tirto.id - “Jadi, cuma si Sarma lah yang gak merantau ya, Lae?”
“Iya, dia yang mengurus Mamak Domu dan aku. Untungnya dia kerja PNS di kecamatan. Jadi gak perlu dia merantau.”
Sudah bertahun-tahun ketiga anak laki-laki Pak Domu tak kunjung pulang dari perantauan. Hanya Sarma, si anak perempuan, yang menetap di kampung untuk mendampingi Pak Domu dan Mak Domu yang semakin menua.
Padahal, Sarma sebenarnya juga ingin merantau untuk meraih cita-citanya jadi juru masak.
Hanya saja, ketika ia diterima di sebuah sekolah kuliner di Pulau Bali, Pak Domu melarangnya pergi, “Kalau kau ke Bali, yang ngurus kami siapa, Nang? Adikmu si Sahat gak mau pulang.”
Sarma akhirnya memilih untuk menjadi pegawai di kantor kecamatan tak jauh dari rumah. Berbeda dari saudara laki-lakinya, Sarma lebih patuh pada orang tua mereka.
“Kalau aku mikirin diriku sendiri, yang mikirin Bapak sama Mamak siapa, Bang?” tanya Sarma pada abang tertuanya.
Kisah tentang keluarga Batak di atas dipetik dari drama komedi Ngeri-Ngeri Sedap (2022). Inti cerita berpusar pada konflik Pak Domu dan ketiga anak laki-lakinya.
Sayangnya, keluh kesah dan perjuangan Sarma sebagai anak perempuan yang ‘mengalah’ tinggal lebih dekat orang tua, tidak terlalu disorot.
Terlebih dari itu, sampai akhir cerita, tidak ditemukan penyelesaian konflik untuk Sarma.
Apa ini artinya tantangan dalam caregiving atau pengasuhan di pundak perempuan dipandang sebagai topik yang lebih kompleks untuk dibicarakan dan diurai?
Keluarga di Pusaran Dunia Caregiving
Caregiver—bisa diterjemahkan sebagai perawat atau pengasuh—merupakan istilah bagi orang yang merawat, menjaga, dan memberikan perhatian pada orang yang kondisinya sakit, terutama yang berusia lanjut.
Mengemban tugas sebagai caregiver bukanlah hal yang mudah. Tenaga profesional harus menempuh pendidikan dalam cabang ilmu keperawatan untuk menguasai pekerjaan ini.
Namun, caregiver sebagai profesi masih terbilang langka di Indonesia. Tugas caregiver lebih banyak dikaitkan dalam konteks memberikan bantuan secara informal, alias sukarela tanpa bayaran, kepada orang dengan kebutuhan medis tertentu.
Realitas sehari-hari menunjukkan bahwa anak—baik anak kandung maupun anak mantu—kerap mengesampingkan diri mereka demi mengasuh anggota keluarga lainnya.
Terkadang, cucu juga terlibat dalam pengasuhan kakek atau neneknya, seperti direpresentasikan dengan menyentuh oleh sineas Thailand dalam film How To Make Millions Before Grandma Dies (2024).
Hasil survei menunjukkan, 80,8 persen pengasuh warga senior adalah keluarga terdekat—meliputi anak, cucu, keponakan, dan kerabat lainnya.
Persentase tenaga profesional yang dikhususkan untuk merawat warga senior justru paling sedikit, yakni 1,3 persen diikuti dengan perawat sebanyak 0,3 persen.
Angka Berbicara: Caregiver Perempuan
Meskipun temuan Kemenkes tidak merincikan data caregiver berdasarkan jenis kelaminnya, beberapa studi dan survei lain menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengambil peran sebagai caregiver bagi anggota keluarga lain yang memerlukan pendampingan khusus, dari anak sendiri, pasangan, sampai orang tua.
Survei di Canada pada 2022 menyebutkan bahwa 52 persen penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas—atau sebanyak 8,4 juta jiwa—melakukan tugas sebagai caregiver, baik dibayar maupun tidak, bagi anak maupun orang dewasa lain. Mereka menghabiskan waktu 4 jam pengasuhan lebih banyak daripada laki-laki.
Sensus di negara Inggris pada 2021 menunjukkan sebesar 10,3 persen caregiver adalah perempuan sedangkan laki-laki 7,6 persen.
Meski distribusi pembagian tugas caregiving antara laki-laki dan perempuan zaman sekarang bisa jadi sudah tidak setimpang di masa lalu, pihak perempuan tetap menanggung beban penugasan lebih susah. Demikian ditekankan dalam statistik di Amerika Serikat.
Misalnya, salah satu studi menunjukkan bahwa 36 persen perempuan menangani tugas-tugas paling menantang demi orang yang dicintainya, seperti mandi, buang air di toilet, dan berpakaian, sedangkan laki-laki yang mau melakukannya lebih sedikit, 24 persen.
Pihak laki-laki cenderung membantu terkait perkara keuangan, pengaturan perawatan, dan tugas-tugas yang tidak terlalu membebani. Kira-kira ada 40 persen laki-laki yang menggunakan jasa berbayar untuk mengurus orang yang memerlukan pengasuhan.
Dalam konteks pasangan suami-istri, temuan dari Fred Hutchinson Cancer Research Center dalam studi di jurnal Cancer (2009) menyorot kecenderungan istri untuk mempertahankan pernikahan dengan suami yang sakit.
Jika dilihat dalam persentase, tingkat perpisahan pada pasangan dengan istri yang sakit mencapai 20,8 persen, jauh di atas pasangan dengan suami yang sakit yaitu 2,9 persen.
Tim peneliti menuturkan, kecenderungan suami meninggalkan istrinya yang sakit bisa dijelaskan salah satunya dengan kurangnya kemampuan laki-laki, dibandingkan perempuan, dalam mengambil komitmen lebih cepat untuk menjadi caregiver bagi pasangannya yang sakit dan kemampuan lebih baik pada perempuan untuk memikul beban dalam mengurus rumah dan keluarga.
Perempuan dan Ranah Domestik
Kesenjangan gender dalam dunia caregiving tidak bisa dipisahkan dari realitas bahwa banyak perempuan selama ini mendedikasikan mayoritas waktunya di ranah kerja informal dan domestik, seperti membersihkan rumah, memasak, mengasuh anak.
Melansir dokumen UN Women, perempuan secara global melakukan pekerjaan domestik tiga kali lipat lebih banyak daripada laki-laki. Bahkan, perempuan yang bekerja di sektor formal tidak serta-merta terbebas dari urusan domestik.
Di satu sisi, kehidupan mayoritas laki-laki berpusar pada pekerjaan formal membuat sebagian dari mereka cenderung merasa kurang perlu terlibat dalam urusan domestik.
Menilik dari lensa maskulinitas, seperti dijabarkan di jurnal The Gerontologist (2010), ketika laki-laki dihadapkan pada tugas merawat dan mengasuh anggota keluarganya yang sakit, ia akan memandang pekerjaan tersebut sebagai tugas yang berat dan masalah yang harus diselesaikan. Maka dari itu, mayoritas laki-laki akan menyerahkan tugas caregiver kepada orang lain.
Sebaliknya, tekanan untuk merawat dan mengasuh orang tua yang sakit lebih dirasakan oleh perempuan.
Pendek kata, laki-laki cenderung merasa lega jika ada orang lain yang membantu merawat orang tuanya, sedangkan perempuan akan merasa bersalah apabila tidak mengambil peran sebagai caregiver.
Pada akhirnya, waktu dan energi yang dikerahkan oleh caregiver—baik laki-laki maupun perempuan—untuk menanggung berbagai beban pengasuhan berpotensi membuat mereka mengesampingkan keinginan-keinginannya sendiri dan menyepelekan kesehatan mentalnya.
Studi di jurnal Psychology and Aging (2003) pernah menjabarkan bagaimana caregiver memiliki tingkat stres dan depresi yang lebih tinggi daripada orang-orang yang tidak merawat siapa pun.
Bagi perempuan, tingkat resiko penurunan kesehatan mental berpotensi lebih tinggi karena mereka lebih banyak meluangkan waktu pengasuhannya daripada laki-laki.
Dampak beban pengasuhan terhadap kesehatan mental caregiver tidak boleh disepelekan.
Teruntuk kalian yang sedang berjuang merawat anggota keluarga yang membutuhkan pendampingan khusus, jangan pernah ragu untuk berbagi cerita dan pengalaman dengan sesama caregiver.
Tidak ada salahnya untuk bergabung dengan komunitas caregiver yang saat ini aksesnya semakin mudah dijangkau melalui media sosial.
Sebut di antaranya ALZI yang mewadahi keluarga dengan pasien penderita demensia dan penyakit Alzheimer, atau komunitas Senja yang menyediakan ruang temu bagi caregiver dan warga senior untuk saling belajar dan mendukung.
Jika merasa perlu, berkonsultasilah dengan pakar atau profesional.
Satu hal penting, sebagai caregiver, jangan pernah lupa untuk memerhatikan kebutuhan diri sendiri. Ingat selalu bahwa dirimu berharga. Dirimu patut bahagia menikmati keindahan dunia.
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih