tirto.id - Seorang nenek yang tinggal serumah dengan anak dan cucunya sering merasa kesepian. Meski mereka hidup bersama, ia jarang diajak berbicara dan akhirnya merasa terasing di tengah keluarganya sendiri.
Kondisi ini diungkapkan oleh salah satu peserta diskusi acara Senja Week “Serasi di Semua Generasi” di Fx Sudirman pada Minggu (06/10/2024).
Nenek tersebut bercerita, anak dan cucunya selalu pamit pergi setiap pagi untuk bekerja atau sekolah. Mereka baru kembali pada sore atau malam hari.
Si nenek merasa sedih dengan keputusan mereka yang tidak meluangkan waktu tersisa untuk bercengkrama dengannya.
Kesendirian acap kali menjadi bagian dari kehidupan warga senior, meski mereka tinggal bersama keluarga. Kedekatan yang tercipta sering kali hanya berupa jarak fisik, bukan ikatan emosional.
Kesehatan Mental Warga Senior
Situasi yang dialami peserta diskusi di acara komunitas Senja Indonesia dalam perayaan Hari Warga Senior Sedunia ini juga umum dirasakan oleh banyak lansia, seperti dijelaskan oleh Dr. Thika Marliana, dokter subspesialis geriatri dari Geriatri.id.
Geriatri merupakan disiplin ilmu kedokteran yang mengkaji kondisi fisiologis dan penyakit yang berkaitan dengan orang lanjut usia.
Dalam sesi diskusi, Dr. Thika menjelaskan bahwa perasaan terabaikan yang dialami oleh nenek tersebut bisa dilihat melalui teori delapan tahap perkembangan psikososial Erik Erikson.
Dr. Thika mengungkapkan, orang tua berusia 60-an tengah menghadapi tugas penting dalam mengembangkan integritas diri, yang dalam teori Erikson dikenal sebagai integrity.
Akan tetapi, tahap terakhir ini sering kali berisi dilema antara integritas versus keputusasaan (despair).
Di tahap ini, orang tua mempertanyakan apakah hidup mereka telah bermakna dan memuaskan, atau sebaliknya.
Faktor-faktor seperti pensiun, kehilangan pasangan, dan mengalami penyakit serius dapat memicu keputusasaan (despair).
Dukungan keluarga dan rasa kontribusi pada masyarakat sangat penting untuk mencapai keseimbangan emosional pada tahap ini.
Tak heran, muncul pertanyaan semacam, “Mengapa saya tidak bisa lebih akrab dengan anak dan cucu?”
Menurut Dr. Thika, hal ini terjadi karena masih ada yang tertinggal dari tahapan perkembangan psikososial.
“Kalau bicara kesehatan jiwa, satu tahap yang terlewati atau yang tidak terpenuhi, maka akan mengganggu tumbuh kembang berikutnya,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, Dr. Thika juga mengajak para senior untuk merenungkan siapa yang paling berjasa dalam hidup mereka, hanya dalam tiga detik.
Setelah itu, ia bertanya, “Dari sekian banyak orang di sini, ada yang menyimpan nama sendiri di dalam hatinya?”
Ternyata, hanya dua orang yang mengakui diri mereka sebagai sosok yang berjasa.
“Sebelum kita berbicara kesehatan jiwa lebih dalam, kita lupa bahwa selama ini, setiap punya masalah atau kesulitan, diri kita sendirilah yang berjuang bisa menghadapi itu semua,” ujarnya.
Ia melanjutkan, “Terkadang, kita suka lupa. Saat bicara kesehatan jiwa, bawaannya sudah stres duluan, punya ekspektasi tinggi atau besar. Padahal, sebelum melihat orang lain, kita harus melihat diri sendiri.”
“Kalau bukan kita, maka tidak ada orang lain yang menghargai bagaimana perkembangan jiwa kita bisa sehat.”
Manajemen Kesehatan Mental Melalui Sekolah Lansia
Dalam sesi diskusi yang sama, perhatian terhadap kesehatan mental warga senior tampaknya bukan bualan semata.
Terdapa banyak wadah yang mulai dibentuk untuk fokus pada isu ini, termasuk kehadiran sekolah nonformal bagi lansia, seperti Sekolah Lansia Fatmawati.
Kepala Sekolah Lansia Fatmawati, Yus Rusamsi (71), turut hadir untuk berbagi kisahnya dalam membantu puluhan warga senior memahami kesehatan mental mereka.
Sekolah ini memiliki tiga jenjang, yang Yus ibaratkan seperti pendidikan formal S-1, S-2, dan S-3, meskipun kurikulumnya berbeda.
Setiap jenjang terdiri dari 12 pertemuan. Murid-murid senior kemudian dinilai berdasarkan kehadiran, keaktifan, dan pemahaman.
Yus menjelaskan, di jenjang pertama, murid senior belajar untuk memahami proses menua, meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikis. Jenjang kedua mengajarkan cara menghadapi masalah yang sering dialami oleh orang tua, terutama terkait kesehatan.
Di jenjang terakhir, murid senior didorong untuk melakukan kegiatan produktif, seperti berkebun, membatik, bernyanyi, hingga mempelajari alat musik angklung.
Setelah menyelesaikan semua jenjang, mereka diberikan kesempatan untuk menjadi narasumber atau layaknya dosen dan berbagi pengalaman serta pembelajaran yang telah mereka peroleh.
Sekolah nonformal untuk warga senior di Jakarta Selatan ini bukan satu-satunya di Indonesia.
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), hingga Juni 2024, sudah ada 757 Sekolah Lansia yang terbentuk.
Pendirian sekolah-sekolah ini didasari oleh meningkatnya populasi warga senior di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan Indonesia telah memasuki struktur penduduk tua (ageing population) dengan lebih dari 10 persen penduduk berusia 60 tahun ke atas sejak 2021.
Pada 2022, data Survei Sensus Nasional (Susenas) BPS menunjukkan bahwa persentase penduduk senior mencapai 10,48 persen—atau sekitar 1 dari 10 penduduk sudah berusia lanjut.
Dengan bertambahnya jumlah warga senior, angka ketergantungan penduduk juga akan meningkat.
Pada Maret 2022, rasio ketergantungan senior mencapai 16,09 persen. Artinya, setiap satu orang senior didukung oleh sekitar 6 orang penduduk usia produktif (usia 15-59 tahun).
Peran Generasi Muda
Dr. Thika dan Yus, yang berasal dari dua generasi berbeda, bisa duduk bersama dalam satu sesi diskusi berkat inisiatif komunitas Senja Indonesia yang dipimpin oleh generasi muda.
Dengan diselenggarakannya acara Senja Week, Founder Senja, Ai Sasmita, menekankan pentingnya peran setiap generasi dalam menjaga kesejahteraan keluarga.
Ai menggarisbawahi bahwa persiapan untuk menghadapi ageing population harus segera dimulai.
Menurut Ai, bonus demografi pada 2045 tidak hanya akan berfokus pada usia produktif, melainkan juga sekitar 50 juta jiwa senior yang harus ditanggung oleh generasi emas mendatang.
“Kami percaya bahwa setiap generasi memiliki peran penting dalam menjaga kesejahteraan keluarga,” ujarnya.
Ai menambahkan bahwa jika dalam lima tahun terakhir dukungan terhadap orang tua muda telah terbentuk dalam konteks ‘parenthood’, maka sudah saatnya generasi muda juga membangun konsep ‘personhood’.
“Personhood dalam konteks setiap Junior memiliki ilmu, skill, dan support system dalam merawat Senior kita sendiri maupun di lingkungan sekitar, agar mereka terus berdaya, mandiri, dan hidup bermartabat,” pungkas Ai.
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih