itu dirampungkan akhir-akhir abad 19, dan dijuluki sebagai "Kamasutra Melayu."

"Ceritanya erotis, tapi mendidik," kata Raja Malik, keturunan Abu Muhammad Adnan yang juga Ketua Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Kepri-Pulau Penyengat.

Tak hanya sang putra, menantu Raja Ali Haji juga bukan perempuan biasa. Tak mau kalah dengan Raja Abdullah alias suaminya, Khatijah Terung juga menulis Kumpulan Gunawan, menandingi Cempaka Putih. Khatijah tampaknya tak ingin perempuan kalah, termasuk di atas ranjang. Itu sebab kenapa karyanya, yang dikenal sebagai Gerak Tujuh, lebih menonjolkan perempuan dalam kehidupan seksual. Naskah setebal 197 halaman ini tak hanya memuat tulisan tapi juga ilustrasi yang menggambarkan hubungan seksual antara suami dan istri.

Seperti masyarakat Melayu yang tak bisa lepas dari ajaran Islam, masyarakat Bugis pun sama. Seperti masyarakat Melayu yang punya Cempaka Putih dan Kumpulan Gunawan, masyarakat Bugis punya Assikalaibineng. Tak jelas siapa yang pertama kali menulisnya. Naskah-naskah kuno atau lontara Assikalaibineng, yang terkait pendidikan seks, sebanyak 44 itu dikumpulkan oleh Muhlis Hadrawi. Di antaranya berbahasa Bugis dan Makassar. Naskah-naskah itu kemudian dibukukan oleh Muhlis Hadrawi dalam Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis (2008).

Dalam kitab ini, vagina dan kelentit dikiaskan sebagai Empat Pintu. “Sangat jarang yang mengetahui keempat pintu ini. Jika kita mau menyentuhnya, tekanlah dengan telunjuk, kamu akan menemukan benda menyerupai biji. Jika kamu menyentuh itu akan membuat gemetar tubuh perempuan.” Dalam berhubungan, demikian isi kitab, pantang bagi suami untuk klimaks duluan, sebab dianggap gagal.

Menariknya, aturan main dalam Assikalaibineng menekankan untuk adanya penghargaan terhadap perempuan. Jika dilakukan menjelang tidur itu baik, tapi membangunkan istri yang sedang beristirahat untuk bersanggama adalah penghinaan. Usai bersanggama, haram bagi suami untuk langsung terlelap.

“Jika engkau sudah selesai melakukannya, maka lakukanlah hal yang menyenangkan perasaannya sebagai tanda kasih sayang,” kutip Muhlis Hadrawi. ”Maka bermain-mainlah ketika kamu selesai bersetubuh dengan istrimu.”

Begitulah petuah kuno orang bijak dari Jazirah Sulawesi Selatan soal pendidikan seks tingkat lanjut.

INFOGRAFIK HL Seks Kamasutra Nusantara

Dari tanah Jawa, tepatnya di pusat kebudayaan Jawa, setidaknya ada Serat Centhini yang digubah Raja Solo Susuhunan Pakubuwana V dengan dibantu Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Ngabehi Yasadipura II, dan Raden Ngabehi Sastradipura. Ketika memimpin penulisan, Susuhunan masih menjadi Adipati Anom, semacam Putra Mahkota.

Serat Centhini berbasis riset. Ketiga penulis keraton yang membantu Susuhanan harus menuju ke timur dan barat Pulau Jawa untuk mencari bahan, dan seorang lagi harus naik ke Mekkah, untuk menggali nilai-nilai Islam. Naskah ini rampung sekitar tahun 1814. Dan tak melulu bercerita soal perjalanan keturunan Sunan Giri setelah dikalahkan Pangeran Pekik.

Menurut Otto Sukatno CR dalam Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (2002), serat ini dalam 'Centhini II' (Pupuh Asmaradana) menjelaskan soal persetubuhan. Mulai dari lokasi genital yang sensitif, mempercepat orgasme bagi perempuan, serta menahan laju ejakulasi dini para lelaki. Dalam 'Centhini IV' (Pupuh Balabak) dibahas soal pratingkahing cumbana (gaya persetubuhan). Kitab ini dikenal sebagai suluk Tembangraras.

Apa yang ditulis oleh cendikia leluhur dari Melayu, Jawa dan Bugis di atas adalah contoh-contoh dari pendidikan seks klasik. Seks pranikah tak diajarkan dalam naskah-naskah yang terpengaruh Islam. Bahkan setelah menikah pun seks tak bisa dilakukan sembarangan. Semua ada aturannya. Itulah kenapa di beberapa kebudayaan Nusantara, seks menjadi nasihat tertulis dalam naskah-naskah kuno.

Baca juga artikel terkait SEKSUALITAS atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam