Menuju konten utama
Renungan di Momen Lebaran

Berdamai dengan Rasa Malu, Bangun Lagi Kepercayaan Dirimu

Rasa malu dapat digunakan sebagai alat kontrol diri dan pembelajaran, alih-alih penghukuman terhadap diri sendiri.

Berdamai dengan Rasa Malu, Bangun Lagi Kepercayaan Dirimu
Header diajeng Pentingnya Memiliki Rasa Malu. tirto.id/Quita

tirto.id - Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak pernah mengalami rasa malu (shame).

Sudah tentu, kita semua pernah merasa malu—dari yang kadarnya kecil dan sekadar menimbulkan ketidaknyamanan, sampai yang kadarnya tinggi sehingga membuat kita merasa rendah diri, tidak cukup baik, atau tidak berharga.

Menurut Divani Aery Lovian, M.Sc, M.Psi., Psikolog, psikolog klinis di TigaGenerasi, ⁠Arsanara Development Partner, dan TemanBincang, rasa malu merupakan emosi yang berkaitan dengan identitas dan harga diri seseorang.

“Rasa malu memiliki kaitan yang sangat erat dengan harga diri, bahkan ada beberapa penelitian yang mungkin sudah menemukan korelasi antara keduanya,” ujar Diva.

Sebuah studi yang terbit di Europe’s Journal of Psychology (2021) mencoba menghubungkan rasa malu dengan harga diri.

Tim peneliti menyebutkan bahwa rasa malu secara umum digambarkan sebagai sebuah emosi negatif yang kuat.

Apabila kita merasakan emosi ini terus-menerus, dampaknya bisa jadi sangat menyakitkan sampai membuat kita putus asa sehingga harga diri merosot tajam.

“Korelasinya terbalik. Jika seseorang memiliki tingkat shame tinggi, maka tingkat self-esteem akan rendah—begitu pula sebaliknya."

"Ini memang emosi yang sangat kompleks dan sangat kurang adaptif, mungkin bukan negatif tapi kurang adaptif buat individu,” ungkap perempuan yang menyelesaikan studi psikologi klinis di Leiden University dan Fakultas Psikologi UI ini.

Ilustrasi Sedih

Ilustrasi Sedih. foto/IStockphoto

Rasa malu biasanya muncul dalam konteks sosial.

Misalnya, ketika seseorang mendapati situasi yang dialami tidak sesuai dengan ekspektasinya, baik ekspektasi yang datang dari diri sendiri maupun dari lingkungan sekitarnya.

Semakin sering merasa malu atau dipermalukan, seseorang bisa kehilangan rasa percaya diri dan merasa tidak layak dicintai.

Apabila dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang menjadi anxiety disorder atau gangguan kecemasan, hingga depresi.

Menurut penjelasan Diva, faktor internal dan eksternal dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap rasa malu.

Faktor internal merujuk pada karakter individu yang cenderung neurotik, mudah cemas, serta sensitif terhadap kritik dan input negatif dari lingkungan.

Sementara itu, faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan, pola asuh, dan budaya. Orang yang tumbuh dalam keluarga penuh kritik, penghukuman, dan kurang validasi cenderung membawa pola pikir negatif tentang diri mereka ke masa dewasa.

"Jika kita terus-menerus mendengar narasi negatif tentang diri kita dan kurang mendapat dukungan dalam melakukan apa yang kita inginkan, itu akan tertanam dalam diri bahwa kita memang seperti itu, tidak layak untuk dicintai dan tidak kompeten."

"Akhirnya," kata Diva, "akan cenderung mudah mengalami emosi shame ini ketika sudah lebih dewasa.”

Budaya juga memiliki pengaruh yang signifikan. Di benua Asia, misalnya, menjaga image atau citra sangatlah penting.

Akibatnya, masyarakat lebih mudah merasa malu ketika tindak-tanduknya dipandang tidak sesuai dengan norma sosial.

Di Indonesia, konsep saving face juga tergolong masih cukup kuat. Dalam konteks ini, kebanyakan orang akan berusaha menghindari sikap atau ucapan yang tidak sesuai dengan standar, nilai-nilai sosial, atau “kotak-kotak” yang sudah dibuat masyarakat.

Tips untuk Pulih dari Rasa Malu

Mengatasi rasa malu bukanlah hal yang mudah, terutama bagi mereka yang telah terbiasa dengan pola pikir negatif.

Meski begitu, bukan berarti rasa malu tersebut tidak bisa diatasi.

Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk mengatasi rasa malu adalah dengan mengenali dan memvalidasi emosi tersebut.

Diva mengatakan, “Semua emosi itu valid. Ada baiknya kita akui dulu. Jadi, kita kenali emosi bernama shame ini—yang muncul ketika kita mungkin mendapati sesuatu tidak sesuai dengan ekspektasi. Kemudian, kita terima emosinya tanpa penghakiman terhadap diri sendiri.”

“Karena semua emosi itu pasti membawa pesan yang valid. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita meresponsnya,” imbuh Diva.

Salah satu respons umum terhadap shame adalah menarik diri dari lingkungan sosial. Padahal, keterhubungan dengan orang-orang yang suportif justru penting untuk membantu kita mengatur emosi lebih baik dan keluar dari jebakan pikiran negatif.

Maka dari itu, lanjut ke langkah kedua, kita harus tetap terhubung dengan support system.

Orang-orang yang kita percayai dan mendukung kita memiliki peran penting untuk membantu menurunkan intensitas rasa malu dan meminimalkan dampak negatifnya.

Langkah ketiga adalah reframing atau mengubah pola pikir.

Alih-alih terlarut pada kejadian yang sudah lalu dan mustahil diubah, akan lebih baik jika kita reframing pikiran dan fokus pada apa yang bisa dilakukan selanjutnya.

Langkah ini akan membantu mengurangi intensitas emosi, meskipun tidak langsung membuat kita pulih karena prosesnya bertahap.

“Kunci dari semua upaya ini adalah self-awareness. Saat kita sudah lebih kenal dengan diri kita, maka kita akan tahu polanya sampai muncul rasa malu. Self-awareness juga membantu mengumpulkan data tentang diri kita, situasinya apa, apa yang muncul di pikiran kita, apa yang kita rasa lalu apa yang kita lakukan."

"Dengan adanya data ini, kita jadi lebih mudah untuk membuat strategi untuk ke depannya,” jelas Diva.

Ilustrasi Bersedih

Ilustrasi Bersedih. foto/istockphoto

Healthy Shame: Saat Rasa Malu Membantu Perkembangan Diri

Meskipun sering dianggap merusak, rasa malu bisa jadi menyehatkan apabila dipahami dan dikelola dengan baik.

Healthy shame merujuk pada rasa malu yang digunakan sebagai alat kontrol diri dan pembelajaran, alih-alih sebagai penghukuman terhadap diri sendiri.

Shame akan menjadi sehat dan adaptif jika dijadikan regulasi untuk tindakan kita dan membantu kita belajar dari kesalahan, sehingga kita bisa berkembang menjadi lebih baik,” kata Diva.

Meski terdengar ideal, menerapkan healthy shame tidaklah mudah.

Tak sedikit orang yang terjebak dalam pola pikir negatif sedari kecil. Mereka pun cenderung mengalami kesulitan untuk membebaskan diri karena sudah telanjur mendefinisikan identitasnya berdasarkan rasa malu.

Maka dari itu, menurut Diva, selain menjadikan rasa malu sebagai umpan balik untuk mendorong diri menjadi lebih baik, kita juga harus fokus pada tindakan, alih-alih identitas diri.

Ambil contohnya seperti berikut.

Apabila kita tidak mendapatkan penugasan proyek di kantor, bukan berarti kita orang yang bodoh atau tidak kompeten dalam bekerja. Bisa jadi, proyek tersebut di luar area of expertise atau keahlian kita.

Contoh lainnya, saat relasi percintaan berakhir, bukan berarti kita tidak layak untuk dicintai dan disayangi. Sudah tentu terdapat berbagai faktor lain yang membuat relasi itu sudah tidak sehat.

Satu hal lagi yang ditekankan Diva dalam menciptakan healthy shame adalah self-compassion atau welas asih terhadap diri sendiri.

Self-compassion adalah keterampilan dan bisa dipelajari. Perlu banyak latihan untuk memandang situasi, meningkatkan ketahanan emosional, dan juga fokus membedakan identitas diri kita dengan apa yang kita lakukan.”

“Kalau sudah dicoba dan dirasa sulit untuk melakukannya sendiri, bisa meminta bantuan dari tenaga profesional untuk melakukan hal ini,” tegas Diva.

Rasa malu adalah emosi yang kompleks dan dapat menimbulkan dampak besar pada kondisi mental kita.

Sepanjang kita mampu mengelola dan mengendalikannya dengan baik, perasaan malu bisa menjadi alat refleksi yang membantu diri bertumbuh.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yunita Lianingtyas

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Yunita Lianingtyas
Penulis: Yunita Lianingtyas
Editor: Sekar Kinasih