tirto.id - Alkisah, seorang remaja Amerika berusia 15 tahun bernama Sophie ingin menghadiri pesta di rumah temannya. Sang ibu, Annie, dengan berat hati memberikan izin.
Pada waktu sama, Annie gelisah. Akankah putrinya menenggak minuman beralkohol di sana? Annie pun memutuskan menguntit Sophie.
Tak butuh lama, keberadaan Annie diketahui oleh Sophie. Sekalipun Annie berulang kali meminta maaf karena sudah mempermalukan Sophie di tengah pesta, masih ada kesal yang tersisa dalam batin putrinya.
“Sudah kubilang, aku tidak minum alkohol. Menyebalkan sekali Ibu tidak percaya aku. Aku kesal sekali,” gerutu Sophie.
“Tentunya begitu… Ibu juga dulu merasa begitu saat orang tua Ibu tidak percaya pada Ibu. Ibu tahu, Ibu yang salah. Kamu anak yang baik.”
“Aku berusaha jadi anak baik.”
Baru saja mereka berekonsiliasi, Annie kembali naik pitam saat mendapati Sophie memakai anting kesayangannya tanpa izin. Lebih parah, Sophie menghilangkan salah satu antingnya. Suara Annie meninggi, dibalas sikap acuh tak acuh Sophie yang segera melenggang ke kamarnya.
“Tinggal selangkah lagi sebelum Ibu mengirimmu ke rumah nenekmu!" seru Annie.
Petikan kisah ini diambil dari serial komedi I Hate My Teenage Daughter yang disiarkan Fox tahun 2011 silam.
Hubungan Annie dan Sophie memang bak roller coaster. Satu waktu, mereka kelihatan harmonis dan berusaha saling pengertian. Kali lainnya, mereka saling berteriak dan membenci pilihan tindakan satu sama lain.
Konflik verbal sudah jadi bagian dari keseharian mereka. Seiring Sophie tengah menikmati proses bereksplorasi, Annie menjelma menjadi sosok paranoid yang tidak mudah membiarkan putrinya melakukan sesuatu.
Kendati ceritanya fiksi, kejadian-kejadian yang ditampilkan dalam serial ini bukan hal langka pada relasi ibu dan anak perempuan, terlebih saat sang putri menapaki masa remaja.
Dalam setiap relasi, sudah pasti ada sederet konflik. Yang perlu dicermati, apakah relasi dinamis tersebut bisa menjadi beracun? Dalam konteks ini, apakah pola bersikap sang ibu terjadi secara berulang dan akhirnya berefek terhadap diri si putri?
Kondisi relasi ibu-anak perempuan yang silih berganti bisa menjadi salah satu tanda hubungan beracun, demikian disebutkan oleh Peg Streep dalam artikel berjudul “8 Toxic Patterns in Mother-Daughter Relationships” di Psychology Today.
Penulis Daughter Detox: Recovering from an Unloving Mother and Reclaiming Your Life (2017) ini mengungkapkan, sikap ibu yang terkadang suportif namun terkadang sangat menekan, bisa berimbas terhadap cara si putri berelasi dengan orang-orang lain di kemudian hari.
Seorang perempuan yang diwawancarai Streep mengatakan, akibat sikap ibu yang berubah-ubah, ia tumbuh menjadi pribadi yang kurang percaya diri. Selain itu, ia juga kerap menduga-duga apakah ada kesalahan yang dibuatnya sehingga sikap ibunya inkonsisten.
“Sekarang aku mengerti dia [Ibu] memang suka bersikap semaunya tanpa memikirkanku sedikit pun. Tetapi aku masih sering mendengar suaranya di kepalaku saat aku merasa kesulitan atau tidak aman,” imbuhnya.
Gila Kontrol
Di samping sikap ibu yang sering berubah-ubah, tanda relasi beracun ibu-anak perempuan lainnya ialah keterlibatan ibu yang terlalu jauh di kehidupan putrinya.
Contoh pertama adalah saat Annie menguntit Sophie tadi. Contoh lainnya, seperti dilansir Reader’s Digest, adalah ibu yang sangat berniat berteman dengan sahabat-sahabat anaknya.
Alih-alih memberikan privasi, sikap ibu yang seperti ini bisa dianggap sebagai bentuk intervensi yang meresahkan putrinya.
Memang betul, ada ibu-ibu yang ingin terlihat bersahabat atau gaul di mata anaknya. Sayangnya, dalam kondisi-kondisi tertentu, hal tersebut berpotensi membuat putrinya dijauhi teman-temannya karena mereka merasa tidak leluasa beraktivitas.
Terkait privasi, contoh lain sikap ibu yang mengganggu adalah mengorek informasi personal putrinya. Hal ini dikemukakan oleh Dhilla (25) yang menyatakan ibunya dulu sempat membaca-baca buku hariannya.
Selain itu, upaya untuk masuk ke kehidupan anak yang berlebihan juga dilakukan dengan cara ibu mengambil alih semua pekerjaan yang seharusnya dilakukan si anak.
Ibu yang seperti ini yakin bahwa anaknya belum mampu mandiri atau bertanggung jawab atas keputusannya. Ini juga digolongkan sebagai bentuk relasi ibu-anak yang beracun menurut Dr. Barbara Greenberg, psikolog anak dan keluarga di Connecticut.
“Melakukan segalanya untuk anak-anak memberi pesan bahwa orang tua tidak merasa mereka kompeten dan justru mencegah mereka mengembangkan kemampuan-kemampuannya,” ujarnya.
Tak Acuh
, Meremehkan, Membanding-Bandingkan
Apakah kamu pernah mendapati sikap ibumu yang sering kali tak acuh, meremehkan, atau senang membanding-bandingkan? Lagi, menurut Streep, hal ini merupakan indikasi lain relasi beracun ibu-anak perempuan.
Coba tengok testimoni Maria Agnes (24) berikut.
“Macam-macam pencapaian saya selama ini seperti nggak ada artinya untuk Ibu. Kalau saudara-saudara yang lain punya prestasi, pasti dia ceritakan itu ke saya, terus dia bilang, ‘Kok kamu nggak bisa kayak mereka?’"
Di lain waktu, ibu Maria juga kerap menganggap putrinya berlebihan. Misalnya, saat Maria bercerita ia tak mau berhubungan dengan kakek-nenek dari keluarga ayahnya karena khawatir menjadi terlalu dekat dan ambruk saat mereka meninggal.
Maria saat itu menangis karena tak bisa mengungkapkan betapa takut dan cemasnya, dibalas dengan reaksi sang ibu yang menyebutnya "lebay."
"Atau waktu saya demam panggung saat masih kecil dan nangis-nangis karenanya, Ibu lagi-lagi bilang saya lebay. ‘Ngapain takut, di depan teman-teman sendiri juga?’ kata dia begitu.”
Dari waktu ke waktu, catatan Maria tentang sikap Ibu yang kurang suportif, bahkan cenderung melemahkan mental anak, terus bertambah. Saat dewasa, ia menyadari, ada gangguan psikis yang kerap menghambat perkembangan dalam hidupnya.
Maria melanjutkan, "Lalu, karena ada sikap menghakimi dari Ibu, saya jadi grogi parah ketika Ibu menonton lomba-lomba yang saya ikuti. Sementara kalau Ibu tidak menonton, saya jadi juara. Sampai sekarang juga, saya enggak mau bilang kalau ikut lomba apa pun.”
Perlakuan yang Timpang Kepada Anak yang Lain
Bukan hanya membanding-bandingkan, ibu beracun kerap kali memperlakukan anak-anaknya dengan cara tak sama.
Menurut Dhilla, perlakuan ibunya terhadap anak laki-laki cenderung lebih cuek ketika mereka berulah. Hal ini dikarenakan adanya stigma bahwa sah-sah saja laki-laki badung dan berani membangkang, sedangkan perempuan masih sering dilekatkan dengan anggapan semestinya bersikap penurut, pasif, dan tak badung.
Senada dengan Dhilla, Maria juga melihat kecenderungan yang sama. Ibunya jauh lebih permisif kepada abangnya dibanding dirinya.
“Abang saya ketahuan merokok, Ibu enggak mempermasalahkan. Sedangkan begitu dia tahu saya merokok, marahnya seperti saya baru zina dengan 10 laki-laki. Padahal, ibu saya sendiri juga merokok."
"Lalu, soal keluar malam. Sebelum usia 21, saya enggak boleh ke mana-mana melebihi jam malam yang dia tetapkan. Sementara abang saya, sejak kuliah pun sudah dilepas Ibu saat dia bilang mau ngekos. Padahal, masih memungkinkan buatnya untuk pulang-pergi kampus-rumah setiap hari karena jaraknya enggak begitu jauh," terang Maria.
Tak Segan Melakukan Kekerasan Fisik
Tanda paling kentara dari relasi ibu-anak perempuan yang beracun adalah adanya kekerasan fisik di samping verbal atau psikologis.
Pada masa pandemi Covid-19 silam, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan, kekerasan fisik dan psikis pada anak cenderung dilakukan oleh ibu. Hal ini terlihat dari 60,4 persen anak mendapatkan kekerasan fisik dari ibu dan 79,5 persen merasakan kekerasan psikis dari sosok yang sama.
Bagaimana efek kekerasan dari ibu yang dihadapi anak perempuan?
Oshio dan Umeda di jurnal BMC Public Health (2016) menyampaikan penelitiannya tentang kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua berjenis kelamin sama dengan si anak. Hasilnya, perilaku bermasalah seorang anak perempuan di kemudian hari lebih terkait dengan kekerasan yang sempat dialaminya dari ibu dibanding dari ayah.
Soal kekerasan fisik ini, Dhilla mengaku ibunya kerap marah seraya mencubiti dirinya saat ia masih kanak-kanak. Karena ibunya suka mencubit, Dhilla dulu berprinsip akan menuruti apa saja kemauan ibunya asalkan dia senang.
“Tapi kadang, saya melawan saat dimarahi Ibu. Pernah saking emosinya, satu kali Ibu mencakar pipi saya, mendiami saya, karena saya nekat meneruskan hubungan dengan laki-laki yang dia tidak sukai. Baru esoknya dia menyesal setelah melihat luka cakar di wajah saya,” imbuh Dhilla.
Karena sering bertindak keras pula, Dhilla mengaku lebih suka bercerita kepada ayahnya.
Kekerasan fisik dari sang ibu yang lebih jauh pernah pula dirasakan Maria.
Ia menyatakan, “Sampai kuliah, saya masih merasakan kekerasan fisik dari Ibu. Sejak kecil, dia sudah suka nabok saya. Ember, hanger, sapu pernah dipakainya waktu melakukan kekerasan fisik. Beranjak kuliah, sewaktu kalap, pernah saya melawan dia balik dengan menendang dan memukul. Dia shock. Sejak itu, Ibu mengurangi kekerasan fisik, tapi masih sering teriak-teriak saat memarahi saya.”
Kebiasaan melancarkan kekerasan fisik kerap kali dinormalisasi dalam lingkungan keluarga. Dhilla mengatakan, perkara mencubit itu sudah jadi hal yang lumrah dilakukan ibu-ibu di sekeliling tempat tinggalnya.
Rekonsiliasi atau Sepakat untuk Tidak Sepakat?
Konflik-konflik yang dihadapi Dhilla dan Maria mendatangkan reaksi berbeda terhadap ibu mereka. Kendati pernah mengalami hal menyakitkan pada masa lampau, Dhilla tidak menutup diri untuk bernegosiasi dan memperbaiki hubungan dengan ibunya, terlebih setelah ia menikah dan hamil.
“Ketika dewasa, saya mulai menyadari kalau saya tetap butuh sosok ibu buat tempat mengadu. Ibu pun semakin mau membuka diri dan mendengarkan saya, mulanya sejak saya berkuliah di luar kota. Saya berinisiatif memulai percakapan lebih intim dengan Ibu juga karena saya susah menemukan teman yang membuat saya merasa aman dan nyaman menceritakan masalah saya. Soal susahnya kuliah, kerja, hidup jauh dari keluarga. Kadang dia memang masih suka menghakimi, tetapi sekarang saya lebih punya kebebasan untuk mengambil keputusan,” jabar Dhilla.
Pertambahan usia kerap disamakan dengan pertumbuhan kedewasaan seseorang. Ini pula yang mungkin perlahan-lahan mengikis kecenderungan sikap mengontrol dan kekerasan yang dilakukan ibu. Namun demikian, perubahan sikap ibu ini tidak melulu berujung rekonsiliasi seperti yang dialami Dhilla.
Luka kekecewaan masih merah di batin Maria. Karenanya, ia lebih memilih sepakat untuk tidak bersepakat dengan sang Ibu. Pernah ia berpikir untuk bernegosiasi dengan ibunya, namun kondisinya tidak memungkinkan saat itu.
“Karena dulu sempat bercerai, situasi psikis ibu tentu terpengaruh. Dia harus menghidupi anak-anaknya juga dalam keadaan begitu. Sampai usia 10 saya diasuh Nenek. Begitu ibu bertemu saya dan Abang, kami beranjak remaja, usia yang sedang rebel. Waktu saya lulus S-1, apa-apa mulai dibicarakan walau seringnya kami berbeda paham. Karena itu, kami jarang berkomunikasi," cerita Maria.
Tentu, gambaran-gambaran tersebut tak mewakili pola ibu dan anak perempuannya secara keseluruhan. Namun, ada perlunya kita menyerapi kembali makna di balik hasil survei di atas: kekerasan fisik dan emosional pada anak acap kali dilakukan oleh ibu.
Jika kita akan, atau sudah, menjadi ibu, yang dikaruniai anak perempuan, tidak ada salahnya kita mengingat kembali harapan dan tuntutan atas anak-anak perempuan kita.
* Artikel ini pernah tayang di tirto.id pada 3 Desember 2017.Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.
Editor: Maulida Sri Handayani