Menuju konten utama
Refleksi Diri di Bulan Suci

Mengapa Kita Cenderung Ingin "Memperbaiki" Orang Lain?

Jika kamu selalu merasa perlu mengubah sikap orang lain menjadi lebih baik sesuai standar dan caramu, bisa jadi kamu adalah seorang fixer.

Mengapa Kita Cenderung Ingin
Header Diajeng Memperbaiki Orang Lain. tirto.id/Quita

tirto.id - Di dalam studio album The Tortured Poets Department (2024), Taylor Swift punya satu lagu berjudul “I Can Fix Him (No Really I Can)”.

Tanpa membaca lirik atau mendengarkan keseluruhan lagunya, sebagian besar dari kita pasti sudah bisa menduga isinya: curahan hati dari seorang fixer.

Fixer adalah istilah yang merujuk pada seseorang yang selalu punya dorongan memperbaiki atau mengubah sikap orang lain menjadi lebih baik sesuai standarnya.

Dalam konteks lagu di atas, terdapat dugaan bahwa isinya berkaitan dengan upaya yang dilakukan Swift untuk Matty Healy.

Vokalis The 1975 yang dirumorkan pernah jadi teman kencan Swift ini dikenal karena sering menimbulkan kontroversi publik. Sepak terjangnya berlawanan dengan citra Swift yang dikurasi sedemikian rupa sebagai figur publik panutan anak-anak muda di penjuru dunia.

Keinginan menjadi fixer memang lazim ditemui dalam relasi romantis.

Coba, ada berapa banyak dari kita yang pernah merasa yakin bahwa kita memiliki kemampuan untuk memperbaiki karakter kekasih yang, misalnya, mudah marah?

Apakah kamu, atau salah satu kenalanmu, percaya bahwa karakter pasangan akan berubah menjadi lebih penyayang dan lembut setelah kalian menikah dan memiliki anak?

Sebagian dari kita mungkin juga pernah berupaya untuk membantu kawan yang judes dan problematik, saudara yang sepertinya tak punya tujuan atau semangat hidup, kerabat yang kesulitan mencari pekerjaan atau sedang berkonflik dengan orang lain.

Tidak bisa dimungkiri, memiliki kecenderungan “memperbaiki” orang lain sepintas terdengar seperti tindakan yang mulia.

Sayangnya, “memperbaiki” orang lain ternyata dapat menimbulkan dampak merugikan bagi diri kita sendiri.

Ini dialami oleh Toni Bernhard. Pensiunan dosen yang kini aktif menulis buku-buku self-help ini ternyata pernah menghabiskan sebagian besar hidupnya menjadi fixer.

Dalam artikelnya di Psychology Today, Bernhard bercerita betapa dorongan menjadi fixer menjadi sangat kuat saat dirinya menjabat posisi dekan kemahasiswaan. Dia merasa harus selalu memastikan bahwa mahasiswanya bahagia, baik di dalam maupun di luar kelas.

Bernhard bahkan pernah menangani pertikaian antara dua mahasiswa yang tinggal sekamar. Duduk perkaranya sepele, mereka saling tuduh bahwa temannya mengubah suhu AC di kamar.

Padahal, beban kerja akademik dan adminsitratif Bernhard sudah sangat berat.

Bernhard juga menjadi fixer untuk kedua anaknya. Dia selalu mengintervensi, berupaya mencegah agar anak-anaknya tidak bersedih atau merasa kecewa.

“Kalau terjadi sesuatu, aku akan menelepon guru mereka, atau orang tua yang anaknya kuanggap bermasalah,” tutur Bernhard, yang mengaku bahwa dia terus berusaha memperbaiki kehidupan anak-anaknya ketika mereka sudah dewasa dan berkeluarga.

Pada suatu titik, Bernhard tersadar betapa melelahkannya menjadi fixer. Energinya terkuras karena selalu merasa cemas dan gelisah tentang kondisi orang lain.

Usahanya melindungi anak-anaknya, kata dia, berakar pada keinginan pribadi yang mustahil terpenuhi. Karena, tentu saja, mana ada manusia yang hidup tanpa kesulitan atau merasa bahagia sepanjang waktu?

“Bahkan, keinginanku yang begitu kuat agar mereka selalu bahagia justru menjadi sumber ketidakbahagiaan dalam hidupku sendiri,” papar Bernhard.

Selain itu, menurutnya, orang lain juga perlu belajar sendiri bagaimana menghadapi pasang-surut kehidupan.

Menjadi fixer memang berpotensi mengusik kententeraman diri kita sendiri.

Melansir dari artikel di Self, psikolog klinis dari Chicago Adia Gooden, PhD menyatakan, lambat laun seorang fixer akan merasa lelah dan frustrasi.

Terlebih jika nasihatnya terus-menerus diabaikan, atau dia diperlakukan dengan buruk oleh orang yang berusaha ia perbaiki.

Di satu sisi, si fixer merasa sudah berusaha mati-matian.

“Seluruh investasi emosional itu bisa mengarah pada frustasi, bahkan rasa marah,” terang Gooden.

Lalu, apabila memang melelahkan, dari mana dorongan untuk memperbaiki orang lain ini berasal?

Menurut Dr. Miwa Patnani, M.Si., Psikolog, dosen Fakultas Psikologi Universitas YARSI, Jakarta Pusat, terdapat beberapa kondisi yang menyebabkannya.

“Apabila kita cenderung menilai apa pun dari sudut pandang sendiri sehingga kurang objektif dan kurang komprehensif dalam melihat sesuatu, maka kita akan mudah menganggap penilaian orang lain salah, lalu terdorong memperbaikinya,” tutur Miwa.

Kedua, menurut Miwa, adanya self-serving bias, yakni kecenderungan menilai hal-hal positif berasal dari diri kita, sedangkan hal-hal negatif berasal dari orang lain.

Bias persepsi ini mengakibatkan kita memandang orang lain lebih rendah atau kurang dibandingkan kita, sehingga kita ingin memperbaiki orang itu.

Ketiga, standar penilaian setiap individu berbeda-beda karena latar belakang, pengalaman, dan lingkungan yang berlainan.

Orang lain mungkin saja menganggap skor 75 sudah baik, sedangkan kita yang memiliki standar lebih tinggi merasa angka tersebut masih kurang.

Keempat, orang dengan kepribadian perfeksionis akan menginginkan segalanya sempurna. Ketika memandang orang lain yang dinilainya belum sempurna, ia cenderung ingin memperbaikinya.

Sementara itu,kembali mengutip dariSelf, terapis perkawinan dan keluarga Natalie Gutiérrez menyebut bahwa sebagian orang dibesarkan di lingkungan yang menuntut mereka menjadi fixer atau penyelamat.

Misalnya, orang yang selalu berperan menjadi mediator di rumahnya yang penuh konflik. Atau, orang yang sedari usia muda harus mengurus anggota keluarga yang sakit. Kondisi semacam inilah yang berpotensi membentuk mereka menjadi fixer.

diajeng Mengobrol dengan Pasangan

Ilustrasi Mengobrol dengan Pasangan. (FOTO/iStockphoto)

Nah, pertanyaan yang menarik selanjutnya, apa kita betul-betul bisa menjadi fixer untuk orang lain?

Menurut Mel Robbins, pembicara dan penulis buku The Let Them Theory (2024), jawabannya adalah tidak.

Dalam satu video, Robbins menuturkan, tak seorang pun bisa berubah kecuali dia mau berubah.

Selain itu, jika kita terlalu menuntut seseorang untuk berubah, hal ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan penolakan dari orang tersebut.

Senada dengan Mel, Psikolog Miwa juga berpendapat kita sebaiknya tidak perlu selalu berusaha memperbaiki orang lain.

“Kita berpersepsi orang lain kurang sempurna, sehingga perlu diperbaiki. Padahal, belum tentu kondisi kita secara objektif lebih baik dari dia,” ujar Miwa.

“Orang lain juga belum tentu merasa butuh perbaikan. Jika kita berusaha memperbaikinya, bisa jadi akan muncul ketegangan dan konflik dengan dia.”

Bersikeras memperbaiki orang lain bahkan juga bisa memperburuk kondisi orang yang ingin dibantu.

Masih mengutip pendapat Gooden, upaya memperbaiki seseorang akan menciptakan hubungan kodependensi, yakni kondisi emosional dan perilaku yang menyebabkan seseorang bergantung secara psikologis pada orang lain.

Misalnya, kita berusaha “memperbaiki” seorang kerabat yang pengangguran.

Kita terus-menerus merepotkan diri sendiri demi mencarikan lowongan pekerjaan untuk dia dan mengurus tetek bengek untuk persiapannya melamar kerja.

Ini bisa memberikan pesan yang keliru bahwa kerabat kita tidak perlu bertanggung jawab atas hidupnya, melainkan kita sebagai fixer yang perlu mengurusnya.

Padahal, bukan tugas kita memastikan dia mendapat pekerjaan.

Setiap orang bertanggung jawab atas diri sendiri.

Setiap orang perlu belajar mengembangkan keterampilan untuk mengatasi masalah hidup masing-masing—entah itu mencari pekerjaan, melatih cara berkomunikasi, atau bahkan pergi ke psikolog untuk menyelesaikan trauma masa lalu.

Dengan bersikeras menjadi fixer, kita bisa jadi malah “merampas” kesempatan orang lain untuk berproses dan belajar.

“Apabila kita terkenal sebagai orang yang selalu ingin memperbaiki orang lain tanpa diminta, kita malah akan mendapat stigma sebagai individu yang sulit, egois, dan tidak bisa menghargai orang lain. Akibatnya, orang lain enggan mendekati kita sehingga kita tak diterima secara sosial,” pungkas Miwa.

Maka dari itu, seberapa pun kita merasa “gemas” terhadap situasi yang dihadapi orang lain, cobalah untuk mempertimbangkan baik-baik sebelum memutuskan bertindak sebagai fixer untuknya. Setuju?

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Eyi Puspita

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Eyi Puspita
Penulis: Eyi Puspita
Editor: Sekar Kinasih