Menuju konten utama
Seri Mengasihi

Bagaimana Kita Bersikap Ketika Orang Terkasih Jatuh Sakit?

Ketika sahabat atau anggota keluarga mengalami sakit serius, mereka akan merasa rentan dan sendirian. Kehadiran kita penting untuk menguatkan mereka.

Bagaimana Kita Bersikap Ketika Orang Terkasih Jatuh Sakit?
Header diajeng Orang yang terkasih jatuh sakit. tirto.id/Quita

tirto.id - Semua orang tentu menginginkan keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekatnya senantiasa dalam kondisi baik dan tak berkekurangan satu apa pun.

Namun demikian, tidak ada yang tahu pasti dengan jalan hidup kelak, termasuk soal kesehatan.

Siapa sangka, kawan yang selama ini selalu asyik kamu ajak mengobrol dan suka tertawa terbahak-bahak itu ternyata divonis penyakit kritis atau mengalami penyakit kronis?

Perasaan kaget itu pernah menimpa Tria. Ia sama sekali tak menyangka bahwa sahabatnya menderita sakit parah.

"Awalnya chat seperti biasa, kemudian dia bilang kalau ingin cerita sesuatu," kata Tria mengenang.

Saat itu, ia mengaku tak terlalu berpikir macam-macam dengan kondisi sang teman—yang pada dasarnya periang, suka bercanda, dan hidupnya jauh dari drama.

"Terus terang aku kaget setelah dia cerita. Tidak menyangka. Ikut sedih, tapi aku bingung bagaimana meresponsnya," tutur Tria.

Kebingungan bersikap itu akhirnya membuat beberapa orang memilih untuk diam saat menghadapi cerita dari orang-orang terdekat mengenai sakit mereka.

Alasan kegagapan kita dalam menyikapi cerita dari orang yang sakit ini pernah dibahas dalam penelitian Gill Hubbard dan Claire Wakefield.

Mereka menulis di The Conversation pada 2017 lalu bahwa masyarakat kita sepertinya menyangkal kehadiran penyakit sebagai pengalaman nyata di banyak keluarga—sekaligus elemen yang membentuk kondisi umat manusia.

"Penyakit serius dan kronis semakin umum. Pada satu waktu, sekitar setengah dari kita akan mengalami kondisi kesehatan yang serius dan satu dari lima orang akan mengalami dua atau lebih penyakit serius sekaligus," demikian dikutip dari artikel.

Terlepas dari beragam cara kita merespons atau menyikapi orang yang sakit, tanggapan yang paling mengganggu adalah ketika kita diam saja dan tidak bertanya mengenai kesehatan orang yang sakit.

“Bungkam bisa jadi sangat menyakitkan dan menginvalidasi.”

Demikian pernah disampaikan psikoterapis dari Victoria, Australia, Sophie Boord, dilansir dari The Guardian.

Orang-orang yang sakit akan berpikir bahwa teman atau keluarganya tidak paham, bahkan tidak peduli dengan mereka, kata Boord.

Persepsi ini jugalah yang kemudian malah membuat mereka yang sakit enggan untuk menceritakan soal kesehatannya.

Meski begitu, keengganan orang untuk terbuka mengenai penyakit mereka juga bisa terjadi karena rasa takut bahwa hal tersebut akan membuat mereka terlihat lemah atau manja.

Selain itu, mereka yang memutuskan untuk merahasiakan sakitnya bisa jadi khawatir akan disalahkan atau dihakimi karena mengidap penyakit tersebut.

Misalnya, soal stigma yang dialami pasien dan keluarga mereka jika mereka terkena kanker paru-paru, penyakit terkait obesitas, atau gangguan mental.

Menurut data yang diperoleh Hubbard dan Wakefield, sekitar seperempat hingga sepertiga orang dengan penyakit fisik yang serius menyembunyikan penyakitnya dari rekan kerja dan bahkan keluarga dan teman.

Statistik tersebut bahkan lebih mengejutkan apabila kita mempertimbangkan masalah kesehatan mental. Menurut penelitian lain, lebih dari dua pertiga orang akan menyembunyikan penyakit mental dari rekan kerja atau teman sekelas mereka.

Lantas, dukungan seperti apa yang dapat kita berikan tanpa membuat mereka yang sakit merasa dihakimi? Apa saja yang perlu kita perhatikan baik-baik sebelum berucap kepada orang yang sakit?

Bruce Feiler, penulis buku The Search: Finding Meaningful Work in a Post-Career World (2023), dalam artikelnya di Psychology Todaytidak merekomendasikan pertanyaan seperti, "Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?”

Menurut Feiler, meski terdengar tulus dan penuh perhatian, pada waktu sama pertanyaan tersebut mengalihkan beban kembali kepada orang-orang yang sakit. Mereka bisa jadi kesal karena terus-terusan ditanya, dan diingatkan, tentang hal-hal yang tidak bisa mereka lakukan sehingga perlu dibantu.

Alasan lainnya adalah mereka tidak mau mengakui bahwa mereka memerlukan bantuan, sehingga pada kenyataannya mereka enggan memberi tahu apa yang mereka perlukan.

Selain itu, kalimat yang terkesan menenangkan—“Semuanya bakal baik-baik saja!”—juga tidak tepat dikatakan.

Lagi-lagi Feiler berpendapat bahwa kalimat tersebut akhirnya sekadar menjadi slogan klise untuk menghibur orang yang sedang mengalami kesulitan.

Terlebih, tidak ada yang tahu tentang masa depan sehingga ucapan tersebut acap kali tidak tulus dan lebih bertujuan untuk membuat si penutur merasa lebih baik.

Kalimat menghibur lainnya—“Kamu kelihatan sehat, ya!”—juga perlu diwaspadai.

Nyatanya, ucapan penghiburan tersebut bisa jadi tidak sesuai realitas pasien, misalnya yang masih lemas, masih memiliki memar di sekujur tubuh, atau tubuhnya masih dipasangi berbagai perangkat.

Letty Cottin Pogrebin, penulis How to Be a Friend to a Friend Who’s Sick (2013) yang juga penyintas kanker payudara, ingat betul ragam respons dari kawan-kawannya ketika mendapati dirinya sakit.

Ada teman yang kurang paham kebutuhannya sehingga bersikap canggung, sedangkan ada pula yang dapat menunjukkan dukungan dengan baik dan berbelas kasih.

Pogrebin menyarankan sejumlah kalimat yang dipandang cukup untuk menunjukkan empati dan arti kehadiran bagi orang yang sakit seperti berikut.

Misalnya, sampaikan bahwa kamu siap hadir untuk mereka dengan mengucapkan kalimat seperti, “Aku selalu ada buat kamu kapan pun kamu mau ngobrol, ya!”

Kamu juga bisa menunjukkan aksi nyata ketika berkunjung ke rumahnya, misalnya dengan berkata, “Aku bawa lauk pauk untuk makan malam di rumahmu.”

Bersikap peka dengan situasi keluarga mereka yang sakit juga penting. Jika temanmu yang sakit memiliki anak-anak yang usianya masih kecil, kamu bisa membantu mereka dengan menyampaikan, “Kamu pasti perlu me time. Besok Sabtu, aku ajak anak-anakmu main ke luar dulu, ya!”

Rohaniwan di Mayo Clinic, Natasha Dachos, LMSW mengingatkan kita untuk melihat orang yang sakit di depan kita sebagai manusia yang utuh.

“Mau mereka berstatus sebagai ibu, ayah, anak, guru, orang yang hobi berlari—mereka adalah manusia utuh, dengan segala kerumitan yang menyertainya,” ujar Dachos.

Ketika mereka sakit, kita biasanya akan lebih mudah untuk fokus pada penyakit mereka. Di satu sisi, kata Dachos, sakit itu sendiri merupakan satu dari sekian banyak aspek yang membentuk keutuhan hidup mereka.

Maka dari itu, kita perlu peka dan sensitif tentang penyakit dan proses penyembuhan yang mereka lalui. Pastikan betul, apakah mereka ingin membicarakan kondisi kesehatannya, ataukah tertarik untuk membahas perkara lain dalam hidup mereka.

Dachos juga mengingatkan agar kita tidak mencoba memberikan nasihat yang tidak diminta, atau istilah unsolicited advice.

Orang yang sakit acap kali dihujani nasihat-nasihat tentang perawatan dan pilihan gaya hidup. Meskipun maksudnya baik, masukan tersebut berpotensi membuat mereka tidak nyaman, bahkan terdengar seperti menyalahkan mereka.

Penyakit kronis maupun kritis dapat memengaruhi siapa pun tanpa memandang usia, tingkat ekonomi, pendidikan, maupun profesi.

Ketika cobaan tersebut dialami oleh sahabat atau anggota keluargamu, yang paling mereka takuti adalah merasa rentan dan sendirian.

Perhatian dan kehadiranmu menjadi penting untuk menguatkan mereka.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih