tirto.id - Partus, lazimnya jadi kabar menggembirakan bagi mama-mama. Tapi buat Nadia (30) justru sebaliknya. Ada kecemasan berkelindan menjelang partus atau persalinan ibu muda itu. Seperti tak berujung, hari-harinya bergulat dengan kegalauan pikiran.
Pemeriksaan kandungan pertama, pada layar Ultrasonografi (USG) diketahui usia kehamilan 12 minggu. Anak kembar kata dokter. Namun alih-alih bahagia, Ia justru cemas, mengingat kondisi keuangan rumah tangganya yang belum stabil.
“Aku sama almarhum suamiku shock. Gimana kita ngerawat bayi ini? Namun akhirnya kami coba menerima. Biarlah gimana nanti,” ujar Nadia mengawali ceritanya pada Tirto, Senin (11/9/2023).
Pada kontrol kehamilan selanjutnya, janin Nadia didiagnosis twin to twin transfusion syndrome (TTTS). Sebuah kondisi pada kehamilan kembar dengan satu plasenta, di mana salah satu janin menjadi donor bagi janin lain, sehingga pertumbuhan janin pendonor menjadi terhambat.
Dan memang, salah satu janin Nadia mengalami pertumbuhan yang lambat dan direkomendasikan untuk dilakukan operasi. Dengan kondisi keluarga yang tak punya cukup uang, Nadia memilih untuk tidak melakukan operasi, dengan syarat, Ia harus tetap melakukan kontrol setiap dua pekan untuk memantau perkembangan si janin.
“Aku mulai stress di situ. Tiap kontrol, gimana naik ga nih, berat badannya dan sebagainya. Nah pas usia kehamilan enam bulan, aku dipecat. Tentu aku tambah stres,” ungkapnya.
Singkat cerita, Nadia harus melahirkan di usia kehamilan 30 minggu. Kelahiran prematur. Dokter bilang, kemungkinan hidup kedua janinnya 80:20, artinya 80 persen bagi janin penerima donor, 20 persen bagi janin pendonor.
Hari-hari di NICU sungguh menyiksa bagi Nadia. “Tiap hari ada aja yang bikin aku tambah stres. ‘Bu bayi satu, kejang. Bu, bayi dua, gagal napas. Jadi tiap hari mental aku dimainin terus.”
Hari ke-36, salah satu bayinya, Kirana, dibolehkan pulang. Namun, Kimora sang kakak, harus meninggal seminggu setelah Kirana berada di rumah.
“Aku datang ke RSCM jam empat pagi, bayiku sudah kritis. Jam 10 pagi, lagi kugendong, anak aku meninggal. Meninggal di tanganku. Di situ aku udah trauma berat,” ujar Nadia dengan suara bergetar, namun masih berusaha tertawa.
“Aku bilang ke Kimora, saat Ia dimandikan, ‘Kak, adikmu habis mandi pakai minyak telon, kok kamu habis mandi pakai kapur barus? Ayo bangun Kak.’”
Membenci Anak Sendiri
Kehilangan Kimora memberikan luka mendalam bagi Nadia. Terlebih, ikatannya memang lebih erat ketimbang dengan Kirana. Kimora juga dimakamkan beberapa depa saja dari rumah.
Sering, dalam periode berduka dan depresif itu, dalam kesendiriannya Nadia berandai-andai Kimora bangun lagi. Di sisi lain, Ia masih tetap mengurus Kirana pula, memandikan, mengganti popok hingga menyusuinya tengah malam.
“Tapi aku jadi benci. Apalagi muka mereka mirip ya. Setiap aku lihat dia, aku kayak lihat kakaknya. Jadi merasa bersalah. Aku jadi enggak mau nyusuin dia,” ujar Nadia.
Hingga puncaknya, pada suatu malam, Nadia yang sudah kelelahan, merasa kosong, Ia membanting Kirana, bayi prematurnya yang belum genap dua bulan itu ke kasur. Sang suami melihatnya dan sontak menangis.
“Dia enggak salah. Aku yang salah. Aku yang enggak jagain kamu dan anak-anak. Aku mohon Kirana jangan dibanting.”
“Aku enggak mau nyusuin dia. Aku benci. Aku enggak mau lihat muka dia lagi.”
Kondisi itu berlangsung selama cukup lama, sampai akhirnya suami menyarankan Nadia menemui psikolog setelah berkenalan dengan Motherhope Indonesia–sebuah komunitas/support group bagi para ibu yang mengalami depresi.
Walhasil, Nadia didiagnosa mengalami postpartum depression (PPD) atau depresi pascamelahirkan dan post-traumatic stress disorder (PTSD) atau gangguan stress pascatrauma melahirkan.
Perlu waktu lama untuk pulih, hampir setahun lebih. Itu pun Nadia harus mengalami kehilangan besar berikutnya, pada Juli 2020 sang suami meninggal.
“Dari situ aku justru sadar, kalau bukan aku yang jaga anakku, yang ngerawat anakku, ya siapa lagi,” kata Nadia.
Kendati demikian, rasa sayangnya kepada Kirana tak lantas muncul sepenuhnya. Nadia perlu waktu memproses perasaannya kembali usai kehilangan sang suami.
“Aku baru sayang banget sama Kirana ya akhir 2021. Itu aku baru sadar, selama ini dia itu penyembuh luka aku. Dia senyum aja aku udah bahagia banget. Apalagi kalau aku kangen suamiku,” kata Nadia.
Kisah Tita
Ini kehamilan ketiga namun persalinan pertama bagi Tita (36). Dua kehamilan sebelumnya, Ia alami keguguran di trimester pertama. Kehamilan ketiganya ini pun, setelah didesak oleh sang mertua, lantaran suami Tita ketahuan selingkuh.
Tita merupakan penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ia kerap mendapat kekerasan psikis dan finansial dari sang suami. Hal itu terus berlangsung selama kurang lebih setahun, selama hamil hingga melahirkan.
Pada 2015, Tita harus melahirkan lebih awal di minggu ke 35 karena ketuban yang sudah pecah dan menghijau. Kendati bayinya sehat, kondisinya tak bisa dibilang baik-baik saja. Ia baru benar-benar bisa berkomunikasi belasan jam setelah operasi. Suami yang seharusnya mendampingi, tak ada di sisinya.
Setelahnya, ia kembali mendapat kekerasan dari sang suami. Sampai pada suatu momen, ia memutuskan cerai dan meminta visum. Saat tengah menjalani visum, dokter yang menanganinya menyarankan ia bertemu psikolog.
“Mungkin dia melihat ada sesuatu yang aneh di aku. Katanya aku terlihat sangat kelelahan,” ungkap Tita kepada Tirto, Senin (11/9/2023).
“Saat itu, aku memang merasa seperti zombie. Tak ada semangat. Ya hampa aja, kalau enggak hampa, sedih.”
Beberapa kali ia berteriak histeris kepada bayinya yang sedang tantrum sebagai manifestasi rasa frustrasinya.
“Kadang kalau lagi capek banget, anakku nangis kudiemin. Bahkan kuteriakin balik, kunangisin balik, saking stresnya,” ujar Tita.
Tita tak bercerita kepada siapapun, termasuk ibunya. Menurutnya, adalah aib dan malu ketika harus menceritakan masalah rumah tangganya ke orang lain.
“Apalagi stigma orang tahunya korban KDRT itu ya yang berpendidikan rendah, tidak bekerja formal. Sementara aku, wanita bekerja. Jadi cukup malu juga kalau cerita. Khawatir juga teman-temanku jadi ikut benci ke suamiku,” cerita Tita.
Pada akhirnya, Tita didiagnosa PTSD. “Ini yang bikin aku mikir, ‘it is enough’.”
Sebagaimana layaknya terjebak dalam hubungan beracun yang sulit keluar dan juga korban gaslighting, Tita rujuk dengan sang suami hingga hamil anak kedua. Namun, drama rumah tangganya juga ikut muncul kembali sehingga ia benar-benar memutuskan pisah pada Desember 2015 dan resmi bercerai di 2016, sesaat setelah anak keduanya lahir.
Menariknya, pascapersalinan ia tak mengalami depresi sebagaimana pada persalinan pertama. “Karena sudah benar-benar pisah rumah, aku sudah tenang waktu itu.”
Sejak 2015, Tita masih menjalani konseling hingga saat ini kendati tak seintens awal-awal masa depresinya.
“Ini aku bicara mungkin masih patah-patah, tapi percayalah ini sudah jauh lebih baik. Dulu aku ngomong satu kalimat aja enggak selesai. Karena memang, mentally, aku patah waktu itu.”
=======
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika Anda merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut, amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Muhammad Taufiq