tirto.id - Kita semua pasti mendambakan keluarga harmonis yang anggotanya saling suportif, termasuk juga bahtera pernikahan yang sejahtera. Sayangnya, tak semua manusia beruntung untuk mengecap itu semua.
Sedari kanak-kanak, beranjak dewasa, atau ketika membangun rumah tangga sendiri, beberapa dari kita mungkin dihadapkan dengan anggota keluarga yang bisa menghambat perkembangan diri.
Situasi keluarga demikian disebut dysfunctional atau toxic family—yang bisa ditemukan baik dalam relasi suami-istri, orang tua-anak, maupun antarsaudara kandung dan kerabat.
Ada sejumlah pertanda ketika “drama” keluarga yang sifatnya lumrah bergeser jadi toxic family. Misalnya, saat kita merasa cemas, sedih, dan marah setiap kali memikirkan akan berinteraksi dengan anggota keluarga. Atau, saat tak ada hal positif yang didapat dari interaksi tersebut.
Relasi yang tak sehat umumnya berakar dari masalah komunikasi dan penerapan batasan-batasan. Hal itu juga dapat tersirat dari pola perilaku pihak-pihak yang terlibat.
Melansir Science of People, orang-orang “beracun” terlihat suka mengatur hidup orang lain; gemar menonjolkan dan mengutamakan dirinya sendiri atau narsis; selalu berpandangan negatif dan membuat situasi menjadi pesimis atau suram; senang bikin drama dan cari-cari kesalahan; mudah cemburu dan menghakimi; suka manipulatif atau berbohong; juga sering mengabaikan perasaan dan pandangan orang lain serta selalu merasa paling benar.
Perlakuan Buruk Antarpasangan
Selain gambaran umum orang-orang “beracun” tadi, dalam konteks rumah tangga, hubungan tak sehat terlihat dari adanya pembatasan akses atau kebebasan oleh satu pihak terhadap lainnya.
Contohnya, istri dilarang beraktivitas di luar rumah oleh suami karena ditakutkan selingkuh. Contoh lain, istri punya kepercayaan rendah pada suami sehingga kerap mencurigai dan mengecek gawainya.
Menurut G. Stephen Renfrey, penulis buku The One Year Marriage: A Formula for Enduring Love, perasaan takut yang membuat seseorang mengontrol pasangannya berkaitan dengan rasa tidak aman dan ketergantungan baik finansial maupun emosional.
Kecenderungan mengontrol ini semakin kuat jika pasangan lebih suka mengalah atau tipe penghindar konflik.
Tak semua orang terang-terangan memperlihatkan sikap mengontrol. Ada yang memilih sikap pasif-agresif untuk mewujudkan dominasi terhadap pasangan.
Di depan pasangan, mereka bisa bilang “iya” padahal aksinya tidak. Pendeknya, segala macam taktik halus mereka lakukan untuk menyabotase keinginan, kebutuhan, atau rencana si pasangan.
Di lain sisi, ada orang yang tak terima dengan sikap mengontrol pasangan tapi terus bertahan dalam pernikahan. Alhasil, lahirlah perselisihan dan pertengkaran tak berkesudahan. Menurut data Pengadilan Agama yang dikutip dalam CATAHU Komnas Perempuan 2023, itulah penyebab perceraian tertinggi pada 2022 dengan total menembus 281 ribu dari 443 ribu temuan.
Saat Orang Tua 'Membombardir' Anak
Tanggung jawab orang tua dalam membesarkan anak kerap membuat mereka merasa berhak mengarahkan anak sesuai kehendak pribadi. Sebagian orang tua pun enggan mempertimbangkan apa yang dimaui atau dibutuhkan anak. Akibatnya, mereka memprioritaskan keinginannya sendiri atas nama “kebaikan untuk anak”.
Terus-terusan mengkritik, mengancam, melontarkan kalimat negatif tentang anak merupakan ciri pertama orang tua “beracun”. Berapa kali pun anak mencetak prestasi, setinggi apa pun capaiannya, tak ada apresiasi dari orang tua selama tak sesuai keinginan mereka. Giliran si anak melakukan kesalahan, orang tua menghujaninya cemooh dan hukuman.
Di sisi lain, sikap terlalu memanjakan dan menuruti kemauan anak juga destruktif baginya. Tanpa adanya batasan dalam pola pengasuhan orang tua, anak merasa pantas jadi pusat perhatian setiap saat, harus terpenuhi semua kemauannya, bahkan berpikir superior dibandingkan sekitarnya.
Orang tua beracun lainnya adalah yang sulit atau tak bisa menerima kondisi atau keputusan anak. Psikiater Richard Friedman pernah menuturkan di The New York Times tentang pasien berusia 20-an yang datang dalam kondisi depresi.
Setelah diselidiki, terungkap bahwa pemicu gangguan psikis pasien berkaitan dengan penolakan orang tua tentang keputusannya menjadi gay.
“Pada suatu makan malam [setelah pengakuan si pasien], ayahnya bilang padanya, lebih baik dia saja yang meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun lalu alih-alih saudaranya,” tulis Friedman.
Selain itu, orang tua yang sering mengabaikan anak juga tergolong orang tua beracun. Pengabaian ini bisa terjadi karena kesibukan kerja, tekanan dalam proses pengasuhan, masalah keuangan.
Alasan apa pun yang mendasarinya, kebutuhan emosional anak jelas tak tercukupi sehingga berpengaruh terhadap perkembangan kepribadiannya kelak.
Tentu ada banyak faktor di balik sikap beracun orang tua. Sebut salah satunya nilai-nilai budaya yang dianut keluarga, misalnya terkait peran gender, pola pengasuhan, dan pembagian hak bagi setiap anggota keluarga. Faktor lainnya adalah pengulangan sikap beracun yang pernah diterima si orang tua dari orang tuanya sendiri.
Potensi Menjadi Sosok Toksik
Menurut studi di Journal of Family Medicine and Disease Prevention (2017), terdapat sejumlah konsekuensi negatif pada anak yang tumbuh di keluarga disfungsional. Seiring beranjak dewasa, ia bisa punya kecenderungan berperilaku merusak diri, seperti penyalahgunaan obat terlarang dan alkohol, sebagai pelarian dari trauma masa kecil.
Selain itu, di kemudian hari dia mungkin akan memiliki penilaian diri yang rendah, merasa cemas dan gugup terus-menerus, kehilangan kendali, atau berulang kali menyangkal perasaan-perasaannya.
Jika penumpukan emosi negatif berlangsung dalam jangka panjang, bisa saja terjadi penurunan kondisi mental yang kelak menghalau produktivitas dan kualitas hidup sehat.
Dalam konteks suami-istri, hubungan tak sehat akan berefek pada bagaimana mereka menjalani peran sebagai orang tua.
Kecenderungan seseorang untuk menutupi perlakuan buruk pasangannya dari keluarga besar atau kenalan lain akhirnya dapat membuatnya semakin kesepian, terisolasi, bahkan jatuh sakit karena perubahan pola makan dan tidur.
Nomorsatukan Kebahagiaan Diri
Karakter masyarakat kita cenderung kolektif dan menomorsatukan keluarga, pernikahan, atau orang tua. Akibatnya, sebagian orang kesulitan keluar dari situasi toxic family.
Dalam berbagai ajaran agama, melawan orang tua dianggap dosa sehingga banyak anak memilih menurut saja meskipun sikap orang tuanya menyakiti mereka.
Menentang kehendak suami dipandang tabu, sementara mengonfrontasi sikap beracun istri dapat memicu pertikaian dan perceraian yang setengah mati ingin dihindari sebagian suami.
Bercerita kepada orang lain tentang toxic family juga berpeluang membuat seseorang disalahkan karena dianggap menyebarkan aib.
Akhirnya, orang tersebut tak bisa berbuat apa-apa selain berharap anggota beracun di keluarganya bakal berubah.
Alih-alih mendiamkan keadaan, pakar psikologi menyarankan kamu yang terjebak dalam toxic family agar mengambil tindakan berani demi kebahagiaanmu sendiri.
Misalnya mengambil jarak dan berhenti menanggapi mereka. Bagi sebagian orang, pilihan ini mungkin menimbulkan pertanyaan, “Bukankah aku berlaku sama seperti anggota keluarga toxic yang juga sering mengabaikanku?” Tapi menurut psikolog keluarga dan penulis Dr. Sherrie Campbell, itu hal berbeda.
Menurut Campbell dalam buku But It’s Your Family…: Cutting Ties with Toxic Family Members and Loving Yourself in the Aftermath (2019), saat anggota keluarga toxic mendiamkanmu, ia membuatmu terasingkan, tersakiti, tak aman, merasa ditinggalkan.
Namun apabila kamu lakukan hal serupa setelah diperlakukan buruk oleh anggota keluargamu, hal itu justru dilandasi dengan tujuan untuk melindungi diri dan melanjutkan hidup agar lebih baik.
Dalam pasal 7 disebutkan kekerasan psikis mencakup perbuatan yang menyebabkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Jika hal ini terjadi, mengadvokasi diri lewat jalur hukum dapat dilakukan.
Tentu saja, meninggalkan anggota keluarga beracun perlu perencanaan matang. Misalnya, istri yang hendak meninggalkan suami atau anak yang mau keluar dari rumah orang tua.
Karena itu, penting untuk mempersiapkan jaring pengaman selepas keluar dari toxic family: adakah anggota keluarga lain atau teman yang bisa memberimu dukungan moral atau material sesuai kebutuhan?
Selain itu, mencari bantuan profesional untuk pemulihan kondisi mental juga dapat kamu pertimbangkan ketika akan, atau setelah, mengakhiri relasi dengan anggota keluarga beracun.
* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 21 Maret 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.
Editor: Maulida Sri Handayani & Sekar Kinasih