tirto.id - Yuna merasa bahunya sering pegal. Badannya mudah lelah. Energinya cepet meredup. Rasanya berat untuk semangat.
Sensasi-sensasi itu semua ia rasakan terutama menjelang tidur atau saat bangun pagi.
Perempuan berusia 30 tahun ini ternyata tengah merasa stuck dengan kariernya. Di kantor, pikirnya, bosnya selalu membebani tugas-tugas tambahan. Sedangkan rekan kerjanya yang lain tidak pernah ditugasi ekstra.
Yuna juga menganggap kantor kurang apresiatif dengan hasil kinerjanya.
"Ingin resign saja. Namun belum menemukan kantor baru yang cocok. Tiap pagi rasanya malas sekali ke kantor," keluhnya.
Unsur-unsur negatif yang membayangi hari-hari Yuna mungkin jamak juga ditemui dalam kehidupan sebagian dari kita.
Meski memiliki pandangan yang buruk atau pesimis terkesan lazim atau biasa dilakukan, sebenarnya segala bentuk pandangan dan pikiran yang bersifat negatif—atau negativisme—dapat memengaruhi lebih dari sekadar kesehatan emosional kita.
Melansir artikel Marque Medical, pakar medis menunjukkan bahwa orang dengan negativitas kemungkinan lebih tinggi menderita penyakit otak degeneratif, masalah kardiovaskular, masalah pencernaan, dan cenderung memerlukan waktu lebih lama untuk sembuh dari penyakit daripada orang-orang yang berpikiran positif.
Yang memprihatinkan, negativitas dapat menjadi kebiasaan.
Coba, diingat-ingat, apa kamu termasuk golongan yang hobi mengkritik segala hal, berpikir sinis, atau kerap menyangkal ucapan orang lain?
Kalau iya, hal-hal tersebut berpotensi menciptakan jalur saraf di otak yang mendorong dirimu untuk merasakan kesedihan.
Kecenderungan berpikir negatif juga bisa membikin otak kita jadi lebih mudah mendistorsi kebenaran, atau bahasa gamblangnya, memutarbalikkan fakta.
Pendek kata, kebiasaan berpikir negatif membuat kita semakin sulit memutus siklusnya.
Selain bersikap sinis, negativitas dalam kehidupan sehari-hari juga dapat termanifestasi dalam bentuk sikap menyimpan kebencian, memiliki pikiran yang terpolarisasi baik atau buruk saja (melihat sesuatu selalu hitam atau putih), membandingkan diri dengan orang lain, memberi label diri sendiri atau orang lain, selalu berpikir buruk ke depan, menyalahkan orang lain, sampai menganggap diri adalah korban.
Pikiran dan emosi negatif dalam batas wajar merupakan respons alami terhadap segala hal yang tak terduga dalam hidup, dari rasa luka hati sampai marabahaya.
Melansir Healthline, terapis Gillian Fagan berbasis di Dublin menuturkan, secara biologis, manusia memiliki bias negatif. Arti sederhananya, kepala kita sebenarnya dirancang untuk fokus pada hal-hal negatif.
“Otak kita terprogram untuk hal-hal negatif, karena manusia terprogram untuk bertahan hidup,” jelas Fagan.
“Lebih naluriah bagi kita untuk berharap yang terburuk, mengasumsikan kemungkinan hal-hal terburuk, berhati-hati, dan lamban dalam melakukan perubahan. Apabila kita pada dasarnya fokus pada upaya bertahan hidup, artinya kita mengkhawatirkan hal-hal yang mungkin terjadi.”
Meski begitu, pikiran negatif yang berkepanjangan dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius karena membuat tubuh stres atau dalam mode 'lawan atau kabur'.
Coba, bayangkan saat diri kita stres, tubuh kita akan melepaskan kortisol ke dalam aliran darah. Akibatnya, kita jadi lebih waspada dan fokus.
Memang betul, ada 'stres baik' yang bermanfaat bagi kita, akan tetapi kebanyakan stres juga dapat merusak kesehatan.
Apabila kita berpikiran negatif terus-menerus, masih menurut Marque Medical, kerja pencernaan kita bisa jadi melambat, bahkan kemampuan sistem kekebalan tubuh kita untuk melawan inflamasi atau peradangan dapat berkurang.
Itulah sebabnya mengapa orang yang kerap berpandangan negatif lebih mudah sakit daripada orang yang optimis.
Umumnya, orang yang berpikiran negatif cenderung merasa sakit kepala, nyeri dada, kelelahan, sakit perut, insomnia, mengalami kecemasan dan depresi, menarik diri dari pergaulan, perubahan drastis dalam metabolisme, seperti makan berlebihan atau kurang makan.
Pikiran negatif juga merusak kesehatan mental, sehingga mereka cenderung terjebak dalam kebiasaan merokok atau penyalahgunaan zat sebagai cara untuk mengatasi masalahnya.
Penting diingat, pola pikir dan kesehatan saling terkait. Biasanya, jika kita telanjur terbiasa berpikir negatif, rasanya akan jauh lebih sulit untuk melihat sisi terang dalam segala hal.
Jer Clifton Ph.D. dalam artikelnya di Psyschology Today menyampaikan riset yang pernah dikerjakan bersama koleganya, Peter Meindl, pada 2020.
Salah satu temuan mereka menyebutkan, memiliki keyakinan bahwa dunia adalah tempat yang buruk dapat dikaitkan dengan depresi, percobaan bunuh diri, termasuk perasaan tidak suka terhadap pekerjaan atau perasaan kurang berprestasi dalam pekerjaan.
Yang jadi pertanyaan, apakah dampak negativisme selalu personal atau berkaitan pada diri sendiri?
