tirto.id - Haris Azhar, Koordinator KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekekerasan), terpaksa berurusan dengan polisi setelah mengunggah “nyanyian” Freddy Budiman, gembong narkoba yang telah dieksekusi. Haris dituding telah mencemarkan nama baik melalui media sosial seperti diatur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Gara-gara mengunggah pernyataan Freddy di akun Facebook-nya, Haris dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri, pada Rabu (3/8/2016). Dia dituding melakukan pencemaran nama baik institusi Polisi, TNI, dan BNN.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara sempat tak percaya jika Haris dijerat dengan UU ITE. “UU ITE memang mengandung pasal karet yang bisa disalahgunakan,” katanya setelah sempat terdiam, saat ditemui di acara grand launching portal berita tirto.id, di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu (3/8/2016).
Meski demikian, menurut Rudiantara, pihaknya tak ingin menghapus pasal 27, 28 dan 29, saat proses revisi UU ITE di DPR. Meski sebenarnya ketiga pasal itu substansinya hampir sama dengan Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Melalui Tim Panitia Kerja (Panja) pemerintah, dia hanya mengusulkan untuk menurunkan ancaman hukuman menjadi 4 tahun. “Sehingga tak akan ada penahanan secara langsung,” katanya.
Jadi Bumerang
Sebelum meregang nyawa di hadapan regu tembak Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Freddy Budiman menitipkan sebuah pengakuan kepada Haris Azar. Dia menuturkan perjalanannya menjadi gembong narkoba. Dalam pengakuannya, Freddy mengaku dibantu oknum Kepolisian, TNI, dan Kejaksaan guna melancarkan roda bisnisnya.
"Dalam hitungan saya, selama beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang Rp450 miliar ke BNN. Saya sudah kasih Rp90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri," kata Haris menirukan pengakuan Freddy.
Haris ternyata menyimpan pengakuan Freddy rapat-rapat, sembari diam-diam bersama koleganya di KontraS mencari fakta-fakta terkait pengakuan tersebut.
Namun, Haris tak bisa menahan diri lagi, ketika mengetahui bahwa nama Freddy Budiman masuk dalam daftar eksekusi paling mutakhir. Apalagi upayanya menghubungi pihak-pihak yang dekat dengan presiden agar menunda eksekusi terhadap Freddy sebagai whistleblower atau pengungkap penyimpangan tak juga direspons.
Maka menjelang pelaksanaan eksekusi, Haris pun menulisan penuturan Freddy di dinding akun Facebook miliknya. Tulisan pengakuan itu pun langsung viral, beberapa pemilik akun lainnya menyebarkan postingan yang diunggah Haris.
Niatan Haris untuk mengungkap fakta tentang dugaan busuknya beberapa oknum polisi, TNI dan kejaksaan seperti diungkap Freddy, ternyata berbalik menjadi bumerang. Haris justru dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen (Pol) Budi Waseso bersama institusi Polri dan TNI. Dia dituding telah melakukan pencemaran nama baik sesuai ayat 3, pasal 27 UU ITE.
Kebebasan Berbicara
Apa yang dialami Haris, sejatinya bukan baru kali pertama terjadi. Di penghujung 2014, beberapa kasus terkait UU ITE juga sempat mencuat di pemberitaan media massa.
Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), UU ITE rentan digunakan oleh penguasa untuk menjerat para pengadu masalah kebijakan publik. Selama rentang tahun 2016, muncul 29 kasus pengaduan terkait UU ITE yang terkait dengan status di Facebook. Dari jumlah tersebut, 22 kasus menyandarkan pengaduan pada Pasal 27 ayat 3 UU ITE, sedangkan tujuh pengaduan menggunakan Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Sementara jika melihat munculnya jumlah kasus, terbanyak pada Maret dengan sembilan kasus. Sebagai tambahan, sepanjang tahun 2015, muncul 60 kasus pelaporan.
Berdasarkan perhitungan Safenet, mayoritas pelapor memiliki posisi strategis di pemerintahan, seperti politisi atau pemilik kapital. Sementara yang dilaporkan, merupakan orang‐orang yang punya akses kekuasaan lebih rendah dibandingkan pelapor. Seperti wartawan, tukang sate, pegawai negeri sipil, ibu rumah tangga, mahasiswa, penulis, sastrawan dan perawat. Ada empat pola motif pelaporan, yakni balas dendam, barter kasus, membungkam kritik dan shock therapy.
Sementara Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) melalui laporan berjudul “Situasi Kebebasan Berekspresi Tahun 2014”, mencatat bahwa Facebook berada di urutan tertinggi yang rentan terjaring UU ITE. Jumlahnya sebanyak 46 persen. Menyusul kemudian media online 15 persen dan Twitter 12 persen.
Hasil laporan Elsam ini tentu saja mengkhawatirkan, mengingat kebebasan berpendapat menjadi dambaan semua orang. Salah satunya berpendapat kepada publik melalui media sosial.
Hal itu didukung hasil penelitian Pew Research Center 2015 yang mengungkapkan, bahwa sebagian besar publik di seluruh dunia mendambakan kebebasan berbicara. Sebanyak 72 persen masyarakat Indonesia, sepakat bahwa orang harus mampu mengritik kebijakan pemerintah mereka secara terbuka tanpa campur tangan dari negara. Persentase Indonesia ini jauh lebih tinggi dibanding negara Turki 52 persen dan Pakistan 54 persen.
Lalu bagaimana agar para pengritik kebijakan atau pelapor adanya tindak penyelewengan seperti Haris Azhar bisa terlindungi?
Menteri Rudiantara mengaku tak mampu melindungi whistblower sekunder semacam Haris. Ia mengaku tak bisa berbuat banyak karena Haris langsung mengungkapkannya ke publik, bukan ke institusi yang terkait.
“Biasanya (informasi) whistleblower itu kan disalurkan kepada organisasi atau institusi yang bersangkutan. Bahkan di beberapa tempat, whistleblower dapat insentif kalau benar. Lha ini kan modelnya, saya Twit begitu saja, walaupun benar datanya. Itu kan sama dengan whistleblower ke publik,” ujarnya.
Padahal peran seorang whistleblower demi penegakan hukum sangatlah penting. Peran serta masyarakat untuk mengungkap berbagai tindak kejahatan sangat diperlukan. Apalagi sebenarnya, perlindungan terhadap whistleblower telah diatur secara tegas dalam Pasal 33 United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006.
Tuduhan pencemaran nama baik terhadap seorang whistleblower harusnya memang tidak terjadi.
“Sesungguhnya semangat awalnya bukan untuk memberangus orang yang menyampaikan pendapat, pemikiran, atau temuan awal. Kita menyayangkan pasal ini digunakan untuk hal-hal demikian. (UU ITE) kan untuk melindungi publik, bukan malah digunakan untuk melawan publik,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR, Meutya Viada Hafid.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti