tirto.id - Almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menerima reaksi keras terkait wacana pornografi. Dilatarbelakangi oleh pro dan kontra mengenai pembahasan RUU Pornografi yang saat itu dibahas DPR pada 2006, Gus Dur sempat menyatakan bahwa Alquran adalah kitab paling porno sedunia. Ucapan ini segera menjadi masalah. Setidaknya KH. Ahmad Chamid Baidlowi, Pengasuh Pesantren Al Wadah, Rembang, sempat melaporkan Gus Dur atas dugaan penistaan agama pada 13 Juni 2006.
Ucapan Gus Dur pada 16 April 2006 itu merupakan reaksinya yang menolak RUU Pornografi. RUU ini dinilai akan jadi pasal karet karena definisi pornografi bisa sangat luas, tergantung pada tafisran otoritas da kehendak pidana. Dalam pemahaman tersebut, jika RUU Pornografi disahkan, maka kitab suci seperti Alquran—bagi Gus Dur—bisa dikategorikan sebagai kitab porno lantaran di dalamnya memuat pendidikan seksual.
Apa yang disampaikan Gus Dur sebenarnya adalah wacana umum dalam dunia pesantren. Sebab dalam Islam, demikian Gus Dur, pendidikan seks memang punya porsi penting bahkan sejak dari sumber utamanya: kitab suci. Dari mulai manusia yang diciptakan dari semburan air yang bersumber dari tulang sulbi laki-laki pada Surat Ath-Thariq ayat 6 dan 7, persoalan menstruasi perempuan serta larangan bersetubuh pada siklus tersebut pada Surat Al-Baqarah ayat 222 dan 223, sampai persoalan faakhisyah (homoseksual) dalam Al-A’raaf ayat 80 dan 81.
Maurice Bucaille dalam Bibel, Quran, dan Sains Modern menyebut Alquran memang menyajikan pengetahuan reproduksi secara teoritis tentang reproduksi manusia. Pembahasan anatomik dan fisiologis yang—tentu saja—disajikan dengan cara sangat sederhana sesuai bahasa dan ilmu pengetahuan yang berkembang pada era Alquran diturunkan. (Bucaille, 2003: 250-251).
Akan tetapi, dalam tradisi keilmuan Islam klasik, aspek-aspek praktis juga diajarkan, terutama bahasan mengenai kehidupan seksual. Sementara Alquran menjadi sumber dengan bahasa yang lebih general, hadis dan kitab-kitab klasik (atau biasa juga disebut kitab kuning) melengkapinya dalam pembahasan lebih kompleks, bahkan dengan detail-detail yang mengejutkan untuk ukuran pendidikan seks di abad ke-6 Masehi.
Kitab-kitab klasik yang dipelajari di pesantren tidak hanya mempelajari alat reproduksi pada bab-bab thaharah (bersuci) dalam kitab Bulugh Al-Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqolany, aspek sosial yang mengatur batasan pergaulan laki-laki dan perempuan dalam Riyadhus Ash-Sholihin karya Syeikh Al-Islamy Muhyiddin, tetapi juga tata cara bercinta dalam Qurrotul Uyun karya Syaikh Muhammad Al-Tahami.
Secara terminologi, pendidikan seks adalah bagian dari ilmu fikih. Dan bagi siapa pun yang pernah berada di balik dinding pesantren akan menganggap bahwa kitab-kitab yang terkait dengan bab jima’ (bercinta) ini adalah pembahasan yang menarik dan ditunggu-tunggu.
Premis senada diungkapkan dalam penelitan Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (1999: 126). Bruinessen mengatakan pendidikan seks dan bab pernikahan berada di urutan kedua paling digemari oleh para santri setelah bab muamalat.
Seperti halnya pendidikan seks yang berkembang dalam ilmu pengetahuan konvensional Barat, batas usia juga jadi wacana penting dalam jenjang pendidikan seks di pesantren. Pada usia remaja (12-15 tahun) atau tingkatan Madrasah Diniyah Awwaliyah (setara SMP), bab thaharah (bersuci) menjadi pembahasan pembuka. Diawali dari perkara jenis-jenis air untuk bersuci sampai bagaimana tata cara menyucikan diri, seperti perkara wudhu, tayamum, sampai mandi junub (mandi untuk menghilangkan hadast besar). Bab thaharah menjadi dasar karena suci dan cara bersuci adalah pondasi. Sebab, tanpanya, ada banyak ritual ibadah yang bisa jadi tidak sah.
Sebelum menginjak usia balig, para santri akan diberi pemahaman bagaimana menghadapi titik kematangan alat-alat reproduksi mereka, mimpi basah untuk santriwan dan menstruasi pertama bagi santriwati. Pemahaman dasar ini terkait bagaimana menyucikan diri dari kedua hadast besar tersebut.
Baru pada tahap berikutnya, tingkatan Madrasah Diniyah Wustho (usia setara SMA/ 16-18 tahun), bab munakahat (pernikahan) menjadi pembuka, dan bab kaifiyyatul jima’ (tata cara bercinta) menjadi pembahasan puncak.
Sudah barang tentu atmosfer mengaji kitab Qurrotul Uyun adalah atmosfer yang luar biasa unik di pesantren. Sorak-sorai akan sering kali keluar dari mulut santri karena mendengar istilah-istilah yang langka didengar di ruang publik—terutama pada latar pendidikan formal dan masih jadi tabu di tengah mayoritas di Indonesia.
Apalagi, pembahasan tak hanya pada perkara-perkara normatif seperti berdoa, melainkan proses pemanasan beserta adab-adabnya, yang dibahas cukup detail. Bahkan hingga perkara paling intim pun mendapatkan porsi proposional.
Sampai sekarang, rasanya sulit kita mencari lembaga pendidikan di Indonesia yang bisa membahas hubungan seksual secara total dan terbuka selain di pesantren. Jadi, jika Anda tertarik dan ingin tahu bagaimana pendidikan seksual dibicarakan secara detail dan menyenangkan, tanpa khawatir dicap tabu meski dengan rasa malu-malu, kunjungilah pesantren.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Fahri Salam