tirto.id - Bagaimana seseorang semestinya marah? Dalam sebuah film berjudul Network yang diproduksi tahun 1876, pembawa acara berita Howard Beale membuka acara televisinya dengan kalimat "We’re in a lot of trouble”. Saat itu, Amerika sedang mengalami krisis: Krisis moral, krisis ekonomi, krisis politik dan kebudayaan. Beale marah karena ia hanya bisa diam, sementara kondisi yang kepalang brengsek itu telah demikian mengganggu hidupnya. Hingga kemudian pada satu titik ia meminta para penontonnya untuk marah. “Aku ingin kalian marah!”
Marah bisa jadi sebuah tanda kesehatan, bahwa seseorang punya emosi dan naluri defensif terhadap sebuah hal. Menurut riset dari Harvard Medical School, amarah yang tak terkendali ditemukan di kalangan remaja di Amerika. Setidaknya dua pertiga remaja di negara itu punya sejarah kemarahan yang meledak-ledak. Dari angka itu hanya sedikit (delapan persen) yang kemudian mengembangkan gejala gangguan Intermittent Explosive Disorder (gangguan kemarahan yang meledak-ledak).
Marah barangkali kondisi wajar dari seseorang yang merespons sebuah peristiwa atau keadaan. Tapi lain jika anda seorang pemimpin yang perlu mengambil kebijakan dengan kepala dingin atau bicara dengan publik. Beberapa pemimpin sering memperlihatkan sikap temperamennya di depan publik. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah salah satunya.
Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (LPPUI) merilis perihal survei opinion leader kandidat Gubernur DKI Jakarta. Survei yang melibatkan 206 responden yang kebanyakan pakar dan ahli itu menjelaskan tentang bagaimana seorang pemimpin dinilai. Rekomendasinya Basuki Tjahaja Purnama masuk sebagai salah seorang tokoh yang dianggap patut menjadi pemimpin Jakarta.
Salah satu aspek penilaian adalah karakter personal. Dalam survei tersebut Ahok menempati posisi terendah dengan poin 5,6 dari sisi temperamen dan Ridwan Kamil menempati posisi tertinggi dengan poin 7,6. Ahok, dengan kata lain merupakan pemimpin yang paling mudah lepas kendali dan emosi berbeda dengan Ridwan Kamil yang lebih tenang dan dingin. Namun, LPPUI mengatakan bahwa temperamen tidak mempengaruhi kapabilitas seseorang dalam bekerja. Sejauh ini Ahok masih bisa bekerja dengan baik.
Saat peluncuran situsweb tirto.id, Ahok menjelaskan bahwa ia bukan orang yang temperamental. Apa yang ia lakukan selama ini adalah marah yang sehat. Karena kemarahan yang ia lakukan untuk produktivitas kerja sebagai seorang pejabat negara. “Saya memang enggak pernah marah (karena benci), dulu marah karena enggak bisa ngapa-ngapain karena ada bos pak Jokowi,” kata Ahok. Ia menilai kinerja beberapa pejabat di Jakarta kurang maksimal. “Tapi kalo dipecat akan diganti siapa, sama-sama kita enggak kenal. Karena enggak bisa mecat, ya gua marah-marahin aja supaya takut,” jelas Ahok
Menariknya meski mengaku kerap marah Ahok tak merasakan gangguan kesehatan. Ketika diminta oleh dokter untuk cek up tubuhnya dinyatakan sehat dan tak ada gangguan.
Sebenarnya saat marah, Ahok ingin memberikan kesempatan kepada pejabat di pemerintahan DKI untuk bekerja lebih baik. Kalau memang benar benci, ia bisa dengan mudah memecat saja, tanpa perlu marah. Ahok ingat ketika pertama kali nyusun anggaran 2016 ada anak buahnya yang ngotot. “Ya saya marahin aja,” katanya.
Ternyata ketika Ahok marah, pegawai magang di kantornya mendengar. Dengan inisiatif sendiri, karyawan magang tersebut menelpon ambulan karena khawatir Ahok kena stroke. Inisiatif ini membuat banyak wartawan datang. Anehnya, ketika rapat perencanaan anggaran itu, meski kerap marah, Ahok dinyatakan sehat dan tak ada gangguan sama sekali. “Lihat ya, saya marah lagi. Saat marah saya ke belakang (untuk periksa) tensi, normal kok,” kata Ahok.
Canadian Mental Health Association menyebutkan bahwa kemarahan adalah kondisi emosi yang memberitahukan kita ada hal yang salah dan kita kehilangan kontrol untuk mengendalikan kesahalan itu. Misalnya kita merasa diperlakukan tidak adil, ketika orang yang kita sayang disakiti, atau bahkan ketika kita tak mampu mengendalikan hasil akhir dari usaha yang kita buat. Kemarahan bisa juga lahir dari kondisi tekanan pekerjaan, stres, perasaan yang berantakan, merasa diasingkan atau disalahkan. Kadang kita bisa saja marah tanpa alasan.
Sayangnya kemarahan ini bisa jadi hal yang sangat berbahaya. Dalam riset terbaru yang dilkukan oleh San Francisco State University menyebutkan bahwa seseorang yang mengalami rasa marah, kebencian dan rasa jijik akan punya kecenderungan bertindak kasar terhadap mereka yang ia benci. Riset yang dirilis Februari lalu di Journal of Applied Social Psychology ini punya implikasi serius dalam kinerja seseorang yang bekerja dalam bidang politik dan hukum. Mereka bisa tidak adil dan cenderung mengabaikan akal sehat ketika menghadapi orang yang dianggap musuh.
Kemarahan bisa jadi kondisi kejiwaan yang enggan diakui. Bagi orang dengan kondisi mental khusus, kemarahan adalah sesuatu yang tak bisa mereka kendalikan. Kemarahan bisa lahir dari hal-hal sederhana seperti cuaca yang berubah, teks pesan di media sosial, ingatan akan peristiwa di masa lampau dan sebagainya. Amarah yang tak terkendali ini bisa berimbas pada ucapan kasar, sikap yang tidak menyenangkan, melakukan kekerasan fisik, mengganggu pekerjaan kita, dan yang jarang disadari mengganggu kesehatan tubuh kita.
David Matsumoto profesor psikologi dari Universitas San Fransisco menyebut apabila kita bisa mengidentifikasi kondisi emosi seseorang yang berujung pada tindakan agresif, kita bisa melakukan sesuatu pada kemarahan itu. Entah menahan atau mengatasinya dengan pendekatan yang lain. Menurutnya sikap tempramental atau kemarahan ini bisa diatasi apabila orang yang marah tadi sadar bahwa dirinya punya masalah dengan pengendalian emosi.
Lantas apa yang terjadi pada tubuh kita jika kita sedang marah? Saat kita marah detak jantung, tekanan arteri, dan produksi testosteron kita meningkat, cortisol (hormon yang mengendalikan stress) menurun, bagian kiri otak kita terstimulasi dan tubuh kita menegang dengan hebat. Berdasarkan riset dari Universitas Valensia, kemarahan punya kaitan langsung dengan perubahan kerja otak, hormon, dan tubuh kita.
Dalam riset yang menyertakan 30 orang ini melibatkan 50 fase simulasi kejadian sehari-hari yang dapat memantik kemarahan. Sebelum dan sesudah mereka marah kondisi peserta riset itu diperiksa. Hasilnya dipublikasikan di journal Hormones and Behavior, yang menunjukan bahwa kemarahan dapat membuat kondisi pikiran seseorang berubah menjadi lebih negatif dan lebih agresif. Seseorang punya potensi gangguan jantung akibat kemarahan yang kerap terjadi. Sehingga menahan marah bisa jadi alternatif untuk menjaga tubuh agar tetap sehat.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti