Menuju konten utama

Curhatan Berujung Bui

Haris Azhar, Koordinator KontraS, merupakan “korban” terbaru dari Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Sejak 2008 hingga Juni 2016, tercatat muncul 141 kasus terkait UU ITE. Siapa yang salah?

Curhatan Berujung Bui
Koordinator KontraS Haris Azhar (kelima kanan), bersama sejumlah aktivis yang tergabung dalam gerakan indonesia berantas mafia narkoba membawa poster ketika memberikan keterangan terkait pelaporan Haris Azhar ke Bareskrim di gedung PP Muhammadiyah Jakarta, Kamis (4/8). [antara foto/wahyu putro a/foc/16]

tirto.id - Ervani Emi Handayani menangis haru begitu keluar dari ruang sidang Pengadilan Negeri Bantul, Yogyakarta, pada 5 Januari 2015. Puluhan ibu rumah tangga yang juga tetangganya langsung bergantian memeluk. Hari itu adalah pembacaan putusan dari kasus yang menjerat Emi. Majelis Hakim memvonis Emi bebas dari tuntutan pencemaran nama baik.

Emi adalah satu korban pelaporan pencemaran nama baik di media sosial yang akhirnya dibebaskan. Kisah sedih yang menimpa Emi bermula dari curhatannya di Facebook, lantaran suaminya nyaris di-PHK dari tempatnya kerja.

“Iya sih pak Har baik, yang nggak baik itu yang namanya Ayas dan spv (supervisor) lainnya. Kami rasa dia nggak pantas dijadikan pimpinan Jolie Jogja Jewellery. Banyak yang lebay dan masih labil seperti anak kecil!”

Curhatan Emi itu rupanya berbuntut panjang. Ayas, sang supervisor, membaca curhatan itu dan merasa namanya dicemarkan oleh Emi. Dia pun melaporkan Emi ke Kepolisian dan dijerat dengan pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Selanjutnya pada 9 Juli 2014, Emi dipanggil polisi dan ditetapkan sebagai tersangka. Emi bahkan sempat ditahan di Lapas Wirogunan Yogyakarta selama 20 hari sebelum penahanannya ditangguhkan.

Kasus serupa kembali terjadi. Kali ini korbannya Haris Azar, Koordinator KontraS. Haris dilaporkan oleh Polri, TNI dan BNN lantaran membuat tulisan di Facebook terkait pengakuan gembong narkoba Freddy Budiman. Haris menulis pengakuan Freddy, bahwa dia memberi uang Rp90 miliar pada sejumlah pejabat di Mabes Polri dan Rp 450 miliar pada BNN. Haris pun dijerat dengan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE .

Kasus yang pernah menimpa Emi dan kini menjerat Haris pada dasarnya sama. Emi menulis curhatannya, Haris menulis pengakuan Freddy Budiman. Keduanya pun sama-sama menggunakan Facebook sebagai sarana menyampaikan curhatan dan pengakuan. Keduanya sama-sama dijerat dengan UU ITE.

Hanya ada satu perbedaan dari kedua kasus itu, yakni Emi menulis masalah pribadinya, sementara Haris menulis masalah publik. Dua kasus itu semakin menunjukkan betapa berbahayanya menulis sebuah status di media sosial. Mengungkap masalah negara ataupun curhatan pribadi ternyata sama-sama bisa berujung masalah hukum.

Semua Karena UU ITE

Kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan UU ITE mulai muncul pada 2008. Pada tahun itu, UU ITE lahir sebagai jaminan terhadap kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik. Begitu disahkan, UU ITE langsung menjerat tiga korban, yakni Narliswandi Piliang seorang penulis, Prita Mulyasari seorang ibu rumah tangga, dan Erick J Adriansjah seorang akuntan. Ketiganya dijerat dengan pasal 27 ayat 3, sama seperti Emi Handayani dan Haris Azhar.

Pada tahun-tahun berikutnya, jumlah korban semakin bertambah. Berdasarkan data Safenet, terhitung hingga Juni 2016, sudah ada 141 orang yang dilaporkan dengan UU ITE. Dari 141 kasus itu, sebanyak 124 kasus pelaporan menggunakan pasal 27 ayat 3. Pasal tersebut mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Bunyinya begini:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Pasal ini menjadi sangat mengerikan. Sebab, jika ada seseorang yang merasa tersinggung dengan status, tulisan atau kicauan di dunia maya, dengan mudah dia menggunakan pasal ini untuk menjerat si pembuatnya. Sekadar curhatan, keluhan atau kritikan bisa dengan mudah diseret ke ranah pidana.

Contohnya sudah banyak. Salah satu kasus yang paling menghebohkan adalah kasus Prita Mulyasari. Prita menyampaikan keluhannya terkait pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional. Keluhan disampaikannya melalui email pada tanggal 15 Agustus 2008, ke rumah sakit Omni dan juga saudaranya. Email yang dikirim Prita pun kemudian menyebar luas ke mailling list dan forum di dunia maya. Tidak terima dengan keluhan Prita yang menyebar, Rumah Sakit Omni pun langsung melaporkan Prita ke polisi karena dianggap melakukan pencemaran nama baik.

Kasus lain yang tak kalah mengerikan adalah kasus yang menimpa Ady Meliyati Tameno, seorang guru di Kupang. Pada 22 Desember 2015, dia mengirimkan pesan pendek atau SMS kepada bendahara SDN Oefafi Kupang, tempatnya mengajar. Dalam SMS itu, Meliyati mempertanyakan honornya yang belum dibayar selama dua tahun. SMS itu ternyata membuat sang kepala sekolah, Daniel Sinlae berang. Dia pun melaporkan Meliyati ke polisi karena pencemaran nama baik. Lagi-lagi pasal 27 ayat 3 yang digunakan.

Ibarat jatuh tertimpa tangga, Meliyati mendapatkan dua petaka ganda setelah SMS itu dikirimkannya. Bukannya mendapatkan gaji yang belum dibayar, Meliyati justru dipecat dan terancam pidana 6 tahun penjara dan atau denda Rp1 miliar sesuai dengan ancaman hukuman pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Padahal jika dinalar, apa salahnya seorang guru yang menanyakan gajinya yang belum dibayar selama dua tahun? Tentu tidak ada, karena itu adalah haknya. Apa salahnya seorang pasien mengeluhkan pelayanan rumah sakit? Tentu tidak ada, karena itu juga haknya.

Apa salahnya seorang istri berkeluh kesah karena suaminya di-PHK? Tentu tidak salah, karena itu adalah haknya. Jadi apa salahnya jika seorang warga negara memberitahu borok instansi aparat penegak hukumnya? Seharusnya memang tidak salah karena memberitahu kebobrokan aparat merupakan kewajiban warga negara yang baik.

Baca juga artikel terkait UU ITE atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Hukum
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti