tirto.id - “Don’t worry, papi I bakal bantu!”
“Santai aja, papi I punya koneksi!”
Siapa yang pernah mendengar—atau bahkan mengucapkan sendiri—kalimat seperti di atas? Ketika menemui kesulitan atau cobaan, apakah solusi yang terlintas dalam benakmu berkaitan dengan peranan langsung, atau campur tangan, orang tua?
Prinsip “papi I” demikian biasanya melekat pada segelintir anak muda yang disebut strawberry generation—generasi stroberi.
Yup, generasi stroberi.
Mulai dibicarakan sejak dua dekade terakhir oleh masyarakat di kawasan Asia Timur, istilah ini dipakai untuk merujuk ke anak-anak muda yang tumbuh dengan karakteristik pandai, kreatif, adaptif terhadap teknologi. Di satu sisi, mereka dapat dianalogikan seperti buah stroberi: “rapuh” alias lekas putus asa dan cenderung mudah menyerah.
Mereka yang lahir pada tahun 1990-an, persisnya Milenial dan Gen Z, menjadi sorotan dalam diskursus ini. Hayo, apa kamu termasuk di dalam angkatan tersebut?
Artinya, tanpa perlu berusaha terlalu keras, generasi stroberi dianggap dapat menikmati hidup nyaman dan layak.
Tentu, dapat dipahami ketika anak merasa bangga karena memiliki orang tua yang super perhatian dan rela memberikan yang terbaik. Begitu pula sang ayah atau ibu, dengan pekerjaan mapan dan banyak koneksi, juga bangga apabila dapat “mengatur” kehidupan anak-anaknya secara detail dan menyeluruh.
Pendek kata, sah-sah saja jika orang tua ingin membahagiakan anak-anaknya dengan mempermudah kehidupan mereka. Memangnya, orang tua seperti apa yang tidak mau anaknya bahagia?
Eits, tunggu dulu! Luh Surini Yulia Savitri, M.Psi, dosen sekaligus psikolog anak dan remaja di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, memiliki pertanyaan balasan menarik, “Tapi, bahagia yang seperti apa?”
Kelahiran generasi stroberi mustahil dipisahkan dari peran orang tua yang membesarkannya selama ini. Orang tua dari generasi stroberi, menurut Savitri atau biasa disapa Vivi, setidaknya memiliki lima ciri-ciri.
“Pertama, overprotective. Mereka tidak ingin anak susah seperti mereka dulu. Mereka tidak ingin anak mengalami kesulitan. Anak bahagia versi mereka adalah anak yang tidak mandiri. Pengen apa, langsung dikasih tanpa perjuangan.”
Ciri-ciri kedua adalah memiliki ekspektasi tidak realistis. Menurut orang tua dengan karakter ini, anak harus selalu menang. Kalau anaknya mengalami kegagalan, pihak lain yang disalahkan—misalnya guru yang dituding tidak pandai mengajar ketika si anak mendapatkan nilai ulangan jelek.
“Intinya, anak tidak boleh merasa gagal karena ia akan sedih. Kalau anak sedih, berarti saya sebagai orang tua juga sedih. Kalau anak hebat, divalidasi,” papar Vivi.
Terkait hal ini, orang tua sebaiknya bersikap realistis. Orang tua perlu belajar merelakan anak mengalami kegagalan meskipun hal itu sebaiknya tidak dibiarkan terlalu sering. “Dengan mengalami gagal, anak belajar meregulasi emosinya,” kata Vivi.
Ciri-ciri ketiga adalah suka mengambil alih konflik yang dihadapi anak. Orang tua tipe ini menganggap masalah yang dihadapi anaknya adalah masalahnya juga.
Keempat, adalah orang tua yang tidak punya nilai-nilai jelas yang harus dipegang oleh anak. Contoh simpelnya seperti memukul.
“Memukul orang itu tidak boleh. Tapi ada orang tua yang membolehkan, ‘Kalau anak itu bikin kamu marah, pukul aja’. Ini membuat anak tidak berpikir bagaimana menyelesaikan konflik dengan benar,” jelas Vivi yang juga ibu dari seorang anak remaja.
Penting diingat, anak-anak belum terbiasa mengkritisi mana yang benar dan salah, baik dan buruk. Informasi yang mereka peroleh secara cepat biasanya tidak akan disaring melalui proses berpikir.
Ciri-ciri kelima orang tua dari generasi stroberi adalah kurang berkomunikasi.
Angkatan Milenial dan Gen Z beranjak dewasa dengan terpapar banyak pembanding dari televisi dan media sosial. Terdapat sederet figur yang menjadi padanan atau teladannya. Akibatnya, mereka kerap merasa tidak cukup baik dan puas, atau mudah galau, karena membandingkan dirinya dengan orang-orang yang dianggap sangat ideal, bahkan tidak sesuai realitas. Di sinilah diperlukan inisiatif orang tua untuk membiasakan sesi mengobrol dan diskusi atau bertukar pikiran.
Anak-anak perlu didampingi untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang bahagia—tangguh dan bermental kuat—bukan yang sedikit-sedikit mengeluh dan selalu minta healing.
Mental kuat bukan sekadar soal bersikap keras atau kemampuan menekan emosi. Anak yang kuat secara mental adalah anak yang tangguh, memiliki keberanian dan kepercayaan diri untuk mencapai potensi penuh mereka.
Nah, sebagian dari kamu, Milenial dan Gen Z yang sekarang sudah mulai menjalani dinamika rumah tangga sebagai orang tua, apa yang sebaiknya dilakukan agar anak-anakmu kelak tidak tumbuh menjadi generasi stroberi kedua?
Sederhana saja, anak-anak kita sekarang memerlukan orang tua yang sama-sama bermental kuat. Pertanyaannya, kuat yang seperti apa? Berikut jawaban dari Vivi.
Menghentikan ‘produksi’ generasi stroberi jelas menantang. Menariknya, tantangan terbesarnya justru pada regulasi diri kita sebagai orang tua: selalu merasa kasihan pada anak.
Menurut Vivi, merasa kasihan pada anak bukanlah tindakan yang salah, namun bukan berarti lalu kita mengambil alih semua konflik yang dihadapi anak.
Betul, fitrah kita sebagai orang tua adalah memberikan kebahagiaan untuk anak. Pada waktu sama, agar porsi yang diberikan tidak terlalu berlebihan, kita perlu eling—ingat—untuk berintrospeksi.
“Terapkan mindful parenting. Mengasuh anak dengan penuh kesadaran. Orang tua harus saling mengingatkan kalau salah satu terlalu royal. Anak pun dapat mengingatkan orang tuanya—karena keluarga adalah tim,” pungkas Vivi. Kamu setuju?
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih