tirto.id - Ketika dunia sudah mulai melek dan menaruh perhatian pada sindrom baby blues atau depresi pascapersalinan, satu fenomena yang juga melekat pada keduanya masih terabaikan: depresi perinatal.
Bagai fenomena gunung es, depresi perinatal tak pernah muncul ke permukaan. Pasalnya, persepsi sosial menempatkan ibu hamil sebagai objek yang sepatutnya bahagia, alih-alih depresi dalam menyambut buah hatinya.
Britney Spears pernah menyuarakan isu kesehatan mental ini ke publik. Awal 2022 silam, melalui akun media sosialnya, Spears mengumumkan kehamilan ketiga sekaligus mengaku tengah berjuang melawan depresi perinatal.
“Harus kubilang bahwa depresi perinatal benar-benar mengerikan,” tulis Spears di akun Instagram.
Sebelum itu, persisnya pada November 2021, Spears memenangkan gugatan atas konservatori sang ayah terhadap dirinya. Kemenangan tersebut sekaligus memberikan Spears kebebasan untuk tidak berkontrasepsi. Sebelum itu, sang ayah memaksanya memakai IUD agar tidak hamil lagi.
National Institute of Mental Health mendeskripsikan gejala depresi ini dengan perasaan sedih, cemas, dan kelelahan ekstrem yang menyulitkan perempuan melakukan tugas sehari-hari.
Pemicunya merupakan kombinasi faktor genetik dan lingkungan, seperti stres, trauma, tuntutan sosial tentang perawatan bayi atau ekspektasi ideal sebagai seorang “ibu”, juga perubahan hormon.
Ya, kita semua tahu, ketika perempuan hamil, hidupnya bukan lagi tentang dirinya sendiri. Ada napas yang bergantung dari makanan yang dia telan, setiap langkah kaki yang dia dedikasikan untuk kemudahan persalinan, hingga kepatuhan terhadap mitos-mitos yang seharusnya tak perlu dijalankan.
Lain itu, ada “standar kepatutan” yang juga disematkan ketika perempuan menjadi ibu: welas asih, lemah lembut, dan penuh kasih sayang.
Semua hal itu dibebankan seketika dengan hanya transisi singkat, tanpa ada pemakluman ketika perempuan dianggap “melenceng” dari standar tersebut.
Contoh sederhana saja, soal jam tidur. Di Indonesia, perempuan hamil sering kali dilarang tidur di pagi hari. Alasannya macam-macam, mulai dari mitos sel darah putih yang naik, sampai ketidakpatutan karena dianggap malas.
Padahal, saat hamil, perempuan akan sulit tidur di malam hari akibat siklus gerak bayi lebih aktif saat malam, atau sakit punggung tak tertahan, sesak, sampai rasa terbakar di dada. Alih-alih sehat, aturan-aturan ini justru membuat jam tidur perempuan jadi berantakan dan mendekatkan mereka pada pemicu stres.
Spears dengan segala latar belakang perjuangan atas kesehatan mental dan hak-hak reproduksinya telah membuka mata dunia bahwa depresi perinatal nyata dan lazim memengaruhi perempuan selama masa-masa kehamilan.
Kisah seorang perempuan Amerika Serikat bernama Robertello yang mengalami depresi perinatal adalah representasi banyak perempuan di dunia. Saat mengalami kehamilan di trimester pertama, dia mulai merasakan perubahan emosi yang tak lazim: tak bahagia.
“Padahal, kami (dia dan suami) ingin punya anak. Namun ini terasa sangat sulit. Rasanya seperti mendapat sesuatu yang tidak direncanakan,” aku Robertello dalam sesi wawancara bersama Washington Post pada 2022 silam.
Selama periode kehamilannya, Robertello merasa lelah luar biasa dan tidak bersemangat. Dia sudah mencoba melakukan hal-hal “menyenangkan” seperti tradisi yang dilakukan ibu hamil umumnya, yakni mengambil sesi foto kehamilan dan persalinan. Hingga pascamelahirkan, dia ikut memandikan bayinya. Namun semua seakan sia-sia belaka. Robertello tetap merasa tak bergairah.
“Aku seperti melakukan gerakan-gerakan kosong belaka. Sebenarnya aku merasa sangat tidak bersemangat.”
Perubahan ekstrem pada suasana hati seperti yang dialami Robertello, misal menjadi marah atau tidak bahagia menyambut kehamilan, sulit tidur, dan kehilangan nafsu makan, merupakan gejala umum dalam diagnosis depresi perinatal. Gejala ini mulai berjalan sejak awal kehamilan sampai dua tahun pascamelahirkan.
Mereka bahkan mengalami depresi level mayor saat masa kehamilan. Statistik ini memberi gambaran tentang betapa umumnya pengalaman depresi perinatal. Namun, lagi-lagi, isu ini masih jarang dibicarakan.
Sebuah studi yang terbit di jurnal Women's Health (2010) memvalidasi fenomena ini. Mayoritas perempuan dengan diagnosis depresi setelah melahirkan tak pernah menerima perawatan kesehatan mental selama kehamilan atau pascapersalinan.
Artinya, selama periode tersebut, perempuan-perempuan itu menanggung beban mental bersama dengan janinnya. Padahal depresi perinatal dengan gejala parah yang tak tertangani berisiko pada kesehatan ibu dan bayi.
Contoh dampak depresi ibu terhadap janinnya muncul dalam jurnal Epigenomics (2021). Para peneliti dari National Institutes of Health di Bethesda menemukan bahwa perasaan stres atau depresi saat hamil memengaruhi plasenta tempat janin tumbuh sehingga mengubah aktivitas gen.
Selain tempat tumbuh janin, plasenta juga merupakan tempat membuat neurotransmitter yang dibutuhkan untuk perkembangan otak janin. Singkatnya, janin yang sedang berkembang terbukti sensitif terhadap kondisi ibu selama kehamilan, termasuk gejala depresi.
Penelitian lebih awal berjudul "The persisting effect of maternal mood in pregnancy on childhood psychopathology" (2014) bahkan mengaitkan depresi selama kehamilan dengan gangguan perilaku dan emosional selama masa kanak-kanak. Keadaan ini juga bisa berlanjut pada risiko depresi hingga usia 18 tahun.
Karena itulah, guna mengeliminasi depresi perinatal, ibu hamil butuh sistem pendukung yang positif. Dunia perlu tahu bahwa bayi tak butuh ibu yang sempurna. Bayi membutuhkan ibu yang bahagia dan sehat untuk hadir dan membersamai tumbuh-kembang mereka secara optimal.
* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 11 Mei 2022.Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi & Yemima Lintang