Oh, ternyata tidak. Pengaruhnya juga bisa bersifat interpersonal alias berkaitan dengan orang lain.
Hal tersebut dijelaskan oleh Clifton melalui penelitian oleh Ed Lemay dan Jennifer Cutri dari University of Maryland yang baru-baru ini terbit di The Journal of Positive Psychology (2024).
Lemay dan Cutri meneliti 159 pasangan, atau 318 orang responden, selama 14 hari.
Setiap hari, setiap pasangan diminta mencatat pikiran dan perasaan mereka tentang kepuasan dalam hubungannya, perasaan positif dan negatif yang ditunjukkan oleh pasangannya, dan seberapa besar mereka percaya bahwa pada hari tersebut dunia adalah tempat yang baik.
Lemay dan Cutri mendapati bahwa pada hari-hari tertentu, respondennya bisa, dan memang, mengambil keputusan untuk memandang dunia dengan cara berbeda-beda.
Clifton menambahkan, sedari lama kalangan psikolog mengetahui bahwa pandangan manusia terhadap dunia, atau istilahnya ‘keyakinan dunia primal’, cukup stabil dari waktu ke waktu.
Menariknya, meski pandangan tersebut rata-rata stabil, ternyata masih dapat sedikit berbeda dari hari ke hari.
Nah, Lemay dan Cutri mendapati pandangan dunia yang buruk juga dapat memengaruhi persepsi dalam menjalin hubungan dengan pasangan.
Ketika Jack melihat dunia sebagai tempat yang lebih buruk, Jill akhirnya menjadi kurang bahagia dalam hubungan mereka.
Mau tak mau, Jill melihat Jack sebagai orang yang kurang baik dan melaporkan bahwa sifat-sifat Jack tidak begitu baik.
Hasil penelitian Lemay dan Cutri menegaskan bagaimana kita memilih untuk melihat dunia dalam sehari ternyata dapat memengaruhi penafsiran seluruh hidup kita.
Dalam konteks penelitian tersebut, pengaruhnya termasuk memberikan penilaian negatif terhadap pasangan atau orang yang menjalin relasi dengan kita. Contohnya, melihat pasangan lebih malas, kurang baik, kurang kompeten, dan seterusnya.
Psikolog Ima menambahkan, "Pikiran negatif berpengaruh bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Contohnya, hubungan dengan pasangan. Pikiran negatif yang muncul bisa berupa overprotektif, overthinking, dan cemburu. Bisa jadi itu karena pikiran kita sendiri, bukan kenyataan sebenarnya."
Kita semua memiliki pilihan setiap hari. Kita bisa memilih untuk melihat dunia sebagai tempat yang lebih baik, atau tempat yang lebih buruk.
Dalam buku The 7 Habits of Highly Effective People (1989), penulis Stephen R. Covey berpendapat bahwa pilihan yang kita ambil akan menentukan pertumbuhan dan kebahagiaan kita.
Tentu, kita semua memiliki kebebasan untuk memutuskan bagaimana menanggapi pemicu stres. Apa pun itu keputusannya, sebagian besar akan menentukan kedamaian dalam hidup kita.
“Pada akhirnya, kekuatan untuk memilih inilah yang mendefinisikan kita sebagai manusia. Kita mungkin punya pilihan yang terbatas, akan tetapi kita selalu dapat memilih,” tulis Covey.
Meskipun pikiran negatif dapat membuat kita merasa tidak berdaya, kita sebenarnya memiliki kekuatan untuk melawannya dan menghentikan kebiasaan ini.
Sama halnya pikiran negatif menciptakan jalur saraf di otak, pemikiran positif dan penguatan diri juga dapat menjadi kebiasaan.
Ima memiliki sejumlah cara untuk mengatasi pikiran negatif.
Pertama, kenali dan akui rasa dan pikiran itu.
"Menyadari dan mengakui perasaan kita, tidak denial atau pura-pura baik-baik saja," terang Ima.
Setelah mengetahui sumber ketidaknyamanan, maka kita dapat menjadi lebih aware dengan diri sendiri.
"Berdamai dengan diri sendiri, ada hal-hal yang tidak bisa kontrol dan membuat sedih karena tidak sesuai keinginan kita. Terima hal ini," lanjut Ima.
Ketiga, hiduplah pada momen sekarang. Fokus pada tugas yang ada. Hindari memikirkan kesalahan masa lalu atau ketakutan di masa depan.
Apabila benak-benak negatif mulai menyelami kepala, coba kita tanggapi dengan setidaknya tiga afirmasi positif segera. Pemikir positif dapat mengendalikan pikiran mereka dan menyadari pikiran mana yang memasuki kepala mereka.
Selanjutnya, jika pikiran positif sudah dapat menjadi kebiasaan, maka kita perlu mempraktikkan optimisme setiap hari.
Ubah negativitas menjadi tindakan. Contohnya, saat berat badan naik seusai liburan, tanggapi kondisi tersebut sebagai motivasi untuk menjalani gaya hidup lebih sehat.
Terakhir, isi waktumu bersama orang-orang yang penuh semangat dan memiliki energi positif. Coba ikuti kegiatan yang menumbuhkan pikiran bahagia, seperti melakukan hobi, bersua dengan keluarga, dan meditasi.
Ingat, sikap negatif dapat menular.
Apabila kamu tidak mau ketularan penyakit pesimisme dan negativisme dari orang lain, maka jangan dekat-dekat mereka, ya!
Ayo, kita usahakan untuk lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang yang peduli dan membahagiakan kita.
Manusia adalah makhluk sosial, dan mengembangkan jaringan keluarga dan pertemanan yang sehat dapat membantu kita melihat gelas setengah penuh, alih-alih gelas setengah kosong.
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih