Menuju konten utama
Renungan di Momen Lebaran

Memahami Amarah, Menelusuri Akar Pemicu Masalah

Amarah, seperti bensin, bisa membakar dan menghanguskan. Namun jika dikelola dengan benar, ia dapat membantu kita mengatasi persoalan.

Memahami Amarah, Menelusuri Akar Pemicu Masalah
Ilustrasi Perselisihan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Amarah adalah jenis emosi yang selalu mendapat citra negatif, dipandang buruk, dan sedapat mungkin dihindari.

Padahal, amarah sebenarnya adalah emosi yang sehat, valid, dan penting. Demikian disampaikan Erin S. Bullett, PhD, direktur Psychological Services Clinic dari University of Missouri, Amerika Serikat, seperti dikutip dari WebMD.

Selama ini, kita diperbolehkan untuk menunjukkan berbagai macam emosi, akan tetapi tidak dengan amarah.

Jika begitu realitasnya, kita tidak akan pernah belajar mengatasi kemarahan atau menyalurkannya secara konstruktif, bukan?

Lantas, bagaimana sebaiknya kita memproses amarah yang baik?

Dalam tulisannya di Psyche, psikolog dan dosen Ryan Martin, PhD menjelaskan bahwa amarah bisa dijadikan bahan bakar untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah—sepanjang digunakan secara tepat.

Apabila kita sering mengomel karena lupa meletakkan kacamata atau ponsel, berarti sudah saatnya kita membuat sistem penyimpanan barang yang lebih baik.

Atau, contoh lain tentang masalah yang lebih besar: jika kita difitnah atau diperlakukan tidak adil di kantor, rasa marah akan menguatkan kita untuk membela diri.

Kita perlu memahami amarah kita agar dapat meluapkannya dengan cara yang lebih sehat. Terkait hal itu, Martin menyarankan kita untuk menjawab tiga pertanyaan berikut.

Pertama, apakah kita memang perlu merasa marah?

Coba evaluasi situasinya. Apa benar kita sudah diperlakukan tidak adil? Benarkah tujuan kita jadi terhalang? Jika benar, separah apa konsekuensinya?

Setelah mengevaluasi, terkadang kita sadar bahwa masalahnya tidak besar, tetapi sekadar kesalahan yang tidak disengaja atau konsekuensinya ternyata tidak signifikan.

Sebaliknya, jika amarah kita dapat dijustifikasi, coba lontarkan pertanyaan kedua: Di balik amarah ini, ada pesan apa tentang situasi kita?

Apa yang sebenarnya kita inginkan? Misalnya, kita marah karena terjebak macet. Namun ternyata ini hanya separuh alasan.

Di balik itu, kita cemas karena akan mengikuti tes sertifikasi di kantor pada hari itu. Nah, karena amarah kita tak bisa mengubah kemacetan, lebih baik fokuskan energi untuk mempersiapkan ujiannya saja.

Pertanyaan terakhir, apa yang ditunjukkan amarah ini tentang diri kita?

Misalnya, kita marah karena hasil kerja kita selalu dikritik seorang rekan. Coba renungkan lagi, apa sebenarnya yang membuat marah? Adakah nilai dan kebutuhan diri kita yang tak terpenuhi?

Apabila kita tersinggung karena merasa tidak dihargai dan diremehkan oleh rekan kerja, ini berarti ada kebutuhan akan rasa hormat dan kepercayaan diri.

Namun, apabila sebenarnya kita stres karena memikirkan hasil KPI dan kemungkinan gagal dipromosikan, ini berarti ada persoalan lain.

Alasan yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula. Menemukan alasan kemarahan yang sejati membuat kita dapat mengambil langkah selanjutnya yang tepat.

Marah

Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

Sadari pula bahwa amarah acap kali hanya emosi sekunder.

Apabila kita mencoba untuk menelaah, di baliknya acap kali tersembunyi emosi primer—sebut di antaranya rasa cemburu atau takut.

Nah, kita perlu menemukan emosi primer ini supaya dapat mengatasi persoalan yang sebenarnya.

Yang terpenting, sebelum memutuskan untuk mengelola amarah, emosi yang berkobar-kobar di dalam dada sebaiknya diredakan dulu.

Di masa lalu, kita sering mendengar teori bahwa amarah lebih baik dikeluarkan daripada dipendam. Mungkin bukan dengan mengamuk, melainkan saat sedang marah kita disarankan untuk berolahraga, memukul bantal atau samsak sebagai katarsis.

Namun, penelitian menunjukkan bahwa katarsis ternyata tidak saja gagal mengurangi kadar amarah, tetapi juga memperlama durasi rasa marah dan meningkatkan kemungkinan tindakan agresif.

Menurut sebuah studi tinjauan pada 2024 terhadap 154 penelitian dengan 10.000 partisipan, aktivitas seperti joging dan naik-turun tangga yang dilakukan sebagai katarsis malah berpotensi meningkatkan amarah secara signifikan.

Alih-alih olahraga intens, ada gerakan fisik lebih lembut yang disarankan untuk meregulasi amarah.

Dilasir dari artikel SELF, Akua K. Boateng, PhD, psikoterapis dan pendiri Boateng Consulting di Amerika Serikat merekomendasikan peregangan, foam rolling, dan pijat untuk mengendurkan otot-otot yang tegang karena amarah.

Menurutnya, tubuh perlu ditenangkan dan respons stres diredakan agar kita dapat melakukan hal-hal produktif.

Saran lain untuk menenangkan diri adalah jalan kaki di alam, yoga, serta aktivitas relaksasi seperti meditasi dan pernapasan diafragma.

Marah

Ilustrasi [Foto/Shutterstock]

Bagaimana dengan katarsis tertulis dan verbal alias ngomel-ngomel? Apakah baik untuk meregulasi amarah?

Sebuah studi yang dipublikasikan di European Journal of Work and Organizational Psychology (2016) melibatkan 112 profesional untuk menulis jurnal tentang pengalaman mereka di tempat kerja.

Hasilnya, disimpulkan bahwa semakin banyak orang mengeluh, perasaannya malah semakin memburuk.

Itu bukan berarti kita dilarang curhat, mengeluh, atau venting.

Menuangkan perasaan lewat tulisan atau menceritakannya pada orang lain memang bermanfaat—sepanjang niatnya adalah untuk memproses emosi dan mencari jalan keluar.

Masih mengutip SELF, terapis pernikahan dan keluarga Cherise Stewart, LMFT menyarankan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan pancingan saat kita akan menulis jurnal.

Misalnya, pertanyaan seperti, mengapa aku merasa marah? Apa yang sebenarnya kucemaskan saat ini? Di balik amarah ini, adakah kebutuhanku yang belum terpenuhi? Apa yang akan kulakukan?

Apabila terlintas pikiran negatif bahwa segala hal sudah telanjur hancur, coba tanyakan lagi pada diri sendiri, “Apakah pikiran ini benar? Apa buktinya?”

Begitu pula saat kita memutuskan untuk curhat pada teman. Tanyakan terlebih dulu pada diri sendiri, apakah aku berusaha mencari jalan keluar atau sekadar ingin ngomel?

Memang betul, amarah bisa membantu kita mengenali dan menghadapi masalah. Namun, ada pula orang yang menderita amarah kronis sehingga mudah terpancing perkelahian, merusak barang, atau menyetir ugal-ugalan.

Apabila kamu mengalami konsekuensi negatif yang serius akibat amarah, sebaiknya segeralah cari bantuan profesional.

Amarah adalah bahan bakar yang bisa bermanfaat. Namun jika tidak dikendalikan, ia dapat meledak sewaktu-waktu dan membahayakan dirimu dan orang-orang di sekitarmu.

Jadi, ayo belajar kendalikan amarah sebelum kita dirugikan olehnya!

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Eyi Puspita

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Eyi Puspita
Penulis: Eyi Puspita
Editor: Sekar Kinasih