tirto.id - “Tiba-tiba saja Ibu minta diantar ke Belanda.”
Demikian Billy mengawali kisah tentang ibunya yang mengidap kepikunan atau demensia.
“Katanya,” lanjut Billy, “neneknya dimakamkan di sana. Saya tidak kenal nenek buyut saya, tapi saya kenal nenek dari pihak Ibu—dulu tinggal di Semarang.”
Billy dan suaminya pun memutuskan membawa sang ibu berlibur ke negeri Kincir Angin.
“Saat kami jalan-jalan, di suatu tempat tiba-tiba Ibu berkata, ‘Lho, ini kan Semarang? Kamu kok ngajak aku ke Semarang? Katamu kita ke Belanda?’ Saya jelaskan, ini Belanda, bukan Semarang. Tak lama kemudian Ibu bertanya lagi, ‘Kita ada di mana?’” kenang Billy sambil tertawa.
Beberapa pasien demensia tingkat dini memang masih mampu beraktivitas sendiri, seperti mandi, berdandan, menyeduh teh, atau sekadar minta ditemani jalan-jalan. Pendamping atau perawat biasanya baru akan memberikan bantuan berkaitan dengan memori yang terlupa.
Akan tetapi, pada penderita demensia tingkat berat atau yang kondisinya sudah memburuk, diperlukan upaya pendampingan lebih serius.
Billy mengatakan, “Bukan saja lupa nama-nama, tetapi pada akhirnya lupa segalanya. Orang yang merawat penderita harus punya pengetahuan dan pengertian untuk dapat menghadapi berbagai bentuk gejala Alzheimer, terutama semua bentuk hilang ingatan.”
Billy sehari-hari dibantu oleh caregiver atau pengasuh profesional dan dua orang asisten untuk mengurus rumah dan dapur. Dengan asistensi tersebut, Billy dan suaminya dapat lebih fokus dan tenang menjalankan pekerjaannya di kantor.
Situasi lebih rumit biasanya dialami oleh keluarga dengan keterbatasan sumber daya.
Dewi, ibu dengan anak usia SD, kini merawat sendiri ayahnya yang demensia. Memikirkan menu makan ayah, berjaga di malam hari, menjawab pertanyaan berulang-ulang, membuat Dewi mudah lelah. Tanpa disadari, acap kali nada bicaranya berubah jadi meninggi.
Dewi akhirnya memutuskan berhenti bekerja setelah mendapati ingatan ayahnya semakin memburuk. Aktivitasnya setiap hari pun berkutat pada kebutuhan sang ayah, “Boro-boro hangout sama teman-teman.”
Dewi sebenarnya memiliki saudara kandung. Namun, sebagai kepala keluarga, saudaranya tidak memiliki waktu dan energi ekstra untuk ikut merawat ayah mereka.
Realitas sehari-hari merawat pasien orang tua dengan demensia, terutama yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer, tidak hanya dialami oleh Billy dan Dewi.
Di Indonesia, pada 2016, diperkirakan terdapat 1,2 juta orang yang mengidap demensia. Dapat dibayangkan betapa besarnya ‘pasukan’ di balik layar yang berperan menopang keseharian mereka.
Keluarga Penopang Utama
Keluarga merupakan pendukung utama orang-orang lebih tua atau warga senior yang membutuhkan pendampingan karena sudah uzur dan pikun.
Anak-anak—khususnya anak perempuan kandung dan menantu perempuan—kerap mengambil peran sebagai pendamping sukarela atau perawat informal, alias tidak dibayar, bagi orang tua maupun mertua.
Nyaris separuhnya, atau sekitar 48 persen, merawat pasien demensia termasuk penderita penyakit Alzheimer.
Lebih dari 11 juta penduduk AS menjadi perawat informal bagi pasien demensia. Pada 2023, mereka secara sukarela sudah mengalokasikan total waktu 18,4 miliar jam untuk merawat pasien demensia. Jika dinilai secara material, kontribusi mereka diperkirakan mencapai 346,6 miliar dolar AS.
Laporan tersebut juga menegaskan bahwa sekitar dua per tiga perawat pasien demensia adalah perempuan.
Selain itu, sekitar seperempat perawat pasien demensia adalah generasi roti lapis alias sandwich generation. Artinya, mereka masih menanggung kebutuhan utama anak sendiri di samping mengerahkan sumber dayanya untuk orang tua yang sudah menua.
Menguras Tenaga dan Waktu
Menjadi caregiver atau perawat bagi orang tua yang demensia, terutama karena penyakit Alzheimer, sudah tentu menguras energi, tenaga, dan waktu, demikian ditegaskan Novia Dwi Rahmaningsih, M.Psi., Psikolog dari Biro Layanan Psikologi Kawan Bicara.
“Kekhasan gejala Alzheimer yang membuat orang tua semakin menurun daya ingatnya, sehingga bisa jadi akan bergantung dengan kita. Ini bukan perubahan kondisi yang mudah untuk diterima dan dihadapi,” jelas Novia.
Merawat pasien demensia cenderung berbeda dari aktivitas merawat orang dengan disabilitas lainnya karena sifat demensia yang kompleks, sulit diprediksi, dan cenderung degeneratif atau memburuk.
Bahkan, saking menantangnya beban pengasuhan, mereka yang mendampingi orang-orang tua dengan demensia acap kali disebut ‘pasien kedua yang tidak terlihat’.
Padahal, merekalah penentu kualitas hidup penderita demensia. Bagaimana bisa seseorang yang sakit mampu merawat orang sakit?
Menurut survei dalam studi Alzheimer’s Society di Inggris Raya pada 2018, sembilan dari sepuluh perawat untuk pasien dengan demensia mengalami kecemasan dan stres beberapa kali dalam seminggu.
Sebanyak delapan puluh persen lainnya merasa sulit membicarakan dampak emosional yang mereka alami.
Perawat pasien demensia sering merasa kesulitan untuk terbuka tentang bagaimana proses perawatan demikian memengaruhi emosi mereka.
Hampir 60 persen responden perawat merasa bersalah saat ingin mencari dukungan untuk dirinya, seakan-akan mereka mendahulukan kepentingan sendiri alih-alih orang yang mereka rawat.
Mereka berjuang melawan kelelahan karena tidak dapat tidur malam, berhenti bersosialisasi, dan mengabaikan kesehatannya sendiri.
Menurut dokter spesialis saraf dari Eka Hospital BSD, Tangerang, dr. Herianto Tjandradjaja, Sp.S, salah satu karakteristik yang ditemui pada pasien demensia adalah bingung waktu.
“Karena bingung waktu, maka ritme biologisnya jadi kacau. Siang tidur, malam bangun ngoceh-ngoceh sendiri. Ini perlu mendapat perhatian,” kata dr. Herianto.
Hal semacam inilah yang membuat Dewi kehilangan jam tidur malamnya. Ayahnya sering bangun malam, bicara sendiri dan mondar-mandir di dalam rumah.
Dewi harus berjaga-jaga karena khawatir ayahnya menyalakan kompor lalu terlupa karena kemudian ingin melakukan hal lainnya.
Kesehatan Mental Caregiver
Orang-orang yang merawat atau mendampingi pasien dengan demensia perlu menjaga kewarasannya. Agar tidak mudah tersulut emosi, langkah pertama yang disarankan psikolog Novia adalah menerima perubahan kondisi orang tua.
“Bicarakan dengan orang tua lain, misalnya penderita adalah ibu, maka diskusikan dengan bapak dan terutama saudara kandung.”
Senada, dr. Herianto menegaskan, penerimaan dari keluaga tentang perilaku aneh dari pasien sangatlah penting dalam tatalaksana perawatan demensia.
“Tak perlu direspons secara berlebihan. Sering kali perilaku anehnya bukan semata karena demensia, tapi akibat stres karena sering dibentak. Kalau dibentak-bentak, lebih cepat menjadi gangguan perilaku,” ujar dr. Herianto.
Menurut Novia, bekerja sama sebagai tim untuk menjadi perawat orang tua yang memiliki penyakit Alzheimer sangat penting untuk menjaga kondisi emosi dan mental.
Apabila kita dibantu dengan perawat profesional, Novia mengingatkan, kita wajib memerhatikan kesejahteraannya.
“Berikan apresiasi yang layak karena beban tambahan yang diserahkan ke perawat. Apresiasi ini selain berupa imbal jasa materi yang sesuai, juga apresiasi immaterial misal dengan mengajak ngobrol tentang kondisi orang tua dan perasaannya menghadapi orang tua hari ini.”
Hal penting lainnya, tegas Novia, adalah membiasakan mengucapkan terima kasih kepada perawat atas bantuan yang diberikan.
“Bila ada kesulitan dalam perawatan sehari-hari, berempatilah dengan perasaan tidak nyamannya dan diskusikanlah bersama. Bila kita juga kebingungan maka kita perlu mencari informasi lebih lanjut tentang kondisi Alzheimer tersebut dan mendiskusikannya bersama perawat.”
Novia juga menyarankan agar caregiver bergabung dengan komunitas untuk saling membantu menguatkan dan berbagi ilmu dalam menghadapi orang tua dengan demensia.
Di Indonesia, terdapat sejumlah komunitas yang fokus pada kesejahteraan warga senior dan perawatnya.
Alzheimer Indonesia atau ALZI, misalnya. Melalui akun Instagram dan kanal YouTube, mereka rutin membagikan edukasi, dari modul tips merawat dan mendampingi pasien demensia sampai alternatif menu sehat untuk pasien demensia.
Cabang-cabang ALZI di berbagai kota juga kerap mengadakan acara edukasi, yang kerap dibungkus dalam format menghibur seperti senam untuk warga senior di Lombok atau kelas yoga untuk caregiver di Yogyakarta.
Ada juga komunitas Senja yang menyediakan ruang bagi caregiver untuk berbagi cerita dan ilmu tentang perawatan dan pendampingan terhadap warga senior.
Melalui akun Instagram, komunitas Senja konsisten membagikan konten-konten edukatif tentang perawatan warga senior atau rekomendasi aktivitas yang bisa dilakukan bersama orang-orang tua. Mereka juga menyelenggarakan kegiatan luring bagi warga senior dan perawatnya.
Bagi kamu yang sedang berjuang merawat dan mendampingi orang tua yang sakit atau mengalami demensia, jangan pernah merasa sendirian, ya!
Ketika kamu sudah siap, mulailah berbagi cerita kepada orang-orang yang kamu percaya, bisa di lingkaran pertemanan, keluarga, komunitas, atau dengan profesional.
Yang terpenting, sadari betapa hebatnya dirimu karena sudah mampu berjuang sejauh ini. Apresiasi usahamu dengan ingat selalu untuk mencintai diri sendiri.
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih