tirto.id - Momen lebaran menjadi kesempatan berharga untuk bersilaturahmi dengan sanak saudara, teman, dan relasi yang mungkin jarang kita temui.
Di satu sisi, hari suka cita tersebut terkadang bisa jadi momok bagi beberapa orang.
Mengapa begitu?
Alasannya, tak jarang di momen kumpul-kumpul itu akan muncul pertanyaan maupun cerita-cerita mengenai pencapaian atau kesuksesan.
Misalnya, cerita soal sepupu mendapatkan pekerjaan baru, teman yang memiliki pasangan atau momongan, kenalan yang masuk ke universitas ternama, dan lain sebagainya.
Ujung-ujungnya, bisa ditebak, bukan?
Alih-alih merasa termotivasi, kamu yang tengah berjuang dan merintis untuk meraih kondisi lebih baik terkadang justru merasa terpuruk dan kecewa.
Rasa kecewa ini bisa muncul karena kamu menyadari bahwa diri sendiri belum sukses, atau karena kamu mendengar cerita-cerita kesuksesan dari orang-orang di sekitarmu.
Nyatanya, reaksi tersebut lumrah.
Lucia Peppy Novianti, M.Psi., Psikolog menjelaskan bahwa kesuksesan atau pencapaian orang lain memang dapat menimbulkan perasaan kecewa atau membuat kita merasa terancam.
Sebab, pada prinsipnya, segala hal yang kita lihat, dengar, atau amati adalah sumber stimulus dari pemikiran dan penilaian kita.
"Ketika kita melihat dan memaknai sesuatu, sering kali ada sikap yang otomatis membandingkan apa yang dimiliki diri sendiri. Pada proses memersepsi tersebut, aspek emosional juga terlibat," katanya.
Nah, saat yang muncul lebih banyak adalah penilaian atau kesadaran yang bernilai negatif, maka mood juga mudah memburuk.
"Situasi tersebut akan mudah membawa kita pada kondisi tidak nyaman, yang kemudian dapat pula memunculkan emosi kekecewaan atau kondisi seperti terancam. Padahal sebetulnya tidak ada hal yang secara nyata bermaksud mengancam kita,"
Kendati demikian, tidak ada yang salah dengan emosi tersebut.
Merasakan hal-hal di atas juga tidak akan menjadikanmu sebagai orang yang buruk. Malahan menunjukkan kamu sebagai manusia.
"Sangat wajar untuk merasakan kekhawatiran tentang masa depan atau tujuan kita sendiri," kata Miriam Kirmayer, seorang psikolog klinis dan pakar persahabatan dikutip dari Vice.
Pertanyaan menarik berikutnya, bagaimana seharusnya kita bersikap ketika dihadapkan pada situasi harus mendengarkan segala cerita kesuksesan tersebut?
Peppy yang juga CEO Wiloka Workshop Yogyakarta mengatakan hal yang paling mendasar adalah menyiapkan dan mengingatkan diri untuk terus bersikap grounding saat sedang menilai dan membandingkan diri dengan orang lain.
"Bersikap grounding berarti kembali berfokus pada diri. Alih-alih berfokus untuk mencari apa yang kurang atau apa yang dicapai, fokuslah pada sensasi yang dirasakan, apa yang muncul di kepala dan apa yang diinginkan, dan melihat apa yang sudah kita lakukan, sedang terjadi, atau hal-hal baik yang sudah kita kerjakan," jelas Peppy.
Alternatif pendekatan lain yang bisa diterapkan adalah memberanikan diri untuk jujur mengakui perasaanmu pada teman atau saudara.
Sampaikan bahwa kamu tidak merasa baik-baik saja dengan topik pembahasan tentang kesuksesan dan pencapaian.
Dalam situasi tersebut, melansir artikel di Self, Adia Gooden, PhD, psikolog klinis dan pembawa acara podcast Unconditionally Worthy menyarankan kalimat seperti berikut.
Gooden menegaskan, pendekatan di atas dapat diambil jika rasa iri atau cemburu—yang kerap muncul menyertai emosi kekecewaan—benar-benar memengaruhi relasimu atau sudah menjadi masalah yang berulang.
Meski merupakan emosi yang alami, bukan berarti kekecewaan dapat kamu biarkan berlangsung terus-terus.
Pasalnya, jika rasa kecewa dibiarkan bersemayam di hati dan pikiran terlalu lama, bukan tidak mungkin berisiko pada kesehatan mental diri sendiri.
Misalnya begini.
Kekecewaan tidak hanya menimbulkan dendam terhadap orang-orang di sekitar kita, melainkan dapat menciptakan kecemasan dan stres dalam tubuh yang berakar dari rasa takut. Perlahan, kita mungkin mulai percaya bahwa orang lain harus gagal agar kita berhasil.
"Kekecewaan dapat menjadi tantangan bagi banyak orang karena sering kali menyentuh perasaan yang lebih dalam tentang ketidakmampuan, kehilangan, dan harapan yang tidak terpenuhi,” ujar Sandra Kushnir, LMFT, terapis pernikahan dan keluarga berlisensi serta pendiri dan CEO di Meridian Counseling dikutip dari Very Well Mind.
Kushnir melanjutkan, “Itulah mengapa kekecewaan dapat mengguncang rasa kendali kita dan memicu respons emosional yang dapat menyebabkan kecemasan, kemarahan, atau kesedihan."
Saat menyadari diri dalam situasi kecewa yang berlarut, menurut Peppy cara terbaik untuk menyikapinya adalah dengan kembali berpegang pada prinsip mengelola emosi dengan memberi ruang terhadap emosi kecewa yang dirasakan tersebut.
"Kenali bagaimana kecewa itu, apa kata-kata yang muncul, bagaimana kekecewaan yang berlarut-larut tersebut berdampak pada pikiran serta tubuh dan aktivitas sehari-hari kamu," ujar Peppy.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengupayakan diri supaya mendapatkan energi positif, misalnya dengan melakukan kegiatan yang disukai.
Ketika berada dalam kondisi kecewa, kita cenderung mengerahkan energi entah untuk memproses rasa kecewa itu, atau memperbaiki diri, sehingga penting untuk memberikan energi positif dalam diri.
Dengan kemampuan mengelola emosi, kamu akhirnya bisa memanfaatkan rasa kecewa itu secara lebih positif.
Artinya, kamu jadi lebih memahami bahwa keberhasilan teman-teman atau orang di sekitar tidak terkait dengan kesuksesanmu
Contohnya, kamu bisa memandang keberhasilan orang lain sebagai pertanda agar lebih yakin pada diri sendiri dan termotivasi. Jika mereka bisa sukses dengan caranya, kamu tentu dapat sukses dengan caramu.
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mendefinisikan kesuksesan diri sendiri?
Salah satu caranya, kamu bisa memulai dengan menulis poin-poin kesuksesan sesuai versimu dan nilai-nilai yang kamu pegang teguh.
Fokus dan tekunlah pada jalan yang sudah kamu pilih sehingga tidak ada ruang untuk memikirkan prestasi orang lain sebagai ancaman.
"Satu-satunya orang yang harus kamu bandingkan dengan diri sendiri adalah kamu yang kemarin," kata Amy Morin, psikoterapis dan penulis buku 13 Things Mentally Strong People Don't Do (2014).
Peppy menambahkan, untuk meyakinkan diri sendiri bawa saat ini kita sedang berproses ke arah yang baik, perlu dicoba latihan bersikap adil terhadap diri sendiri.
Ketika melihat kesuksesan orang lain, ajaklah pikiranmu untuk merenungi lagi apa yang selama ini sudah kamu lakukan, hal-hal yang membuatmu bahagia, dan siapa saja orang-orang di sekitar yang telah merasakan manfaat dari keberadaan dirimu.
"Menjaga diri tetap bersikap adil diharapkan dapat membuat kita menjadi lebih berenergi untuk mengelola diri ketika sedang tak yakin bahwa saat ini kita tengah menjalani proses dan dipenuhi dengan pikiran-pikiran negatif," pungkas Peppy.
Ya, pada akhirnya, kekecewaan tidak akan terlepas dari kehidupan kita sebagai manusia.
Namun, tatkala rasa kecewa mendera, ingatlah bahwa emosi itu tidak akan bertahan selamanya dan akan membaik seiring berjalan waktu.
Maka, berikan waktu sejenak pada diri sendiri untuk menyelami perasaan tersebut.
Jangan sungkan melibatkan orang-orang yang kamu percaya apabila diperlukan untuk mendukungmu menghadapi masa-masa sulit itu.
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih