tirto.id - Di era digital, media sosial kerap menjadi platform untuk berbagi pengalaman dan perasaan, termasuk saat menghadapi stres atau masalah. Apa kamu juga begitu?
Venting atau mengeluarkan unek-unek tentang situasi yang dihadapi sehari-hari—seperti kemacetan jalan saat berangkat ke kantor, dinamika asmara, sampai masalah keluarga yang pelik—kini dapat dilakukan dengan mudah di media sosial.
Ada yang terang-terangan venting dengan berani untuk mengungkapkan jati diri. Ada pula yang venting secara anonim lewat akun-akun menfess. Apa pun cara yang ditempuh, mereka cenderung merasa lega setelah membagikan emosinya secara terbuka.
Venting merupakan sebuah bentuk katarsis yang, apabila dilakukan saat sedang merasa emosinal, dapat membantu diri kita menjadi lebih tenang dan lega.
Dalam konteks media sosial, venting dilakukan dengan membuat unggahan yang menggambarkan perasaan kita terhadap situasi tertentu, bisa juga dalam wujud memberikan komentar di unggahan orang lain.
Venting di media sosial memang lebih praktis dan cepat daripada harus membuat janji temu dengan teman atau orang terdekat untuk curhat secara langsung.
Di satu sisi, yang membaca, melihat, atau mendengar venting kita di media sosial bukan hanya teman-teman kita, melainkan juga orang asing yang tidak kita kenal di kehidupan sehari-hari.
Pertanyaannya, selain alasan kepraktisan, mengapa beberapa orang lebih memilih untuk venting secara online pada audiens yang kemungkinan tidak dikenal langsung?
Melansir penjelasan dari artikel SagePub, sebuah penelitian tahun 1985 menuturkan bahwa manusia merasa lebih puas saat berkeluh kesah secara terbuka kepada orang asing dibandingkan jika dilakukan secara privat pada orang yang dikenal dekat.
Ada beberapa penjelasan terkait itu.
Ketika kita venting ke teman atau orang terdekat, mereka cenderung akan menganalisis masalah kita lalu memberikan saran karena mereka ingin membantu kita.
Padahal, tujuan kita melakukan venting bisa jadi hanya untuk curhat, atau minta didengarkan dan divalidasi—tanpa perlu diberi saran dan solusi.
Ini berbeda dengan aktivitas venting ke orang yang tidak dikenal. Mereka hanya akan membaca atau mendengarkan, lalu bersimpati dan memberi validasi terhadap emosi yang kita rasakan.
Selain itu, venting di media sosial dapat mengundang komentar dan dukungan dari orang lain, tak hanya dari teman tapi juga dari orang yang tidak kita kenal.
Hal tersebut dapat memberikan rasa nyaman dan mengurangi perasaan sendirian dalam menghadapi masalah.
Satu hal lagi alasan yang membuat venting online menjadi pilihan adalah kemungkinan untuk melakukannya secara anonim, yaitu lewat akun-akun menfess atau mention confess.
Sering juga disebut akun base dan safe space, akun-akun menfess—banyak ditemukan di X—akan mengunggah isi venting via DM dari follower-nya untuk kemudian dikomentari oleh follower lainnya.
Follower yang venting pun tidak perlu khawatir akan didukung atau dimaki-maki karena identitas mereka dirahasiakan.
Harus Siap dengan Konsekuensinya
Meskipun venting secara online dapat membantu kita merasa lega dan seakan-akan mendapatkan banyak dukungan, mengekspresikan emosi secara online ini mengandung berbagai konsekuensi yang mau tidak mau harus siap kita hadapi.
Demikian disampaikan Roisatun Lutfia Prastiwi, M.Psi., Psikolog dari Biro Layanan Psikologi Kawan Bicara yang biasa disapa Fifi.
“Ketika kita ingin mengungkapkan atau mengekspresikan perasaan dan emosi dalam bentuk apa pun secara online, pertama-tama kita harus siap dengan konsekuensinya karena ada celah-celah informasi pribadi kita yang berpotensi akan keluar,” terangnya.
Akan sangat berbahaya apabila venting yang kita luapkan dengan blak-blakan sampai menyebutkan nama atau mengungkap identitas orang lain.
Terkait itu, bukan tidak mungkin pelaku venting di ruang digital dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dari UU ITE.
Perlu kita sadari juga bahwa venting yang dilakukan di media sosial belum tentu dibaca, dilihat, atau didengarkan seutuhnya. Warga di ruang digital bisa jadi hanya membaca atau menyerap sepotong informasi dari kronologi yang penting.
Ini bisa berakibat pada respons yang sangat beragam dan mungkin menjadi tidak relevan dengan keluh-kesah kita.
“Kita mungkin sudah merasa lega dan tenang setelah venting secara online, akan tetapi saat membaca komentar-komentar dari netizen yang kurang tepat, ini akan berpengaruh ke kondisi mental kita. Selain itu, respons-respons yang tidak tepat ini juga dapat memengaruhi alternatif-alternatif penyelesaian masalah yang kita ambil sehingga menjadi tidak tepat pula,” ujar Fifi.
Konsekuensi dari menumpahkan emosi negatif lewat sosial media juga pernah diulas dalam penelitian tahun 2016 terhadap platform media sosial Weibo di Cina.
Hasil riset menyebutkan bahwa emosi berupa rasa marah lebih mudah dan cepat menular di media sosial dibandingkan rasa bahagia.
Ini berakibat pada munculnya kemarahan kolektif yang dapat membawa dampak negatif. Misalnya, bullying atau penghakiman ke pihak yang dianggap bersalah, padahal belum tentu situasinya seperti yang digambarkan.
Venting Online secara Bijak
Sebelum memutuskan untuk melakukan venting secara di ruang digital, ada baiknya kita mempertimbangkan alternatif yang lebih aman.
Menurut Fifi, menulis di jurnal pribadi, melakukan aktivitas kreatif seperti menggambar (doodling), memotret foto yang vibe-nya sesuai dengan emosi, atau berbicara langsung dengan orang yang dapat dipercaya, merupakan cara yang lebih sehat untuk melepaskan emosi tanpa risiko besar.
“Kembali lagi, venting adalah katarsis. Kita bisa memilih untuk tidak melakukannya di ranah publik dan melakukannya di platform yang lebih aman tanpa membagikan hal-hal yang sangat personal,” jelas Fifi.
Selain itu, jangan lupa bahwa aktivitas venting perlu dilanjutkan dengan proses refleksi.
Nah, jika perasaanmmu semakin buruk setelah venting di media sosial, mungkin inilah waktunya untuk mengevaluasi apakah cara tersebut benar-benar bermanfaat bagi kondisi emosionalmu atau sebaliknya, malah menambah masalah baru.
Jadi, sebelum menekan tombol ‘kirim’ atau ‘unggah’, pertimbangkan lagi dengan bijak keputusan untuk venting di media sosial, ya!
Penulis: Yunita Lianingtyas
Editor: Sekar Kinasih